Selasa, 18 April 2017

Reog Ponorogo

Reog Ponorogo
Oleh Diyah Atiek Mustikawati



Pendahuluan
Ponorogo adalah daerah kabupaten yang secara geografis berada di barat daya Provinsi Jawa Timur, berbatasan dengan Provinsi Jawa Tengah, diapit gunung Lawu dan gunung Wilis. Di sebelah Utara Ponorogo, terdapat kabupaten Madiun, Magetan, dan Nganjuk. Di sebelah Timur terdapat kabupaten Trenggalek dan Tulungagung. Di sebelah Selatan, ada kabupaten Pacitan; dan di sebelah Barat terdapat kabupaten Wonogiri dan Pacitanu (BPS Kabupaten Ponorogo, 2012).
Ponorogo didirikan tahun 1486 oleh Raden Katong (Bupati I) yang masih keturunan Raja Brawijaya V. Ponorogo sebelum diperintah Raden Katong merupakan kademangan Wengker dengan raja Klana Sewandana dan patih Klana Wijaya yang dikenal sangat sakti. Setelah kerajaan Wengker dikalahkan Airlangga sejarah kerajaan Wengker selesai. Selang dua ratus tahun berdirilah kademangan Bantarangin didirikan keturunan Klana Wijaya yaitu Ki Ageng Kutu Suryangalam yang dikenal sakti tiada tanding.
Ponorogo secara etimologi berasal dari dua kata, yaitu “Pramana” dan “Raga”. Kata Pramana berarti kekuatan, rahasia hidup, sedangkan “Raga” berarti badan, jasmani. Dari penjabaran tersebut dapat di tafsirkan bahwa dibalik badan manusia tersimpan suatu rahasia hidup (wadi) berupa olah batin yang mantap dan mapan berkaitan dengan pengedalian nafsu manusia yang memang harus dikendalikan dengan sebaik-baiknya, yakni meliputi sifat-sifat amarah, lawwamah, shufiyah dan muthmainah. Manusia yang memiliki kemampuan olah batin yang mantap dan mapan akan mampu menempatkan diri dimanapun dan kapanpun berada. (Sidi Galzaba, 1962: 233). Sedangkan masyarakat yang mendiami kabupaten Ponorogo ini dikenal sebagai Etnik Jawa Panaragan. Etnik ini merupakan  salah satu etnik di Jawa Timur bagian barat yang menempati wilayah disebelah barat gunung Wilis dan sebelah timur gunung Lawu. Tepatnya kabupaten Ponorogo. Etnik Panaragan memiliki kesenian tradisional peninggalan nenek moyang sejak pada zaman dahulu, kesenian ini sampai sekarang tetap lestari, yakni reyog.
Reyog dalam perjalanannya memngalami suatu dinamika yang dapat dikatakan pesat. Hal ini dibuktikan dengan eksistensi seni Reyog yang hingga saat ini masih terjaga kelestariannya. Mengingat beberapa tahun yang silam tepatnya tahun 2007, ada upaya penjiplakan dan pengakuan Reyog sebagai kesenian di negara tetangga. Namun, hingga saat ini pertunjukan reyog baik secara formal maupun non formal masih selalu mewarnai dalam setiap agenda kegiatan masyarakat Ponorogo.   Salah satu upaya untuk menjaga kelestarian seni Reyog tersebut, pada makalah ini akan disampaikan hal ihwal tentang seni Reyog dimulai dari perspektif historis, mitologi yang mengeliligi keberadaan Reyog, dan simbol serta karakter pada kesenian Reyog. Selanjutnya juga akan dipaparkan tentang perkembangan seni Reyog yang terdiri dari beberapa model.

Pembahasan
A. Reyog Ditinjau dari beberapa perspektif historis
Salah satu ciri khas seni budaya Kabupaten Ponorogo Jawa Timur adalah kesenian Reog Ponorogo. Reog, sering diidentikkan dengan dunia hitam, preman atau jagoan serta tak lepas pula dari dunia mistis dan kekuatan supranatural. Reog mempertontonkan keperkasaan pembarong dalam mengangkat dadak merak seberat sekitar 50 kilogram dengan kekuatan gigitan gigi sepanjang pertunjukan berlangsung. Instrumen pengiringnya, kempul, ketuk, kenong, genggam, ketipung, angklung dan terutama salompret, menyuarakan nada slendro dan pelog yang memunculkan atmosfir mistis, unik, eksotis serta membangkitkan semangat. Satu group Reog biasanya terdiri dari seorang Warok Tua, sejumlah warok muda, pembarong dan penari Bujang Ganong dan Prabu Kelono Suwandono. Jumlah kelompok reog berkisar antara 20 hingga 30-an orang, peran utama berada pada tangan warok dan pembarongnya.
Seorang pembarong, harus memiliki kekuatan ekstra. Dia harus mempunyai kekuatan rahang yang baik, untuk menahan dengan gigitannya beban “Dadak Merak” yakni sebentuk kepala harimau dihiasi ratusan helai bulu-bulu burung merak setinggi dua meter yang beratnya bisa mencapai 50-an kilogram selama masa pertunjukan. Konon kekuatan gaib sering dipakai pembarong untuk menambah kekuatan ekstra ini, salah satunya dengan cara memakai susuk, di leher pembarong. Untuk menjadi pembarong tidak cukup hanya dengan tubuh yang kuat. Seorang pembarong pun harus dilengkapi dengan sesuatu yang disebut kalangan pembarong dengan wahyu yang diyakini para pembarong sebagai sesuatu yang amat penting dalam hidup mereka. Tanpa diberkati wahyu, tarian yang ditampilkan seorang pembarong tidak akan tampak luwes dan enak untuk ditonton. Namun demikian persepsi misitis pembarong kini digeser dan lebih banyak dilakukan dengan pendekatan rasional. Menurut seorang sesepuh Reog, Mbah Wo Kucing “Reog itu nggak perlu ndadi. Kalau ndadi itu ya namanya bukan reog, itu jathilan. Dalam reog, yang perlu kan keindahannya“.
            Apabila kita merunut tentang historis adanya kesenian reyog, ada beberapa versi cerita yang diyakini sebagaimana asal usul terciptanya seni reyog tersebut.
Versi yang pertama, Reog mengacu pada beberapa babad, Salah satunya adalah babad Kelana Sewandana. Babad Klana Sewandana yang konon merupakan pakem asli seni pertunjukan reog. Mirip kisah Bandung Bondowoso dalam legenda Lara Jongrang, Babad Klono Sewondono juga berkisah tentang cinta seorang raja, Sewondono dari Kerajaan Jenggala, yang hampir ditolak oleh Dewi Sanggalangit dari Kerajaan Kediri. Sang putri meminta Sewondono untuk memboyong seluruh isi hutan ke istana sebagai mas kawin. Demi memenuhi permintaan sang putri, Sewandono harus mengalahkan penunggu hutan, Singa Barong (dadak merak). Namun hal tersebut tentu saja tidak mudah. Para warok, prajurit, dan patih dari Jenggala pun menjadi korban. Bersenjatakan cemeti pusaka Samandiman, Sewondono turun sendiri ke gelanggang dan mengalahkan Singobarong. Pertunjukan reog digambarkan dengan tarian para prajurit yang tak cuma didominasi para pria tetapi juga wanita, gerak bringasan para warok, serta gagah dan gebyar kostum Sewandana, sang raja pencari cinta.
Versi ini merupakan versi dari masyarakat kulon kali yang meyakini reyog sebagai bebana (syarat) Raja Klanasuwandana ketika ingin meminang Dewi Sangalangit dari Kerajaan Lodaya Kediri. Raja Klanasuwandana merupakan seorang raja dari kerajaan Bantarangin yang diduga kuat oleh masyarakat lokasi berada di Kauman Somoroto. Dugaan kuat tersebut, didukung dengan berbagai temuan arkeologis. Salah satu temuan yang menarik adalah adanya sebuah bekas bangunan berupa batu batu di tengah sawah yang menyerupai benteng yang kemudian tempat tersebut dinamakan dusun Seboto karena terdapat batu bata kuno dan sekarang tempat tersebut dibangun monumen Bantarangin.

