Senin, 03 April 2017

Ethnolinguistics A Study in Indonesian Culture



          ETHNOLINGUISTICS
A STUDY IN INDONESIAN CULTURE


OIRATA, A TIMORESE SETTLEMENT ON KISAR BY J.P.B. DE JOSSELIN DE JONG


Tugas Review buku ini disusun untuk memenuhi tugas Mata Kuliah Ethnolinguistics

Dosen Pembina: Dr. Inyo Yos Fernandez
.







Oleh :
CHALIMAH

NIM : T111608001

Program Studi Linguistik (S3-Linguistik Deskriptif)
Universitas Negeri Sebelas Maret


 2017

DAFTAR ISI

A.  PENDAHULUAN …………………………………………………………1
B.  PEMBAHASAN …………………………………………………………...5
1.   Desa Oirata …………………………………………………………….. 5
2.   Populasi Register ………………………………………………………. 6
3.   Indeks Nama Diri ……………………………………………………….6
4.   Mitos dalam Bahasa Oirata dan Bahasa Inggris ……………………….6
5.   Tempat dan Nama Diri didalam Teks ………………………………….6
6.   Ringkasan Mitologi Oirata ……………………………………………...7
7.   Analisis Etnologi ……………………………………………………….15
8.   Catatan Fonetis …………………………………………………………15
9.   Catatan Gramatikal …………………………………………………….20
10.            Kosa Kata ………………………………………………………………21
C.  KESIMPULAN…………………………………………………………….21
DAFTAR PUSTAKA …………………………………………………………23


















REVIEW ON STUDIES IN INDONESIAN CULTURE
OIRATA, A TIMORESE SETTLEMENT ON KISAR
J.P.B. DE JOSSSELIN DE JONG
Oleh: Chalimah

A.          Pendahuluan

J.P.B De Josselin De Jong telah melakukan penelitian tentang etnologi dan linguistik selama 1 tahun di kepulauan Melayu dibawah pendanaan Rockefeller Foundation sejak Februari 1933 sampai Februari 1934 dengan luaran penelitian berupa buku yang diterbitkan pada tahun 1937 sebanyak 289 halaman yang diterbitkan oleh Uitgevers-Maatschappij di Amsterdam. Dibuku tersebut, beliau lebih fokus pada hasil peneltian budaya dan bahasa di pulau Kisar meskipun beliau telah mengunjungi lima pulau yang diantaranya yaitu Buru (Moluccas), Wetan (Babar Islands), Moa, Wetar, dan Kisar yang terletak di selatan barat daya di kepulauan Indonesia. Beliau tertarik untuk mendalami kebudayaan dari orang Oirata yang masih sangat primitif dan tertarik untuk mencari tahu asal-usul terbentuknya pulau Kisar. Kebudayaan orang Oirata merupakan cermin keunikan dari salah satu wilayah terpencil di Indonesia. Meskipun memerlukan waktu yang sangat lama untuk tinggal di pulau Kisar, De Josselin De Jong merasakan kagum akan keindahan pulau Kisar dan beliau merasakan kenyamanan seperti tinggal dirumah sendiri karena hatinya merasa senang dengan prinsip pertemanan orang Oirata yang lembut yang menunjukkan sikap yang bersahabat dan ramah kepada tamunya. Berikut ini pernyataan J.P.B De Josselin De Jong tentang orang Oirata “to the simple folk of all those sun-bathed, palm-encircled hamlets where the western student meets with unexpected understanding of his work, where he is made to feel at home, where his heart is gladdened by the gentle friendliness of Indonesian comradeship and hospitality”.
Terdapat beberapa peneliti tentang budaya dan bahasa yang terkenal yang melakukan hal yang hampir sama seperti yang dilakukan oleh J.P.B De Josselin De Jong (1937) yaitu Gorys Keraf (1984) melalui bukunya yang berjudul linguistik bandingan historis . beliau membandingkan tentang seluk beluk bahasa dan usaha untuk menentukan bentuk-bentuk tua suatu bahasa yang berasal dari beberapa daerah di Indonesia dan juga dibandingkan dengan bahasa Eropa, bahasa Austronesia Barat, dan bahasa Austronesia Timur; Laura M. Ahearn (2012) dengan bukunya yang berjudul living language an introduction to linguistic anthropology  yang membahas tentang bahasa, pola piker masyarakat, kebudayaan, komunitas pengguna bahasa tertentu, multi bahasa, kekuatan bahasa untuk menunjukkan kekuasaan ‘power’ dan perbedaan status sosial di masyarakat; Alessandro Duranti (1997) dengan bukunya yang berjudul linguistic anthropology yang membahas tentang teori budaya, komunitas dan ragam bahasa; Inyo Yos Fernandez (1998) yang berjudul penyebab dan penyembuh sakit: sebuah perubahan pandangan masyarakat Minahasa. Beliau membahas tentang bahasa dan pendukung budaya Minahasa dari 2 macam kelompok etnik Minahasa yaitu masyarakat Minahasa inti yang meliputi (etnik Tonsea, Tombulu, Tondano, Tontemboan, dan Tonsawang) dan masyarakat Minahasa periferal yang meliputi (etnik Bantik dan Ratahan).