Versi yang kedua, Reog dimanfaatkan sebagai sarana mengumpulkan massa dan merupakan saluran komunikasi yang efektif bagi penguasa pada waktu itu. Ki Ageng Mirah kemudian membuat cerita legendaris mengenai Kerajaan Bantaranangin yang oleh sebagian besar masyarakat Ponorogo dipercaya sebagai sejarah. Adipati Batorokatong yang beragama Islam juga memanfaatkan barongan ini untuk menyebarkan agama Islam. Nama Singa Barongan kemudian diubah menjadi Reog, yang berasal dari kata Riyoqun, yang berarti khusnul khatimah yang bermakna walaupun sepanjang hidupnya bergelimang dosa, namun bila akhirnya sadar dan bertaqwa kepada Allah, maka surga jaminannya. Selanjutnya kesenian reog terus berkembang seiring dengan perkembangan zaman. Kisah reog terus menyadur cerita ciptaan Ki Ageng Mirah yang diteruskan mulut ke mulut, dari generasi ke generasi.
Menurut legenda Reog atau Barongan bermula dari kisah Demang Ki Ageng Kutu Suryonggalan yang ingin menyindir Raja Majapahit, Prabu Brawijaya V. Sang Prabu pada waktu itu sering tidak memenuhi kewajibannya karena terlalu dipengaruhi dan dikendalikan oleh sang permaisuri. Oleh karena itu dibuatlah barongan yang terbuat dari kulit macan gembong (harimau Jawa) yang ditunggangi burung merak. Sang prabu dilambangkan sebagai harimau sedangkan merak yang menungganginya melambangkan sang permaisuri. Selain itu agar sindirannya tersebut aman, Ki Ageng melindunginya dengan pasukan terlatih yang diperkuat dengan jajaran para warok yang sakti mandraguna. Di masa kekuasaan Adipati Batorokatong yang memerintah Ponorogo sekitar 500 tahun lalu, reog mulai berkembang menjadi kesenian rakyat. Pendamping Adipati yang bernama Ki Ageng Mirah menggunakan reog untuk mengembangkan kekuasaannya.
B. Mitos yang Mengelilingi Seni Reyog
Reyog adalah seni tradisional di Jawa yang sudah ada sejak lama dan pada umumnya selalu dikaitkan dengan hal hal yang berbau mistis. Apalagi penyelenggaraannya juga sebagian dikaitkan dengan kegiatan yang berbau mitos dan magi. Peursen (1988: 50) menyatakan bahwa dalam kehidupan masyarakat primitif magi memainkan peranan besar. Perbuatan-perbuatan magis dan mantera-mantera itu bagi yang bersangkuatan sering tidak ada hubungan erat dengan alam gaib. Bila kita membandingkan mitos religious dengan praktek magi, nampaklah perbedaan besar mengenai apa yang ditekankan. Bila diperhatikan dengan seksama biasanya ada beberapa mitos yang mengelilingi keberadaan Seni Reyog Ponorogo, yaitu:
1. Bersih Desa
Bersih desa adalah kegiatan masyarakat pada suatu desa tertentu yang dilakukan setiap tahun sekali pada waktu tertentu yang diyakini menjadi waktu berdirinya desa tersebut dan kegiatan tersebut bersifat ritual keagamaan dan seni budaya. Bersih desa adalah sebuah acara untuk menangkal kekuatan “jahat” yang diyakini akan menggangu desa tersebut. Kekuatan jahat yang dimaksud adalah kekuatan mistis yang dikhawatirkan bisa menimbulkan ketidaknyamanan dan ketidaktentraman masyarakat desa. Bentuk ketidaknyamanan dan ketidaktentraman masyarakat berbentuk penyakit massal yang mematikan atau berupa kejahatan yang tidak diinginkan masyarakat. Bersih desa diharapkan bisa mencegah datangnya itu semua.
Di Kabupaten Ponorogo kegiatan tersebut diadakan di hampir setiap desa yang ada. Masyarakat menyelenggarakan kegiatan tersebut biasanya nanggap wayang orang, wayang krucil, tayub atau pagelaran seni reyog selain menyelenggarakan kenduri di masjid atau punden. Geertz (1989: 32) menambahkan Punden adalah tempat yang diyakini sebagai pertanda dimana orang pertama kali datang di desa tersebut yang biasanya juga disebut sebagai danyangan. Tempat itu biasanya dijadikan makam leluhur tertua atau ditandai dengan adanya pohon besar dan tua. Setiap desa biasanya mempunyai satu danyangan. Biasanya pohon beringin atau jatii yang berusia ratusan tahun. Bahkan di beberapa temppat pohon itu sudah tidak ada karena sudah roboh dan tinggal akar tuanya yang sudah dimakan rayap. Namun demikian biasanya tempat tersebut dikeramatkan warga dan diberi sesaji pada saat tertentu sesuai dengan keinginan warga. Reyog adalah salah satu kesenian yang diminati warga untuk ditampilkan dalam acara bersih desa, selain tarifnya relatif murah juga karena sebagai simbol kemenangan melawan sebuah kekuatan. Reyog adalah sendratari yang mengisahkan perjuangan Prabu Klonosewandono dari kerajaan Bantarangin melawan Singobarong, penguasa hutan ketika raja tersebut melamar putri dewi Songgolangit dari kerajaan Kediri.
Dalam peperangan atau perkelahian tersebut prabu Klonosewandono mendapatkan kemenangannya. Dalam acara bersih desa biasanya seni reyog yang didukung oleh sekitar 30 sampai dengan 50 orang akan berjalan mengelilingi, kirab, desa dan diikuti anak-anak kecil
atau dewasa yang menyukai. Sebelum melakukan kegiatannya biasanya pimpinan unit kesenian reyog (warok) secara terbuka atau tertutup melakukkan upacara ritual adat dengan membakar kemenyan dengan maksud agar acara kirab reyog berjalan dengan lancar.  Menurut Cahyo, peneliti reyog, sering mendapati kejadian tersebut ketika ia secara sengaja mengikuti jalannya atraksi reyog obyok yang diminta dalam acara bersih desa.
Pada prakteknya acara kirab sering terganggu dengan adanya perilaku “aneh” salah satu unsur dari group reyog yang mengalami kesurupan. Biasanya yang mengalami kesurupan adalah jathil (penari kuda kepang), bujang ganong atau krew yang lain.  Menurut Paul Stange (1998:41), secara harfiah kesurupan mempunyai arti “kemasukan” dan “ndadi” yang berarti tidak sekedar tak sadarkan diri, melainkan benar-benar “kemasukan” atau “menjadi”. Biasanya pula pimpinan unit kesenian reyog bisa mengatasi hal ini dengan hitungan detik. Sebagaimana layaknya pimpinan unit kesenian reyog (warok) yang lain, ia akan mengoleskan ibu jarinya ke jidat orang yang mengalami kesurupan tersebut, maka dengan hitungan detik orang tersebut tersadar kembali.
2. Warok Sakti
Sudah menjadi pengetahuan umum masyarakat Ponorogo, bahkan Indonesia, bahwa seorang warok adalah seseorang yang mempunyai kekuatan supranatural melebihi masyarakat biasa atau sering disebut kesaktian. Bukan tanpa alasan kalau para warok sering disebut demikian karena beberapa warok juga melakukan kegiatan melakukan pengobatan, peramalan, dan melakukan kegiatan yang secara fisik tidak mampu dialakukan oleh orang pada umumnya diantaranya adalah memanggul dadhak merak dalam seni reyog ponorogo dengan mengandalkan pada kekuatan gigi dan lehernya.
Sementara itu berat dari dadhak merak bisa mencapai 40 sampai dengan 60 kg bila tidak kena hembusan angin. Satu aksi yang hampir tidak mungkin dilakukan oleh orang biasa yang tidak mempunyai keahlian khusus. Bahkan kadang seorang warok pembarong harus memanggul dadhak merak yang sedang memanggul dadhak merak beserta pembarong lain pula yang bisa ditaksir mencapai berat kurang lebih 150 kg.
Para pembarong (Simatupang, 2013) dalam acara tersebut biasanya menunjukkan kekuatan fisiknya dengan menghempaskan keras-keras dadhak merak ke depan, ke belakang , memutar konstruksi topeng macan yang dihiasi kipas raksasa dipenuhi bulu merak seakan “menyapu” penonton yang merubungnya dan atraksi-atraksi otot lainnya.
Nampaknya hal ini pula yang menjadikan para warok (Harsono, 2005) disegani masyarakat Ponorogo pada umumnya dan menempati status sosial yang baik di masyarakat. Dalam acara atraksi seni reyog obyog kadang salah satu kru pendukung kesenian ini mengalami kesurupan. Bila terjadi hal yang seperti ini maka biasanya pemimpin unit kesenian (warok) melakukan pengobatan pada kru yang mengalami kesurupan tersebut. Dalam hitungan detik maka kru tersebut akan mendapatkan kesadarannya kembali. Hal inilah yang diyakini masyarakat Ponorogo bahwa warok dianggap mempunyai kemampuan supranatural yang tinggi.
3. Kulit macan bertuah
Sebagian masyarakat Ponorogo masih meyakini bahwa dadhak merak yang dilapisi dengan kulit macan asli mempunyai tuah khusus yang akan sangat berpengaruh langsung pada para warok pembarong yang sedang beratraksi baik di panggung festival maupun di reyog obyok. Masyarakat meyakini bahwa para pembarong yang menggunakan kulit macan asli akan berperilaku lebih agresif dibandingkan dengan yang tidak menggunakan kulit macan asli karena sekarang sudah banyak dadhak merak yang menggunakan kulit dari lembu. Kuatnya mitos ini menjadikan para pembarong merasa kurang percaya diri bila memainkan dadhak merak yang tidak menggunakan kulit macan asli. Mitos ini kuat menghinggapi para pembarong senior, sementara tidak begitu kuat di kalangan pembarong yang lebih muda. Nampaknya hal ini pula yang mempengaruhi masih kuatnya permintaan pembelian dadhak merak dari kulit macan asli pada para pengrajin dibandingkan dari bahan substitusi baik dari kulit lembu maupun dari kain. Banyak pula warok yang meyakini bahwa kulit harimau mempunyai kekuatan magis tertentu yang berpengaruh pada para warok tersebut. Peursen (1988: 51) menegaskan bahwa magi adalah kekuatan yang bisa menguasai pihak lain yang bersifat “imanen” melalui kepandaian tertentu. Bahkan pengakuan dari seorang pengrajin reyog (warok K) menyatakan ia sering mengalami situasi yang mistis ketika ia sedang merendam kulit macan yang akan ia siapkan jadi pembungkus barongan sebagai topeng dari
dadhak merak. Lebih dari itu, ia mengakui bahwa ia bisa membedakan antara antara barongan yang dibungkus dengan kulit macan dan dari bahan lain dengan tanpa meraba barongan yang ia kenakan. Ia bisa merasakan kekuatan “energy” dari kulit itu walau ia tidak bisa menjelaskan hubungan sebab dan akibat dari kejadian tersebut. Bahkan ia bisa membedakan “energy” kulit macan yang digunakan sebagai pembungkus barongan tersebut. Ia mengaku bahwa macan Tutul mempunyai “energi” yang lebih besar daripada macan Loreng Sumatra. Efek dari penggunaan kulit macan Tutul sebagai pembungkus barongan adalah si pembarong bisa memainkan barongan dengan lebih lincah dan atraktif.
Sebagai seorang mantan pembarong, ia juga menceritakan bahwa barongan yang dibungkus dengan kulit lembu tidak mempunyai efek mistis karena kulit lembu tidak bisa disotrekne diisi dengan dengan kekuatan ghaib. Ketika pembarong menggunakan dadhak merak yang barongannya dari kulit lembu maka pembarong seperti “bekerja” sendiri ketika ia memainkan dadhak merak. Efek dari itu adalah pembrong merasa sangat berat dan mudah merasa lelah. Sebaliknya bila barongan dibungkus dari kulit macan maka si pembarong ketika memainkan barongan maka ia merasakan ada kekuatan ghaib yang membantu.

C. Simbol Dan Karakter Pada Kesenian Reyog
Pertama, klasifikasi simbol berbentuk warna.Warna dalam kesenian reyog memiliki arti penting sebagai simbol kebudayaan. Warna tersebut utamanya terdapat dalam pakaian seniman reyog Ponorogo yang didominasi oleh empat warna yaitu Hitam, merah, kuning, dan putih. Warna menjadi lebih bermakna ketika di ketahui arti simbol oleh penganutnya, layaknya sebuah warna dalam rambu-rambu lalu lintas yang menyimpan sebuah tanda berhenti untuk merah, hati-hati untuk kuning dan berjalan untuk hijau. Maka warna dalam kesenian reyog memiliki makna yang berkaitan dengan nafsu yang berada dalam diri manusia yaitu putih sebagai nafsu muthmainah, merah sebagai nafsu amarah, hitam sebagai nafsu alawamah dan kuning sebagai nafsu supiyah.
Dari perspektif karakter warna dalam tarian makna dari keempat warna tersebut mempunyai arti pengendalian diri manusia dari nafsu yang berhubungan dengan nilai-nilai spiritual sebagai pedoman tingkah laku manusia. Makna karakter warna dalam pakaian reyog melambangkan makna sebagai berikut: merah memiliki makna karakter heroik, hitam sebagai
lambang sifat berani, tenang dan berisi, warna putih dilandasi dengan niat suci dan warna kuning berarti mempunyai cita-cita kebahagiaan yang hakiki.