B.          Metode penelitian Ethnolinguistics
Didalam penelitian etnografi, peneliti harus melakukan pendekatan secara langsung dengan cara terlibat langsung dalam kehidupan etnik yang diteliti yang membutuhkan totalitas agar mendapatkan hasil yang valid dan reliable. Pemikiran De Josselin De Jong ternyata sama dengan pola pemikiran para peneliti selanjutnya (James P. Spradley:1979; Robert K. Yin: 2011, Elizabeth Campbell and Luke Erc Lassiter: 2015; Sam Ladner: 2014; Teresa L. McCarty: 2011; Tom Boellstorff, et.al: 2012; Julian M. Murchison: 2010; David M. Fetterman: 2010; Paul Atkinson and Martyn Hammerssley: 2007; Paul Atkinson, et.al.: 2007; Shirley Brice Heath and Brian V Street: 2008; Margaret D Lecompte and Jean J Schensul: 2015). Sehubungan dengan yang telah dilakukan oleh J.P.B De Josselin De Jong Beliau melakukan studi lapangan untuk melakukan pendekatan budaya yang membutuhkan waktu yang cukup lama dan beliau sudah menggunakan instrument penelitian yang sesuai yaitu berupa direct interview and recorded instrument dari 9 informan utama yang berasal dari clan Hanoo, Oirata Timur. Direct interview atau yang saat ini lebih dikenal dengan istilah in-depth interview merupakan cara utama dalam mendapatkan data. Keuntungan dari metode pengambilan data melalui interview beberapa native speakers adalah untuk mendapatkan informasi yang lengkap, melakukan triangulasi data dengan mencocokkan kesesuaian dan kesamaan informasi yang didapatkan serta diperlukan proses transkripsi dan analisis data  yang sangat teliti pada transkrip rekamannya (interview recording).

C.          Pembahasan
Studi ini membahas tentang desa Oirata, populasi register, indeks nama, mitos dalam bahasa Oirata dan bahasa Inggris, indeks nama dan tempat dalam teks, analisis etnologi, catatan fonetis, catatan gramatikal, dan kosa kata. Berikut ini pembahasannya.

1.           Desa Oirata
Oirata dibagi menjadi dua desa yaitu Oirata Timur dan Oirata Barat yang sangat dikenal dengan nama Oiriaka, Oiriata yang berarti air kotor dan juga disebut Timut Warat (Timur-Barat). Nama mistisnya adalah Horna Werna. Terdapat beberapa klan dan keturunan di Oirata yaitu klan Oir, pada, Amb, Mal, Soa yang melahirkan garis keturunan atau generasi yang dinamakan Oir, koto, Amb. Mal, mata rumah.
Oirata dibagi menjadi tiga kasta atau kelompok kelas yaitu: 1) kasta tertinggi yang disebut Mar(a)n(a) atau Ratu yang tergolong para kaum keturunan bangsawan, 2) kasta tengah yang disebut Wuh(u)r(u) yang terdiri dari orang kaya dibawah kaum bangsawan, 3) kasta bawah yang disebut Atan(a) uma uaruan yang terdiri dari keturunan orang biasa, orang miskin dan pelayan.
Oirata memiliki terminologi kekerabatan yang dibagi menjadi tiga yaitu generasi tua atau parents’ generation terdiri dari 10 panggilan diantaranya: 1) ayah dipanggil hawaini, ha, 2) paman dari saudara ayah dipanggil ha lapana kaka atau ha lapana noonoo, 3) bibi dari saudara ayah dipanggil irimi kaka atau irimi noonoo, 4) ayah dari istrinya saudara laki-laki dipanggil irimi, 5) ayah dari suaminya saudara perempuan dipanggil saisai, 6) ibu dipanggil nawaini, 7)  bibi dari saudari ibu dipanggil na lapana, 8) paman dari saudara ibu dipanggil sai sai, 9) ibu dari suaminya saudara perempuan dipanggil saisai, 10) ibu dari istrinya saudara laki-laki dipanggil irimi. Generasi saat ini atau own generation terdiri dari 30 panggilan diantaranya: 1) kakak laki-laki dari seorang laki-laki dipanggil kaka, 2) adik laki-laki dari seorang laki-laki dipanggil noonoo, 3) saudara perempuan dari orang laki-laki dipanggil lerene, 4) keponakan laki-laki dari garis keturunan ayah  dipanggil kaka, 5) keponakan perempuan dari garis keturunan ayah dipanggil lerene, 6) kakak perempuan dipanggil noonoo kaka, 7) adik perempuan dipanggil noonoo, 8) saudara laki-laki dari perempuan dipanggil name, 9) dst. Kemudian, Generasi anak ‘children’s generation’ terdiri dari 4 panggilan, yaitu: 1) anak dipanggil modo, 2) anak laki-laki dipanggil modo name, 3) anak perempuan dipanggil modo tuhuru, 4) saudara sepupu dipanggil modolerene.