Kedua, klasifikasi simbol berbentuk alat musik. Alat musik tradisional yang terdapat dalam kesenian reyog tidak bisa dipisahkan dengan kesenian reyog. Alat musik tersebut berperan vital dalam pagelaran sebagai penyemangat dan iringan gerak laku tarian. Adapun alat musik tradisional reyog yang telah dibakukan oleh Pemerintah Ponorogo antara lain:
·        Kendang yang dimaknai sebagai Qoda’a yang berarti rem yang artinya sebagai pengendalian diri manusia. Kendang tersebut ketika di tabuh berbunyi dang, dang, dang yang artinya segeralah dalam berbuat kebaikan.
·        Ketipung yang dikaitkan dengan katifun yang berarti balasan artinya setiap perbuatan besar atau kecil pasti ada balasan. Hal tersebut sesuai dengan firman Allah dalam suratAl Zalzalah 7-8 yang berbunyi barangsiapa mengerjakan kebaikan seberat zarrah, niscaya dia akan melihat balasannya. Maka barang siapa yang mengerjakan kejahayan seberan zarrah, niscaya dia akan melihat balasannya.
·        Kenong, dimaknai dari bahasa arab Qona’a yang berarti menerima takdir artinya segala sesuatu usaha yang telah dilakukan oleh manusia, Allah yang menentukan dan sebagai seorang hamba dianjurkan bersabar terhadap segala ketentuan Allah. Kenong juga memiliki irama bunyi Nang, ning, nong, nung. Nang berarti ana, ning berarti bening (jernih), nong berarti plong(mengerti), dan nung berarti dumunung (sadar). Maksudnya setelah manusia ada lalu berfikir dengan jernih dengan hati yang bening maka dapat mengerti sehingga dumunung (sadar) bahwa keberadaannya tentu ada yang menciptakan yaitu Sang Maha pencipta Allah SWT.
·        Kethuk, dari bahasa Arab Kothok yang artinya banyak salah dan lupa. Oleh karena itu, kita selalu diingatkat untuk selalu bertobat. Kethuk, megeluarkan bunyi irama thuk artinya manthuk (setuju atau cocok).
·        Trompet, yang berasal dari bahasa Arab Shuwurun artinya peringatan. Yang memiliki makna peringatan bahwa besok ada hari kebangkitan. Oleh karena itu berbuat baik dalam laku kehidupan sebagai modal bekal alam yang kekal.
·        Seruling artinya eling (ingat). Ingat kepada yang menjadikan hidup. Ingat bahwa hidup di dunia tidaklah lama. Ingat bahwa ada hari kekal dan bahagia hanya dapat dicapai dengan amal ibadah sebanyak-banyaknya.Sak beja-bejane wong kang lali, isih bejo wong kang iling lan waspada.
·        Angklung dari bahasa Arab Anqul artinya peralihan, pindah atau beralih dari hal yang buruk ke yang hal baik. Adapun yang terakhir adalah Gong, yang dibunyikan terakir berarti ‘selesai’, bunyinya gung artinya Yang Maha Agung.

Ketiga, klasifikasi berbentuk properti tari. Properti tari merupakan perlengkapan yang terdapat dalam kesenian reyog yang mencerminkan nilai-nilai budaya yang terkandung didalamnya. Selanjutnya akan dijelaskan tentang properti tari  tersebut sebagai berikut:
·        Burung merak, merupakan simbol kecantikan, keindahan, kesempurnaan. Filosofi dari simbol tersebut manusia harus berperilaku dengan santun sehingga terjalin hubungan harmonis dengan semua pihak.
·        Kepala Harimau, adalah simbol dari kekuatan dan kekuasaan. Sifat tersebut, agar manusia tidak berperilaku adigang, adigung lan adiguno.
·        Tasbih, yang terdapat di paruh burung merak merupakan simbol berdzikir2 yang meupakan bentuk ketundukan dan kepatuhan kepada Tuhan Yang Maha Esa.
·        Kolor Seto, merupakan senjata andalan para warok jaman dahulu. Kolor dimaknai sebagai waktu ojo di olor-olor. Makna tersebut menyimpan sebuah filosofi agar waktu yang dimiliki dapat digunakan dalam kebajikan memberikan manfaat sehingga tidak menjadi manusia yang rugi sebagaimana firman Allah dalam surat al Ashr. Kolor seto biasanya digunakan di kaitkan dengan sabuk othok menjadi dua bagian menjulur kebawah dengan artian agar menjaga hubungan baik dengan Alloh (Hablum minnalloh) dan menjaga hubungan baik dengan manusia (Hablun minnaas)
·        Pecut Samandiman, merupakan senjata dari Raja Klonosuwandono dalam drama perang melawan Singo barong. pecut Samandiman terdiri dari dua untaian tali yang memiliki makna Al Quran dan As Sunnah. Makna dari Pecut tersebut, seorang pemimimpin hendaknya senantiasa memiliki ‘senjata’ pegangan yang berlandaskan Al Qur’an dan As Sunnah dalam menjalani kehidupan.
·        Kerudung, berfungsi sebagai penutup barongan memiliki makna manusia jangan sampai membicarakan keburukan orang lain. Sifat tersebut hendaknya sebagai intropeksi diri karena pada hakekatnya tidak ada manusia yang luput dari dosa.

Keempat, klasifikasi berdasarkan aspek tarian. Kesenian reyog sebagai kesenian tradisional menggambarkan tokoh-tokoh di dalamnya yang terlibat dalam cerita rakyat. Adapun jenis tarian tersebut antara lain:
·        Tari Dhadak Merak, dalam Dhadak merak terdapat dua simbol yang menjadi satu kesatuan simbol dari kecantikan dan kekuatan antara burung merak dengan kepala harimau. Kedua simbol tersebut memiliki arti kerjasama, kekompakan dan gotong royong dalam hal kebaikan.
·        Tari Klonosuwandono, simbol dari kepemimpinan seorang raja yang gagah perkasa dari kerajaan Bantarangin. Raja klonasuwandono memiliki senjata pamungkas atau gaman ‘gengamane iman’ bernama pecut Samandiman. Artian secara utuh seorang pemimpin harus berpegang teguh kepada perintah Allah dalam Al Qur’an dan As Sunnah.
·        Tari Bujangganong, dalam tampilan sebagai patih yang memiliki kesan jenaka, atraktif, cerdik yang merupakan simbol tanggung jawab, amanah meskipun berat harus dilalui dengan senang dan gembira.
·        Tari Jathilan,melambangkan sikap patriotisme, gambaran dari para pasukan berkuda
dari kerajaan Bantarangin. Sikap patriotisme tersebut harus dibangun dalam jiwa masyarakat untuk membela Amar makruf anahi munkar.
·        Tari Warokan, dimaknai sebagai waro’i yang memiliki arti orang yang menjaga dari
perbuatan syubat, kehati-hatian atau menjaga kesucian. Warok merupakan figur yang bisa di teladani, dan bersifat kesatria.
Kelima, klasifikasi berdasarkan petangan angka menjadi sebuah interprestasi terkait kode yang menjadi isyarat dalam kesenian reyog. Kepercayaan terkait dengan angka tersebut tercermin dalam beberapa aspek yang ada dalam kesenian reyog terkait dengan jumlah bilangan angka antara lain:
·        Angka 1 yang terdapat dalam tongkat warok tua, warok tua merupakan pemimpin
paguyuban reyog yang dalam tampilannya selalu membawa tongkat ketika berjalan. Tongkat berfungsi sebagai “gondelan” maksudnya seorang warok harus memiliki gondelan kuat yaitu Agama.
·        Angka 5 terdapat dalam jumlah kancing baju warok berjumlah lima butir, begitupula
terdapat dalam jarik yang memiliki jumlah wiru lima artinya Jarik digunakan sebagai bebet kaki dan wiru limo menginterprestasikan hendaknya orang hidup berjalan senantiasa berjalan memahami rukun Islam yang berjumlah 5 (Syahadat, Sholat, Puasa, zakat, dan Haji)
·        Angka 7 merupakan simbol dari pitu artinya pitulungan Allah (Pertolongan Allah) kesakralan angka tujuh terdapat dalam kesenian reyog yang tercermin dalam pecut samandiman yang memiliki jabung sejumlah tujuh buah, Unsur penari terdapat 7 yaitu Dhadak merak, Klanasuwandana, Pujangganong, warok, Jathil, Potro tholo dan potro tembem. Serta jumlah instrumen alat musik terdapat tujuh jenis antara lain slompret/seruling, kethuk, kenong, kempul, kendang, ketpung dan angklung Angka tujuh menjadi sebuah angka yang penuh dengan misteri khususnya bagi masyarakat Ponorogo dan Jawa pada umumnya.
·        Angka 17 terdapat dalam jumlah bilangan nada gamelan laras slendro yang mempunyai bilangan 1,2,3,5,6 yang apabila dijumlah ada 17, selain itu juga terdapat dalam jumlah peralatan reyog Ponorogo berjumlah 17 yang memiliki arti bahwa sholat wajibdalam sehari berjumlah 17 raka’at hendaknya jangan ditinggalkan.

D. Model Seni Reyog
1)    Reyog Obyokan
Reyog Obyokan adalah reyog yang memungkinkan penonton dan pemain terjdai interaksi secara langsung dan hal demikian tidak terjadi pada reyog dalam format festival. Reyog obyog / obyokan dapat dikatakan sebagai seni pertunjukan reyog yang tidak terikat oleh aturan (pakem); tidak mengikuti aturan baku yang mengatur dalam pementasannya, sesuai dengan namanya obyogan (Rido Kurnianto. 2007:38). Dalam sebuah pertunjukkan reyog obyogan, banyak sekali nili-nilai yang terkadung sebagai falsafah kehidupan meskipun hal tersebut hanya sebagai pertunjukkan semata. Hal yang paling kelihatan dan menjadi inti dari sebuah pertunjukkan reyog obyogan adalah nilai-nilai kebersamaan, gotong royong dan persamaan derajat. Hal inilah yang menjadi sebuah magnet dalam sebuauh pertunjukkan reyog. Pesan-pesan yang disampaikan bukan hanya berwujud oral lisan tetapi berupa tindakan dan perbuatan yang dapat dilihat dan dirasakan serta dihayati sebagai makna yang terkandung di dalam pertunjukkan reyog dengan format obyogan yang telah diwariskan secara verbal dan non verbal dari generasi ke generasi. Tradisi dalam seni pertunjukan reyog ponorogo dalam versi obyogan dapat dilihat dan diamati pada pertunjukkan-pertunjukkan yang biasanya diadakan di pinggiran atau desa-desa disekitar Ponorogo. Pertunjukkan reyog dalam format obyogan yang diadakan di jalanan, halaman rumah atau lapangan. Bukan reyog dalam bentuk festival yang dipentaskan diatas panggung. Karena Bentuk pertunjukkan ini akan berhadapan langsung dengan versi festival yang didanai dengan serius oleh pemerintah dengan bentuk pertunjukkan yang dibuat sedemikan rupa sehingga lebih berkesan mewah dan adanya kompetisi yang berhadiah sejumlah uang dan piala dari presiden. Oleh karena itu usaha-usaha dalam pelestarian reyog obyogan terus dilakukan.
2)      Reyog Panggung/Festival
Reyog pentas adalah kesenian reyog yang terikat “pakem”, formal dan dipentaskan dalam FRN (Festival Reyog Nasional), FRM (Festival Reyog Mini), pentas bulan purnama (di aloon-aloon) atau dalam panggung-panggung lain. Reyog dalam format festival terus mengalami perkembangan dan terus dilestarikan, sedangkan reyog dalam bentuk obyogan terus terpinggirkan dan mengalami segala hantaman dalam usaha pelestariannya. Jumlahnya yang semakin turun baik dalam pementasan atau grup reyog membuat khawatir barbagai pihak terutama kalangan budayawan.
Pertunjukkan reyog yang paling sering dipertunjukkan adalah reyog garapan atau biasa disebut dengan reyog festival dan reyog obyogan. Reyog Garapan (versi festival) adalah seni pertunjukan Reyog Ponorogo yang tata pertunjukannya telah diberikan sentuhan-sentuhan kreasi gamelan dan tari sesuai dengan kehendak group reyog.  Sampai dengan tahun 2017 sekarang ini, FRN atau festival reyog nasional telah mengalami perkembangan dengan meningkatnya tingkat kompetisi pertunjukkan Seni Reyog ke level Internasional. Hal ini membuktikan bahwa Seni Reyog masih menjadi suatu kesenian yang baik, unik, menarik, dan khas yang tidak hanya sebagai suatu hiburan melainkan terkandung nilai nilai luhur dibalik seni Reyog tersebut.
3)      Reog Santri
Istilah Reyog Santri, dimana seluruh pemainnya adalah santri atau dikalangan pesantren. Hal ini sejak berawal dari orde baru dimana Reyog sebagai suatu seni yang hampir wajib ditampilkan. Hal ini menyembabkan perkembangan Reyog sampai kepada komunitas pesantren.
4)      Reyog Pelajar/Mahasiswa
Reyog pelajar/mahasiswa ini diawali pada tahun 1970-an di sekolah-sekolah dibentuklah kesenian reyog mini dengan tujuan pelestarian kesenian reyog melalui pendidikan. Perjalanan upaya pelestarian seni Reyog sudah diawali pada tahun 70 an pada bidang dan komunitas pendidikan. Seiring perjalanan waktu dan perkembangan keilmuan serta penelitian bahwa seni Reyog sekarang telah menjadi salah satu kegiatan di sekolah dalam wujud ekstra kurikuler. Disamping upaya untuk pelestarian budaya juga ditanankannya nilai nilai moral, sosial dan etika kepada para siswa
D. Ritual Sotren Reyog Sebelum Pagelaran
Bagi kelompok paguyuban Reyog tertentu sebelum reyog tampil dipentaskan, maka pada malam harinya diadakan upacara dengan membakar dupa dihadapan Reyog dengan berbagai sesaji antara lain kembang telon, minuman parem, kopi pahit, minyak wangi, dan lain sebagainya. Hal ini diyakini selain memperlancar jalannya pagelaran serta mendapat perlindungan dari tuhan, juga mendatangkan kekuatan. Kegiatan tersebut, dipimpin oleh sesepuh Reyog (warok) dengan mengucapkan mantra-mantra sesuai dengan kehendak yang ingin dilaksanakan. Mantra pada acara ritual sotren yang dilakukan oleh Almarhum Warok Kasni Gunopati alias Mbah Wo Kucing sebagai berikut.
Bahasa Mantra Sotren Reyog Sebelum
Pagelaran
Bismilahirohmanirohim
Allahuma kang murbeng dumadi, dzat muhammad
Allahuma kang murbeng dumadi, sifat sejati
muhammad
Allahuma kang murbeng dumadi, slamet sejati
muhammad
Allahuma kang murbeng dumadi, mulyo sejati
muhammad
Allahuma kang murbeng dumadi, tapel adam kang
sapisan pangrukuning agamo Islam, jumeneng
talining urip.
Segara pakune Alloh, lungguhe ana paka’batulloh,
imane jumeneng, batine kang langgeng, lungguhe
ono gedhong mulyo, impunane dongaku slamet.
Allohuma ibu bumi, bumi kang paring rejeki, jagad
kang paring kuat, bumi sonyo kang pangleburing
bika sengkolo, rembulan kang aweh cahoyo,
srengenge kang aweh rino sinare, sewengine
kinayungan dening hyang sukmo, jinulungan para
ngulama, jinampung kang moho kuoso.
Allohuma kang murbeng dumadi, slamet seng duwe
kajad, pikantuk pangandikaning rosul. Slamet,
slamet, saking karsaning Alloh.
Mantra ini jika diterjemahkan kedalam bahasa
indonesia menjadi :
Dengan menyebut nama Alloh yang maha
pengasih dan penyayang.
Ya, Alloh Yang Maha Kuasa, dzat sejati
Muhammad.
Ya, Alloh Yang Maha Kuasa, dzat sejati Muhammad
Ya, Alloh Yang Maha Kuasa, selamat sejati
Muhammad
Ya, Alloh Yang Maha Kuasa, bahagia sejati
Muhammad
Ya, Alloh Yang Maha Kuasa, nabi Adam yang
pertama menyatukan agama Islam, berdiri sebagai
pengikat hidup.
Laut pakune Alloh, duduknya ada di kabatulloh,
Iman yang teguh, batin yang abadi, duduk di
gedung kemuliaan, kabulkan doaku selamat.
Ya, Alloh ibu bumi, bumi yang memberi rejeki,
dunia yang memberi kekuatan, bumi yang
melebur segala rintangan, bulan yang memberi
cahaya, matahari yang memberi siang sinarnya,
malamnya diikuti oleh malaikat, ditunggui oleh
para ulama, dilindungi oleh Yang Maha Kuasa,
Ya, Alloh Yang Maha Kuasa, selamatkan yang
mempunyai hajat, mendapat sabda Rosul. Selamat,
selamat karena kehendak Alloh.