2.           Populasi register
Data demografi menunjukkan bahwa pupulasi register di Oirata Timur pada bulan Januari 1934 berjumlah 363 laki-laki dan 468 perempuan sehingga jumlah keseluruhan adalah 831 orang, sedangkan populasi register di Oirata Warat terdiri dari 167 laki-laki dan 230 perempuan sehingga populasi keseluruhan adalah 397 jiwa. Dengan demikian, jumlah penduduk seluruhnya dari Oirata Timur dan Oirata Warat adalah 530 orang laki-laki dan 698 perempuan atau 1238 secara keseluruhan.
Nama nama yang ditemukan di Oirata menunjukkan system kekerabatan di masyarakat setelah diketahui bahwa Mau’ata  adalah nama anggota yang berhubungan dengan klan ahanoo dan Hunlori dan terhubung juga dengan Asatupa yang telah dikonfirmasi melalui fakta bahwa nama La’uhunlori dan Watuhunlori ditemukan. Biasanya nama depan dari orang Oirata diawali dengan Dai-, Kei-, Kiki-, Lar-.

3.           Indeks nama diri
Nama-nama orang Oirata berdasarkan data yang disusun menurut alphabet, ternyata tidak ada nama seorangpun yang diawali dengan huruf b, c, e, f, g, o, q, v, x, y, dan z. Huruf yang paling sering dan banyak digunakan untuk nama diri adalah huruf h, k, l, m, r, s, w misalnya: Haindail, Haisou, Kahawono, Kaihili, Ladara, Lahaleu, Maadai, Maanai, Raihunu, Railawan, Saikene, Sairara, Waduara, Warmalai.

4.           Mitos dari orang Oirata
Mitos dari orang Oirata adalah mereka memiliki kepercayaan yang sangat tinggi tentang kekuatan alam yang mampu merubah bentuk manusia menjadi sebuah batu, seekor hewan atau ikan, sebuah pelangi, dan bahkan sebuah karang dengan bantuan yang diperoleh dari sang Pencipta. Orang Oirata memiliki mantra-mantra mistis untuk menyuburkan  tanah dan peternakannya. Mereka juga bisa mengembalikan kerusakan alam dengan cara menggunakan kekuatan mistis.  Kepala suku dianggap sebagai orang yang memiliki kekuatan supernatural yang paling tinggi yang sangat dihormati oleh rakyatnya. Jika ada bagian dari masyarakat Oirata yang membangkang kepada kepala suku atau kelompok tua, maka mereka akan mendapatkan hukuman yang sangat berat yaitu dengan cara dibunuh.

5.           Tempat dan Nama Diri di dalam teks
Semua nama tempat dan nama diri dalam teks disajikan secara alfabetis namun tetap saja ada beberapa huruf yang tidak ditemukan, seperti: b, c, f, g, q, v, x, y, z. Sebenarnya ini ada kaitannya dengan kemampuan fonetis dari masyarakat Oirata. Berikut ini saya paparkan contoh-contoh dari nama tempat dan nama diri yang ada di masyarakat Oirata: Asamali, Dai Ahus, Edensere, Hakapei, Ilikesi, Jotowa, Kaskoi, Lailere, Maakai, Namahere, Oiriata, Pajaman, Radi, Sairara, Tadlai, Uaraha Lauara, Wadlau.  