Teks tersebut, merupakan peninggalan dari Almarhum Warok Kasni Gunopati yang di simpan oleh muridnya.

E. Ritual Sebelum Pagelaran Reyog dimulai
Prosesi ritual selanjutnya sebelum pentas pagelaran Reyog, dimulai dengan meletakkan seperangkat sesaji berupa pisang raja, air putih, param, dan lain sebagainya yang kemudian diletakan diatas punden Desa atau tempat-tempat yang dinilai memiliki kekuatan gaib, kemudian membakar dupo sambil membaca mantra yang dipimpin oleh Warok serta diikuti oleh beberapa pemain Reyog lainnya. Adapun mantra yang digunakan dalam ritual sebelum pagelaran Reyog sebagaimana yang dituturkan oleh Ketua Paguyuban Reyog Margo Jati Jolo Sutro yang dipimpin oleh Bapak Hari Purnomo atau yang lebih dikenal dengan sebutan Mbah Pur Warok Gendheng (MPWG) sebagai berikut ini.

Bahasa Mantra gebyakan sebelum pagelaran dimulai
Bismillahirohmanirohim.
Ingsun anyekseni syahadat panetep-panoto gomo
kang manggon ono roh ilafi Kang jumeneng ono
saktelenge ati
Kang dadi panjering urip kang dadi lajering Alloh
wejangan kito nur muhammad kalebu iman kang
sampurno
Slamet dunyo, slamet akhirat
Murah donyo, murah akhirat
Slamet dunyo, slamet akhirat
Murah dunyo, murah akhirat
Duh gusti Alloh kulo nyuwun ridho panjenengan
Kulo nyuwun ijin dipun rekso, dipun jagi, dipun
bantu lahir lan batin kulo ya Alloh
Panjenegan jagi, panjenegan rekso pagelaran
Reyog Margo Jati Jolo Sutro
Anggenipun gelaraken sageto dipun paringi
wilujeng
Dipun tebihne sangking sedoyo balak lan musibah
Dipun tebihne sangking sedoyo penyakit
Dipun tebihne sangking sedoyo gangguan jin, setan,
siluman, iblis jahat lan sak pitunggalanipun lan
kejangkung dining poro ahli kubur lan leluhur poro
punggowo Ponorogo.
Artinya:
Dengan menyebut nama Alloh Yang Maha
Penyayang dan Maha Pengasih
Saya bersaksi syahadat Inti sari agama yang ada
dalam roh paling dalam
Yang berdiri didalam hati
Yang menjadi pusatnya kehidupan, yang menjadi
pusatnya Alloh tuntunan kita Muhammad
Selamat dunia, selamat akhirat
Murah dunia, murah akherat
Selamat dunia, selamat akhirat
Murah dunia, murah akhirat
Ya Alloh saya minta ridhoMU
Saya minta ijin di lindungi, di jaga, di bantu lahir
dan batin saya ya Alloh
Engkau jaga, engkau lindungi pagelaran Reyog
Margo Jati Jolo Sutro
Supaya pagelaran bisa diberi keselamatan
Di jauhkan dari semua marabahaya dan musibah
Di jauhkan dari semua penyakit
Di jauhkan dari semua gangguan jin, hantu, siluman, iblis jahat dan sejenisnya Dan kepada
para ahli kubur dan nenek moyang Ponorogo
Adapun dalam kondisi cuaca ketika sedang mendung (akan turun hujan), maka mengunakan
mantra Aji Sampar Angin, dimana dengan ajian ini diharapkan mampu memindah awan sehingga hujan tidak jadi turun pada waktu pagelaran. Bahasa mantra yang digunakan oleh Mbah Pur Warok Gendheng (MPWG) sebagai berikut ini.

Bahasa Mantra Aji Sampar Angin
Kyai sampar angin lumaku ing awang-awang
Mego mendung kanggo tumpak’an
Ka gendhong ka idhit sakuat lakuku
Ya Allah, Ya Muhammad, Ya Jibril, Ya Mikail,
Ya Isrofil,Ya Isro’il
Artinya:
Kyai Sampar Angin yang berjalan diatas langit
Langit mendung untuk dinaiki
Di gendong di bopong sekuat jalan saya.
Ya Alloh, Ya Muhammad, Ya Jibril, Ya Mikail
Ya Isrofil, Ya Isro’il.
E. Bahasa Mantra Dalam Pertunjukan
Mantra dalam pertunjukan digunakan apabila dalam kondisi tertentu, misalnya ada gangguan dari mahkluk halus yang ingin menggangu personil reyog. Warok memiliki sebuah senjata andalan yang ampuh yakni kolor sakti, dimana senjata ini digunakan ketika menghadapi musuh khususnya gangguan dari mahkluk halus yang ingin mencoba menggangu dalam pagelaran Reyog Adapun bahasa mantra yang digunakan oleh Mbah Purwo Gendheng sebagai berikut ini.

Bahasa Mantra Aji Kolor Seto
Dhedhemit podo morat marit
Jin setan mawut ra karu-karuan
Koyo watu bledug dadi awu
Kun Faya Kun Kersaning Allah
Laillahaillaallah Muhamadar Rosullullah
Artinya:
Setan jadi carut marut
Jin setan berantakan tidak karuan
Seperti batu pecah menjadi abu
Jadilah, maka Jadi atas ijin Alloh
Tidak ada Tuhan selain Alloh, Muhammad
utusan Alloh.
Warok sebagai ketua paguyuban ataupun sebagai sesepuh dalam paguyuban reyog memiliki berbagai kelebihan, salah satunya membarong, yaitu memainkan dhadak merak dengan beratkurang lebih 50-60 Kg dengan cara mengigit dengan kekuatan gigi, tentu untuk mengangkat dhadak merak membutuhan kekuatan ekstra, salah satu dengan berdoa mengunakan mantra sebagai berikut ini.

Bahasa Mantra Aji Singo Barong
Ibu bumi bopo kuoso
Sukmo loyo sukmo mrayang roh sing ora ketompo
Sukmo durgo sukmo kasandang durgo kekuatan
angkoro
Dayamu dayaku nyawiji ing jati ngarang
Syang-syang suzuh maji'ngo neng jiwo rogoku
mlebuo
yahu...yahu....yahu...!!!
Artinya:
Ibu bumi bapak kuasa
Sukma sukma bergentayangan yang tidak diterima
Sukma durgo sukma kesandang durgo kekutan
angkoro
Dayamu dayaku jadi satu seperti Pohon Jati Tua
Syang-syang suzung masuklah kedalam jiwa
ragaku.
Yahu..yahu..yahu..!!!
Artinya:
Ibu bumi bapak kuasa
Sukma sukma bergentayangan yang tidak diterima
Sukma durgo sukma kesandang durgo kekutan
angkoro
Dayamu dayaku jadi satu seperti Pohon Jati Tua
Syang-syang suzung masuklah kedalam jiwa
ragaku.
Yahu..yahu..yahu..!!!
Aspek-Aspek Bahasa Non Verbal Dalam Ritual
Warok Ponorogo
Aspek-aspek non verbal berupa perlengkapan sesaji memiliki perbedaan antara ritual satu dengan yang lainnya. Hal ini terkait tujuan yang ingin di capai serta maksut tertentu dalam setiap ritual. Sebagai contoh aspek bahasa non verbal (sesaji) sebelum pertunjukan memiliki perbedaan dengan bahasa non verbal ketika mewisuda warok kehormatan. Adapun aspek bahasa non verbal dalam ritual yang berkaitan dengan kesenian reyog yang dilakukan oleh Warok sebagai berikut ini.
Teks tersebut, merupakan peninggalan dari Almarhum Warok Kasni Gunopati yang di simpan oleh muridnya
1. Sotren Sebelum Pagelaran (Pra Acara)
1) Kembang telon
Kembang Telon terdiri dari tiga macam bunga yaitu kanthil, kenanga dan mawar. Ketiga jenis bunga tersebut memiliki persepsi arti simbolis sebagai berikut ini. Pertama, bunga kanthil supaya Penonton Reyog kinthil atau mengikuti dan menikmati pagelaran reyog pada waktu pentas. Kedua, bunga kenanga di persepsikan dengan kenangan atau teringat, yaitu teringat keindahan kesenian reyog yang dipentaskan. Ketiga bunga mawar sebagai simbol dari wewangi, menarik hati dan memiliki daya pikat. Kembang mawar sebagai persepsi agar para penonton tertarik dan tepesona dengan keindahan oleh karena itu hendaknya keindahan tersebut dikabarkan sebagai mana wangi bunga yang menyebar disekelilingnya sehingga keindahan reyog bisa dinikmati bersama.
2) Kopi bubuk paitan
Kopi Pahit atau Wedang pait merupakan simbol untuk mengingatkan manusia supaya jangan takut menghadapi pahit getirnya kehidupan. Karena pahit getirnya kehidupan itu hanya sementara, sebagaimana ada pahit ada manis, ada petang maka esok ada terang. Semuanya berputar sebagaimana roda berputar cakramanunggaling. Kopi Pahit meskipun rasanya pahit agar manusia dapat mengambil hikmah dibalik kepahitan tersebut, karena adakalanya Pahit itu obat, sedangkan manis itu racun. Ekpresi dari kopi pahit inilah agar kita selalu mengahadapi segala permasalahan hidup dengan sabar. Kopi pahit secara filosofi merupakan perwujudan dari kerasnya kehidupan dimana harus ‘disiram’ dengan air panas tetapi bisa mewarnai air tersebut dan justru memberikan keharuman dan kenikmatan kepada orang lain. 3) Minyak wangi
Minyak wangi merupakan sebagai pelengkap dari salah satu uborampe yakni kemenyan, minyak wangi ini dipersepsikan sebagai bentuk kesegaran, keharuman yang identik dengan kebaikan yang diharapkan mampu menular disekitar. Kebaikan ini harus dilakukan dimanapun dan kapanpun kita berada sehingga semerbak kebaikan bisa dirasakan oleh orang lain layaknya aroma minyak wangi yang dapat dinikmati disekelilingnya