6.           Ringkasan Mitologi Oirata
Pada jaman dahulu, langit yang disebut orang Oirata ‘Maukou’ dan bumi ‘Huimau’ adalah  satu komponen sehingga hanya ada kegelapan/malam tanpa ada terang/siang. Ada 4 jenis burung yaitu rajawali, merpati, burung pemakan biji rerumputan dan burung dari kelas burung gagak yang dikenal dengan nama ‘Magpie’. Atas permintaan Magpie, Pencipta menciptakan siang dan malam. Langit dan bumi mendapatkan seorang anak laki-laki yang diberi nama Wadlau. Dia mencabut satu tulang rusuknya untuk dirubah menjadi seorang perempuan. Dari pernikahan itu, mereka mendapatkan keturunan yaitu 6 iblis laki-laki dan 2 anak manusia yaitu seorang laki-laki yang dinamakan Tatilu dan seorang perempuan yang dinamakan Laltilu. Keenam iblis dipaksa turun ke bumi sehingga mereka membuat daratan dan lautan. Daratan tersebut adalah perubahan bentuk dari iblis: 1 iblis menjelma menjadi pulau Wertutun, 1 iblis menjelma menjadi pulau Werwain/Mother of Islands, 1 iblis menjelma menjadi pulau Wetar, 1 iblis menjelma menjadi pulau Roma/Upormaha, 1 iblis menjelma menjadi Burung yang tinggal di udara dan 1 iblis menjelma menjadi ular besar di dunia/Serpent.
Tatilu menyembunyikan sebatang emas di cabang pohon Waringin tetapi dia kehilangan emas tersebut. Tatilu menemui orang-orang langit yaitu Lakluana dan Lailuna yang diduga telah mencuri emasnya. Itulah awal mula Tatilu akhirnya menikahi putri mereka. Dari pernikahan tersebut, Tatilu memperoleh 4 anak perempuan dan 5 anak laki-laki. Pencipta menciptakan tujuh rumah bertingkat di langit yang menjadi asal mula cerita dari surga. Disanalah Tatilu menikahi saudara perempuannya sendiri yang bernama Laltilu dan memperoleh 4 anak laki-laki dan 1 anak perempuan. Ketika anak mereka tumbuh dewasa, Pencipta menyuruh mereka memilih sesuai dengan keinginan dala hati mereka untuk tinggal di Timur (dengan cara memilih kain untuk pinggang/loin-cloths) atau tinggal di Barat (dengan cara memilih jas, celana, topi, sepatu, pena, tinta, dan kertas). Anak mengambil pena, kertas, tinta, jas, celana, topi, sepatu, senapan, pedang dan mengembara jauh yang akhirnya sampai dan tinggal di Inggris. Anak yang kedua mengambil benda-benda yang sama dengan anak pertama yang disepanjang jalan menembak burung-burung sampai-sampai tidak sadar bahwa dia sudah tiba Holland/Belanda. Akan tetapi 2 anak laki-laki yang termuda memilih benda-benda yang menunjukkan arah timur sampai mereka tiba di Wero Wera. Adanya perselisihan diantara mereka dijalan sampai akhirnya mereka memutuskan untuk pergi ke Kisar  ditemani dengan saudara-saudara perempuannya dan beberapa budaknya pergi ke Kisar.
Mereka berlayar ke Kisar dengan menggunakan satu tingkatan rumah di langit sebagai perahu. Satu dari mereka yang bernama Lelerai menyelam kedalam laut untuk melepaskan jangkar yang tertambat akan tetapi dia berubah menjadi batu. Di tengah kepanikan, Pencipta menyuruh mereka kembali. Mereka kehilangan satu orang laki-laki dan satu orang perempuan yang melompat kedalam air dan mati karena kelelahan yang berubah menjadi ikan paus. Sisa dua orang laki-laki dan satu orang perempuan yang terdampar. Laki-laki tertua bernama Ratu Pitu Ratu dan perempuan bernama Rawiru berenang ke Timor dan menikah serta tinggal disana. Laki-laki termuda bernama Nami Pitu Ratu membuat sebuah perahu dari busa air laut dan melanjutkan berlayar ke Kisar. Dia menikah dengan Rueru yang dikirim oleh Pencipta dari rumah bertingkat tujuh. Mereka memiliki 7 anak perempuan dan 7 anak laki-laki. Anak bungsu yang bernama Usara Wesara menemukan sebuah perahu yang penuh dengan muatan di Ilikesi. Keenam kakak laki-lakinya bersama dengan 2 saudarinya berlayar memakai perahu ini menuju Timor untuk membeli sirih dan pinang.
Disaat kembali ke Kisar, mereka dihadang oleh Angin Musim Barat dan terdampar di Wertutun Werwain (tanah gading dan emas). Ketika mereka meninggalkan pulau itu, mereka membawa pasir sebagai kenang-kenangan yang ternyata memang benar-benar emas. Kemudian mereka pergi ke Serwaru Tutukei di pulau Leti dan berteman dengan Reilaumali dan Wilaumali. Mereka meminta tukang emas (Totonaka Lewenkoho mengambil dan memperlakukan emas dengan cara yang layak. Saat mereka (disebut Lewenmali dan Asamali) tinggal di Leti, pulau tersebut dikunjungi oleh ratu dari pohon langit Rupitali Wanoro. Enam penguasa/pemimpin Leti pergi menjemput ratu itu tetapi mereka tidak dapat menarik perahunya, sehingga Lewenmali dan Asamali melakukannya untuk mereka dan menganggap Rupitali Wanoro sebagai keluarga mereka (berawal dari perkenalan sampai tumbuh rasa persaudaraan). Rupitali Wanoro mengajarkan ritual permainan ‘hela rotan’ dan menyuruh mereka kembali ke Kisar.
Ketika mereka tiba di Kisar, mereka menemukan ayah dan adik bungsunya berubah menjadi batu karang, kecuali hanya wajah dari ayah mereka yang masih dapat berbicara. Ketika mencari makanan, mereka menemukan seekor kerbau, tetapi ayah mereka mengatakan bahwa daging kerbau hanya untuk ritual tertentu saja. Kemudian mereka menemukan kambing yang sebelumnya adalah ulat-ulat dan mereka pergi ke Lakor untuk mencaritahu apakah daging kambing dapat dimakan. Mereka berteman dengan Wurkeliau dan Lolkeliau yang mereka ajarkan bagaimana mendapatkan anak. Ketika Wurkeliau hamil, mereka mengadakan pesta dan pada saat itulah Lewenmali da Asamali mengenal makan daging kambing. Kemudian mereka kembali ke Kisar dan menemukan bahwa wajah ayah mereka sudah berubah menjadi batu karang. Pulau Kisar terkena tsunami dan terapung namun Lewenmali dan Asamali berhasil menariknya dengan permainan ritual yang mereka pelajari dari Rupitali Wonara dan dipercaya ritual itu bermanfaat untuk kemakmuran bagi manusia dan binatang.
Saudari tertua dari Lewenmali dan Asamali yang bernama Masamere berkenalan dengan Mamere (pelangi) yang kemudian menjadi kekasihnya. Mereka bertemu secara rahasia, namun akhirnya dikhianati oleh seorang perempuan tua. Saudara-saudara dari Masamere mencegat dan membunuh Mamere dan memotongnya menjadi beberapa bagian. Ketika Masamere datang, dia melihat kejadian itu dan menemukan beberapa pedang. Kemudian dia membawa semuanya ke rumah dan memakainya sebagai mahar/mas kawin untuk mempelai wanita dari saudar-saudaranya. Sebagai balasannya, dia menyuruh mereka menebang pohon untuknya. Ketika dia sudah memiliki tumpukan kayu dalam jumlah yang besar, Masamere membakar dirinya sendiri sampai mati. Ruhnya pergi bersama asap pergi membumbung ke langit dan dia menjadi pelangi perempuan yang dihiasi asap/abu.
Adik perempuan yang bernama Haulaloho disembunyikan dan saudara bungsunya yang bernama Kaskoi diperintah untuk mengawasinya. Namun, dia dikunjungi oleh seorang laki-laki bernama Noihidai yang masuk melalui jendela. Haulaloho hamil dan saudara-saudaranya memutuskan untuk membunuhnya ketika mengetahuinya. Haulaloho diselamatkan oleh Kaskoi didalam sebuah lubang tanah dan memberinya jangkrik dan belalang sebagai makanan. Haulaloho melahirkan seorang anak peremuan yang dinamakan Surihi. Haulaloho membujuk seekor ayam jantan untuk pergi dan menjemput Noihidai. Ayam jantan itu pergi menemui Noihidai dilangit dan menyampaikan pesannya. Noihidai turun ke bumi dengan orang-orangnya membawa pakaian untuk Haulaloho dan Surihi kemudian mengangkat mereka ke dunia yang lebih tinggi. Suatu hari, Surihi menemukan sebuah anak panah yang dilepaskan milik Kaskoi. Karena kehilangan anak panahnya, Kaskoi pergi ke dunia yang lebih tinggi itu di pintu masuk desa Noihidai. Haulaloho menyembunyikan Kaskoi didalam sebuah kandang babi. Ketika Noihidai tahu apa yang terjadi, dia memarahi istrinya dan memperlakukan Kaskoi sebagai seorang tamu terhormat.
Ketika Kaskoi kembali ke bumi dengan banyak makanan yang lezat, saudara-saudaranya merebutnya dan memaksa Kaskoi untuk menceritakan kemana dia pergi sebelumnya. Sekarang mereka ingin mengunjungi saudarinya Haulaloho dan menawarkan kepadanya bagian kekayaannya berupa emas dari Wertutun Werwain. Kaskoi menjadi penunjuk jalan ke rumah Haulaloho. Mereka diterima dengan caci-maki dan penghinaan, sedangkan Kaskoi diperlakukan dengan penuh hormat dan penghargaan. Ketika mereka pulang, Noihidai dan Haulaloho memberi Kaskoi sebuah pedang keramat, tombak keramat, ribuan lonceng (yang berbunyi) dan ternak (lembu/sapi) yang unggul. Sedangkan, saudara-saudaranya hanya menerima sapi yang patah kakinya dan buta matanya. Ketika Kaskoi, ternak, dan pengikut-pengikutnya berjalan didepan dan mencapai bumi, dia dengan pedang keramatnya memotong pohon rotan yang mereka gunakan untuk turun ke bumi sehingga saudara-saudaranya terpental jauh.
Setelah itu, Kaskoi menikahi istri-istri dari kakak-kakaknya dan mendapatkan 4 orang anak yaitu 2 perempuan yang bernama Unaslai dan Daraslai dan 2 laki-laki yang bernama Horokoko dan Laiwahan. Unaslai dan Daraslai menikah dengan orang Wetar bernama Tetikai dan Mauara. Sedangkan Horokoko menikah dengan Romolewen dan Laiwahan menikah dengan Wakalewen. Suatu ketika Harokoko pergi mengunjungi saudari-saudarinya di Wetar. Laiwahan menjadikan Romolewen istri keduanya. Sepulang dari Wetar, Horokoko membunuh Laiwahan. Romolewen bunuh diri dengan melompat kedalam sebuah lubang yang telah dibuatnya dengan sarana supra natural. Romolewen dan Laiwahan menjadi kepiting.
Suatu malam, pulau Kisar dikunjungi oleh orang yang bernama Deliaman dan Pajaman, Lewenmali dan Asamali menanyakan asal mereka, tetapi mereka berbohong bahwa mereka sudah tinggal di pulau Kisar seumur hidupnya. Ketika mereka diuji dengan pertanyaan ‘jika kalian memang tuan tanah disini, sebutkan nama kami, angkat batu besar ini dan jatuhkan ke tanah, jika kalian bisa menyebutkan nama, jika batu besar itu pecah, berarti kalian memang tuan tanah disini’. Akhirnya mereka sadar bahwa Lewenmali dan Asamali adalah tuan tanah di pulau Kisar. Karena mereka meminta kepada Lewenmali dan Asamali untuk tinggal di pulau Kisar, mereka diberi sebuah desa bernama Jotojaum. Desa asli Lewenmali dan Asamali adalah Horna-Werna. Mereka sepakat membagi tanah itu menjadi dua bagian yang sama besarnya. Bagian Timur milik Lewenmali dan Asamali, sedangkan bagian Barat menjadi milik Deliaman dan Pajaman. Pemuda-pemudi dari desa bagian Timur tidak boleh menikah dari desa bagian Barat karena bahasa mereka berbeda. Desa Lewenmali dan Asamali Horna-Werna adalah desa ganda/disebut desa Timur Barat. Kemudian Pencipta memberikan sebuah tanda bagi mereka untuk saling menikah, namun mereka masih tidak mengikuti dan itu tetap terbawa sampai sekarang. Mungkin saja akan berubah suatu hari nanti, namun terasa sulit karena banyak/besarnya permintaan mas kawin yang dituntut oleh orang-orang Jotojaum.
Penguasa Roma yang bernama Tutupei Hakapei dan Huli Hoko mengunjungi Dai Ahus (Kei). Tutukei menikah dengan seorang perempuan Kei yang bernama Wuriesi dan setelah membayar maskawin, dia memboyongnya ke Roma. Tutukei meninggal dan istrinya diperalat oleh laki-laki didesa itu. Dia mengirim pesan kepada ke 7 saudaranya di Kei untuk berlayar ke Roma. Sebelum mereka tiba disana, Roma telah dikunjungi oleh dua orang bangsawan dari Jotojaum yang bernama Nori dan Hakar, yang juga sedang dalam perjalanan ke Kei. Atas permintaan Wuruesi, dia mengikuti kedua bangsawan itu. Akan tetapi, ketika melihat kekayaan Wuruesi, mereka memboyongnya kembali ke Jotojaum dan merampok emas-emasnya. Dari emas itu, mereka mengambil 2 potong emas besar yang dipajang di jendela loteng rumah di bagian timur dan barat. Ketika saudara-saudara Wuruesi tiba di Roma dan mendengar kepergian saudari mereka dengan orang-orang Jotojaum, mereka pun berlayar ke Jotojaum dan mereka mengenali dua potongan emas milik Wuruesi di Timur dan di Barat. Mereka pulang ke rumah dan memohon kepada Pencipta agar mengizinkan mereka menarik/menyatukan beberapa pulau lain dan memperluas wilayah mereka sendiri. Sang Pencipta setuju, namun melarang mereka untuk tidak mencampuri urusan kedua pulau kecil di tengah yaitu Roma dan Kisar. Mereka tidak keberatan dengan larangan ini dan mencoba meluputkan Roma dan Kisar. Usaha orang-orang Kei gagal dan semua perahu mereka tersebar dan hancur, kecuali satu perahu yang pergi dan tidak terlihat lagi.
Dengan usaha-usaha yang dilakukan oleh orang-orang Kei, pulau Kisar bergoncang dan dilanda tsunami. Lewenmali dan Asamali melarikan diri dan berlayar menuju kearah Timor dengan membawa semua harta miliknya dan dimuat pada seekor kerbau yang dipakai sebagai perahu. Adik laki-laki Lewenmali dan Asamali yang bernama Kaskoi mengetahui itu. Kaskoi mendarat di Urualauten. Dia mendirikan sebuah rumah bertingkat 7 dan menanam tanaman Raisere Wakasare. Dia menggunakan sirih dan pinang, memakan buahnya, dan menghitamkan dirinya sendiri. Kaskoi bersahabat dengan pemilik tanah di Urualauten yang membawa dia kerumahnya sebagai seorang tamu. Anak-anak gadis di rumah itu tidak menyukai orang hitam dan menolak melakukan sesuatu terhadapnya, kecuali gadis yang paling muda yang melayani dan tidur dengan Kaskoi. Keesokn harinya, kedua gadis yang lebih tua itu merasa cemburu pada adik bungsu mereka dan mencoba sekuat tenaga untuk mengambil hati Kaskoi namun mereka tidak berhasil. Lalu, keduanya menikah dan mendapat 7 anak laki-laki dan 7 anak perempuan.
Ketika anak-anak Kaskoi cukup dewasa, mereka bekerja di lading bersama-sama dengan paman mereka. Awalnya semua berjalan baik namun kemudian mereka bertengkar dengan paman mereka dan pindah ke bagian tengah pulau Urualauten didaerah Roson Wadumura. Disini mereka bertengkar satu dengan yang lain dan kakak mereka yang bernama Lailere dan Tadlai mengusir saudara-saudaranya Maanunu dan Nunlau yang melarikan diri ke Ilmeti Watmeti dan bertemu kemudian bersahabat dengan orang-orang Leware Masopon sebagai orang kepercayaan untuk menjadi kreditor. Ketika si penghutang belum atau menunda pembayaran utang, Maanunu dan Nunlau mencuri anak mereka. Sampai suatu hari, kejadian ini ketahuan dan anak diselamatkan orang tuanya. Maanunu dan Nunlau dikepung di Ilmeti Watmeti. Karena takut pada kekuatan musuh yang lebih besar, Maanunu dan Nunlau melewati akar pohon beringin/pohon keramat di tengah desa dan diarahkan untuk pergi ke Irauru Wasairi oleh burung “Eleula Patkula” dan bergerak ke sumber air didalam gua dengan anjimg mereka yang dinamakan Wilriun Ilhira. Namun tempat tersebut tidak cocok untuk peternakan sehingga mereka pindah ke Ilwati Laitani. Di Ilwati Laitani, Maanunu dan Nunlau bertemu dengan Raileki dan Lakiliha dan tahu dari mereka bahwa saudara-saudaranya Lewenmali dan Asamali ada di Resresi Jalrasi karena ada perang. Maanunu dan Nunlau pergi ke Reresi Jalrasi untuk menemui Lewenmali dan Asamali. Lewenmali, Asamali, Maanunu, dan Nunlau tinggal bersama dan memerikan saudari-saudari mereka untuk menikah dengan tuan tanah Unaslai dan Daraslai. Saudari-saudarinya Lewenmali dan Asamali menikah. Maakai menikah dengan Wun’kai sedangkan Lelisulai menikah dengan Watasulai. Saudari-saudarinya Maanunu dan dan Nunlau menikah dengan Kikmuni dan Maamuni.
Suatu hari, Maamuni menuntut istri dan menuduh kakak ipar laki-laki mereka brothers in law telah melakukan praktek santet. Keempat perempuan itu malu dan pergi mengadu kepada Lewenmali dan Asamali. Keempat perempuan itu disuruh meninggalkan suami-suami mereka dan menantang mereka untuk bertarung demi nama baik. Pertarungan terjadi dan keempat suami itu ditaklukkan dan dibunuh. Ketika sedang mengejar musuh, keempat saudara itu bertemu dengan Reilaumali dan Wilaumali yang sedang mencari teman mereka yakni Harakati dan Maamau. Ketika mereka sedang makan bersama di Resresi Jalrasi, air disana ternyata berminyak dan berbau busuk karena banyaknya mayat dari musuh-musuh yang mereka bunuh. Oleh karena itu, Reilaumali dan Wilaumali sepakat untuk kembali ke Kisar dan akan disusul oleh yang lainnya. Sejak saat itu, Reilaumali dan Wilaumali menyebut keturunan Lewenmali, Asamali, Maanunu,dan Nunlau sebagai OIRIATA/OIRIAKA yang berarti “Air Busuk” dan orang di Kisar mengikutinya dan menyebut desa Timur Barat Oiriata, Oirata.  
Didalam perjalanan ke Kisar, Lewenmali dan Asamali singgah di Tutukei, Serwaru di Leti yaitu tempat yang dihuni oleh Reilaumali dan Wilaumali. Pada saat yang sama, desa ini dikunjungi oleh Meheloi dan Lewensimara yaitu kaum bangsawan dari Liuleli Dailora, di Timor yang  menginginkan satu kepala manusia untuk merayakan pesta makan daging babi. Mereka meminta agar Reilaumali dan Wilaumali membawakan mereka satu kepala manusia dari Wursere Walusere di Timor yang telah mereka klaim. Reilaumali dan Wilaumali meneruskan pesan itu kepada Lewenmali dan Asamali yang bersedia  menyanggupinya. Mereka berlayar ke Timor, bersahabat dengan tuan tanah Wursere Walusere yang bernama Lekitou Wonlewen. Saat Lekitou Wonlewen tertidur, dia dibunuh dan diambil kepalanya oleh Lewenmali dan Asamali. Ketika mereka tiba di Tutukei Serwaru, mereka diundang oleh Meheloi dan Lewensimara untuk bersama-sama pergi ke Liuleli Dailoro. Disana mereka ditawarkan emas untuk ditukar dengan kepala manusia itu (kepala milik Lekitou Wonlewen). Lewenmali dan Asamali menolaknya. Mereka ditawari gadis-gadis cantik tetapi mereka tetap menolaknya. Akhirnya seorang perempuan tua mengerti bahwa mereka membutuhkan tanah. Oleh karena itu, Meheloi dan Lewensimara menawarkan tanah yaitu Peri, Toinaman, Punang dan Sakian kepada Lewenmali dan Asamali dan mereka menerimanya.
Mereka tinggal di tanah yang baru mereka peroleh namun saudara-saudara muda terlibat dalam persoalan tindak pencabulan yang dilakukan oleh Maanunu kepada seorang perempuan. Lalu, mereka berlayar ke pulau Kisar yang mereka kenal sebagai tanah asal mereka. Kemudian mereka berlayar kembali ke Liuleli Dailoro dan menceritakan kepada saudara-saudara mereka  yaitu (Lewenmali dan Asamali) tentang penemuan tanah itu. Bersama-sama mereka pergi ke Kisar dan saudara-saudara tua dan muda berpisah dan mengembara ke arah yang berlawanan. Ketika mereka bertemu satu sama lain sesudahnya, mereka saling takut satu sama lain dan menetap di tempat-tempat yang berbeda. Saudara-saudara yang muda, setelah diusir dari Dautunu oleh orang-orang Irara, mereka pergi ke Ilikesi dan tinggal disana. Setelah lewatnya generasi ke sekian generasi, keturunan dari semua saudara-saudara tinggal rukun bersama di Horna-Werna.
Pada suatu hari, mereka dikunjungi oleh 10 suku ‘ten clans of people’ yang terpesona dengan aroma dari pohon langit. Pada suatu hari, mereka didatangi oleh 10 suku. Tuan tanah membagi mereka kedalam 3 kelompok yang harus mematuhi persyaratan dari tuan tanah yaitu antara lain: 1) clan atau suku yang memiliki bahasa dan kebiasaan atau adat istiadat yang berbeda dengan orang-orang pulau Kisar maka harus meninggalkan pulau Kisar; 2) clan atau suku yang memiliki bahasa dan kebiasaan atau adat istiadat  hanya sedikit berbeda, mereka diperbolehkan tinggal di bagian barat pulau Kisar; 3) clan atau suku yang memiliki bahasa dan kebiasaan atau adat istiadat yang sama diperbolehkan tinggal dan hidup bersama dengan penduduk asli pulau Kisar. Namun suatu ketika Lewenmali dan Asamali berpikir bahwa ini merupakan hal yang tidak baik jika mereka sebagai penduduk pulau Kisar hanya memiliki 1 kelompok/kelas saja, sehingga Lewenmali dan Asamali membagi mereka menjadi 3 kelompok/3 kelas yaitu: 1) kelompok/kelas tertua ‘the eldest class’ yang diberi nama kelas Ratu/Marna; 2) kelompok/kelas tengah ‘the middle class’ yang diberi nama kelas Wuhur; 3) kelompok/kelas  termuda ‘the last class’ yang dikenal dengan istilah keturunan termuda ‘the youngest lineage’.
Dari hasil pembagian kelas yang dilakukan oleh Lewenmali dan Asamali, muncullah peraturan yang sangat keras yaitu: 1) kelas tertinggi dari kelompok atau golongan tertua ‘the eldest class’ yang diberi nama kelas Ratu/Marna wajib dipatuhi, ditakuti, dan dihormati oleh kelas tengah ‘the middle class’ dan kelas  termuda ‘the last class’. Kelas tertua berhak menempati pulau Kisar sebagai tanah asli mereka. Mereka harus menikah dengan orang yang berasal dari golongan atau kelas yang sama dari kelas Ratu/Marna; 2) kelas tengah dari  kelompok/kelas tengah ‘the middle class’ yang diberi nama kelas Wuhur wajib dipatuhi, ditakuti, dan dihormati oleh kelas dibawahnya yaitu kelas  termuda ‘the last class’. Mereka harus menikah dengan orang yang berasal dari golongan atau kelas yang sama dari kelas Wuhur; 3) kelas termuda ‘the last class’ harus menikah dengan orang yang berasal dari golongan atau kelas yang sama dari kelas keturunan termuda ‘the youngest lineage’. Jika peraturan ini dilanggar maka hukum adatnya adalah hukuman mati, memenggal kepalanya, dan membuangnya di perapian. Hukuman itu dirasakan terlalu berat sehingga peraturan itu dirubah dan orang-orang memutuskan menggantinya dengan binatang-binatang jantan dan gelang-gelang emas: tiga kepala kerbau, tiga buah emas, satu botol nira aren ‘palm-wine’, satu tas penuh sirih, satu keranjang penuh pakaian, dan dia harus meletakkan sebuah emas diatas keranjang sebagai syarat untuk membuang rasa malu mereka. Budaya ini masih dilakukan sampai dengan saat ini.
Kelas tertua menghendaki menerima kesepakatan kerjasama dengan Company (orang-orang Belanda/Hollanders). Kelas tertua sebagai pemimpin/pemerintah  menyuruh saudara ipar laki-laki mereka Horsair untuk pergi ke luar negeri/Belanda. Horsair tidak mengenal bahasa luar, tetapi saudara ipar laki-laki dari Horsair yang bernama Mutasir yang berperan sebagai penterjemah. Orang-orang tersebut dari kedua belah pihak bertemu dan berbicara dan setelah Horsair memberikan sebuah symbol kekuasaan ‘staff’ dan sebuah bendera ‘flag’, serta sebuah kontrak perjanjian ‘charter’, dan dia (pihak asing) menerimanya dan kemudian mereka kembali ke desa. Pada malam harinya, Mutasair mengkritik Horsair bahwa ia