4) Parem
Parem merupakan ekspresi dari kata marem, yang diharapkan seluruh komponon yang terlibat dalam pagelaran reyog perasaanya menjadi marem (Puas) menikmati pertunjukan reyog.
5) Sego kokoh
Sego Kokoh merupakan sebagai simbol agar mengingatkan manusia agar tidak membuang sisa makanan, alangkah baiknya dihabiskan hingga tidak tersisa yang melambangkan kesyukuran kepada tuhan yang memberi rezeki kepada umat manusia. Sego kokoh ini secara tidak langsung menyiratkan bahwa menjadi manusia agar menjadi manusia yang bermanfaat, sejelekjelek orang pasti ada manfaatnya, yang kadangkala orang bisa berubah berbuat baik.  Dupo Ratus atau mengunakan Rokok grendho Rokok Grendo yang terbuat dari klobot Dupo ratus batangan dengan panjang sekitar 40 cm ini dibakar akan mengeluarkan asap yang mempunyai aroma yang harum. Pada saat ritual berlangsung dupo diayunayunkan disertai doa permohonan kepada tuhan. Dupo sebagai bentuk simbol pemujaan kepada Tuhan asap dari dupo yang tengah mengepul itulah yang menghantarkan permohonan manusia kepada tuhan. Peran dupo ini bisa digantikan dengan rokok grendo, namun seiring langkanya rokok grendo maka digantikan dengan Dupo ratus.
b) Bahasa nonverbal Sebelum Pagelaran dimulai
1) Pisang Raja Temen Setangkep
Pisang Raja
Pisang raja dalam prosesi ritual sebelum pagelaran pentas merupakan sebagai simbol dari berbagai karakter manusia yang berbagai macam–macam. Hal ini dikiaskan sebagai bentuk keberagaman dalam kerukunan dan kedekatan satu sama lain sebagaimana bentuk Pisang yang saling berdekatan namun tetap dalam satu tangkep. Pisang raja temen juga memiliki arti
simbolik sebagai perwujudan penyerahan diri terhadap Tuhan Yang Maha Kuasa, penyerahan
tersebut sebagai bukti kecintaan kepada Tuhan maka harus diwujudkan dengan perbuatan baik yang di ridhoi Tuhan. Artinya, dalam setiap perjalanan hidup manusia harus menjalin hubungan baik kepada Tuhan, kepada manusia maupun kepada sesama ciptaan Tuhan. Pandangan inilah, yang merupakan salah satu kebijaksanaan hidup masyarakat Jawa yang mengandung kearifan lokal (local genius) yaitu pentingnya menjaga harmoni, menjaga keseimbangan dan menjaga keselarasan hidup. Harmoni, seimbang, dan selaras menjaga hubungan dirinya dengan tuhan, sesama manusia dan dengan alam.
Selain hal tersebut, pisang raja setangkep memiliki makna khas Sebagai simbol orang berdoa yang menyatukan rasa dengan rasa tuhan. Agar doanya dikabulkan seperti doanya para Raja.
2) Air putih
Air putih atau banyu bening merupakan salah satu sumber kehidupan, air putih mengekpresikan bahwasanya dalam menjalani kehidupan agar selalu berada pada sifat bening
atau kesucian. Sifat tersebut hendaknya tercermin dalam pola perilaku manusia yang harus dilandasai niat tulus suci karena Tuhan. Disamping mempunyai makna yang tersirat yaitu mengatahuia asal usul bibit manusia dari bapak.
3) Air Asem (Parem)
Kembang Parem merupakan mengekspresi dari kata marem, yang diharapkan seluruh komponon yang terlibat dalam pagelaran reyog perasaanya menjadi marem (Puas) menikmati pertunjukan reyog. Air parem juga sebegai simbol dari asal usul manusia dari ibu.
4) Kembang Parem (Boreh)
Kembang parem secara arti dan maksut memiliki kesamaan dengan air parem, namun berbeda bentuk. Jika Air Asem dibuat dari buah Asam, sedangkan kembang Parem dibuat dari kembang Jambe. Kembang parem ini sebagai simbol Bersatunya bibit ayah dan ibu.
5) Kopi Pait
Kopi Pahit atau Wedang pait merupakan simbol untuk mengingatkan manusia supaya jangan takut menghadapi pahit getirnya kehidupan. Karena pahit getirnya kehidupan itu hanya sementara, sebagaimana ada pahit ada manis, ada petang maka esok ada terang. Semuanya berputar sebagaimana roda berputar. Kopi Pahit meskipun rasanya pahit agar manusia dapat mengambil hikmah dibalik kepahitan tersebut, karena adakalanya Pahit itu obat, sedangkan manis itu racun. Ekpresi dari kopi pahit inilah agar kita selalu mengahadapi segala permasalahan hidup dengan sabar. Kopi pahit secara filosofi merupakan perwujudan dari kerasnya kehidupan dimana harus ‘disiram’ dengan air panas tetapi bisa mewarnai air tersebut dan justru memberikan keharuman dan kenikmatan kepada orang lain.
6) Sego kokoh
Sego Kokoh merupakan sebagai simbol agar mengingatkan manusia agar tidak membuang sisa makanan, alangkah baiknya dihabiskan hingga tidak tersisa yang melambangkan kesyukuran kepada tuhan yang memberi rezeki kepada umat manusia. Sego kokoh ini secara tidak langsung menyiratkan bahwa menjadi manusia agar menjadi manusia yang bermanfaat, sejelekjelek orang pasti ada manfaatnya, yang kadangkala orang bisa berubah berbuat baik.
7) Lawe (tali)
Lawe atau tali sebagai simbol pengikat seluruh keinginan dan maksud tujuan supaya terkabulkan oleh Tuhan. Tali ini merupakan sebuah ekpresi dimana tali memiliki peran sebagai mengingat dan pengikat kepada jalan yang lurus. Tali memiliki tiga warna yaitu
putih, merah dan hitam, yang merupakan simbol gambaran manusia yang terdiri dari tiga unsur sukmo, nyowo, dan rogo yang menjadi satu.
8) Kemenyan
Kemenyan merupakan simbol dari taline Iman, uribing cahya kumoro, kukuse ngambang swargo, ingkang nampi dzat Moho Kuwaos. (sebagai tali pengikat keimanan, nyalanya diharapkan sebagai cahaya kumara, asapkan diharapkan sebagai bau-bauan surga dan agar dapat diterima oleh Tuhan Yang Maha Kuasa.
Dari maksud diatas dapat dipahami bahwa membakar kemenyan dalam prosesi ritual sebelum pagelaran bukan ritual yang melanggar agama, yang mungkin sebagian orang menggap ritual pembakaran kemenyan sebagai perbuatan yang menyalahi aturan agama. Pada jaman Nabi pembakaran kemenyan sering diganti dengan bau-bauan harum, yang dinyatakan sebagai hal yang disukai Tuhan. Baik kemenyan maupun wangiwangian intinya sama yakni untuk mendekatkan diri pada Tuhan.
9) Minyak wangi (misik/serimpi/javaron)
Minyak wangi merupakan sebagai pelengkap dari salah satu uborampe yakni kemenyan, minyak wangi ini dipersepsikan sebagai bentuk kesegaran, keharuman yang identik dengan kebaikan yang diharapkan mampu menular disekitar. Kebaikan ini harus dilakukan dimanapun dan kapanpun kita berada sehingga semerbak kebaikan bisa dirasakan oleh orang lain layaknya aroma minyak wangi yang dapat dinikmati disekelilingnya
10) Dupo Ratus
Dupo ratus batangan dengan panjang sekitar 40 cm ini dibakar akan mengeluarkan asap yang mempunyai aroma yang harum. Pada saat ritual berlangsung dupo diayunayunkan disertai doa permohonan kepada tuhan. Dupo sebagai bentuk simbol pemujaan kepada Tuhan asap dari dupo yang tengah mengepul itulah yang menghantarkan permohonan manusia kepada tuhan. Peran dupo ini bisa digantikan dengan rokok grendo, namun seiring langkanya rokok grendo maka digantikan dengan Dupo ratus.
11) Cok bakal
Cok Bakal merupakan perlengkapan sesaji yang terdiri dari kembang setaman, kemiri, daun sirih digulung, bumbu dapur dan sebutir telur yang semuanya dimasukan kedalam takir atau daun pisang yang dibentuk menyerupai mangkok. Cok bakal merupakan simbol bentuk pengorbanan atau persembahan kepada Tuhan dan roh para leluhur Dari beberapa uborampe tersebut memiliki makna simbolis yaitu telur Jawa yang merupakan simbol dari cakra menggiling (perputaran hidup) dimana kehidupan ini berputar sebagaiman telur ayam yang menjadi cikal bakal ayam kemudian mati dan seterusnya. Aspek yang lain yang terapat dalam cok bakal yaitu daun sirih yang merupakan salah satu unsur untuk membuat Kinang sebagai wujud persembahan kesenangan nenek moyang, sedangkan bumbu dapur merupakan sebagai ekpresi kemakmuran dalam rumah. Terakhir kemiri sebagai simbol dari kata iri, yang mengingatkan hidup jangan iri satu sama lain.
12) Kembang telon
Kembang telon yang terdiri dari tiga macam bunga yaitu kanthil, kenanga dan mawar. Ketiga jenis bunga tersebut memiliki persepsi arti simbolis sebagai berikut ini. Pertama, bunga kanthil supaya Penonton Reyog kinthil atau mengikuti dan menikmati pagelaran reyog pada waktu pentas. Kedua, bunga kenanga di persepsikan dengan kenangan atau teringat, yaitu teringat keindahan kesenian reyog yang dipentaskan. Ketiga bunga mawar sebagai simbol dari wewangi, menarik hati dan memiliki daya pikat. Kembang mawar sebagai persepsi agar
para penonton tertarik dan tepesona dengan keindahan oleh karena itu hendaknya keindahan tersebut dikabarkan sebagai mana wangi bunga yang menyebar disekelilingnya sehingga keindahan reyog bisa dinikmati bersama.
13) Kambil Gundul
Kambil gundul yang menyerupai bentuk kepala manusia memeliki arti bahwasanya kepala manusia tempat otak berada, manusia hendaknya harus berfikir sebelum melangkah dan berfikir untuk menebar kebaikan atar sesama. Jika dikaitkan dengan tahapan dalam ilmu Agama, dalam buah kelapa terdiri dari empat lapis yaitu serabut, batok, kelapa dan air kelapa yang merupakan simbol dari ilmu syariat, tarekat, hakekat, makrifat.


Penutup
Kesenian Reyog merupakan seni yang memiliki keunikan dan kekhasan tersendiri berawal dari cerita asal usulnya, perkembangan serta pelestariannya. Terlepas dari hal tersebut perlu disadari bahwa dalam seni Reyog, dalam hal ini adalah semua piranti-pirantinya memiliki simbol, makna, dan karakter tersendiri. Mengenai perkembangannya seni Reyog telah merambah pada beberapa model yairu reyog obyokan, reyog festival, reyog santri, dan reyog pelajar ata mahasiswa. Terlepas dari beberapa komunitas tersebut, satu hal yang perlu untuk selalu dijaga adalah tat aturan yang pakem dalam memainkan reyog.

Daftar Pustaka
C.A. Van Peursen, 1998, “Strategi Kebudayaan”, Penerbit Kanisius, Yogjakarta.
Clifford Geertz, 1989, “Abangan, Santri, Priyayi Dalam Masyarakat Jawa”, Penerbit
Pustaka Jaya, Jakarta.
Koentjaraningrat, 1994, “Kebudayaan Jawa”, Penerbit Balai Pustaka, Jakarta.

Jusuf Harsono dan Slamet Santoso, 2005, “Dinamika Perubahan Struktur Sosial Para Warok Ponorogo ( studi Kasus : Mobilitas Sosial Vertikal – Horisontal Para Warok di Kabipaten Ponorogo)”, Fenomena Jurnal Ilmiah Ilmu Sosial – Humaniora, Vol 2. No 1, Januari 2005, ISSN 1693-8038.

Sidi, Galzaba. 1962. Masjid Pusat Ibadah dan Kebudayaan Islam. Djakarta: Pustaka Antara.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar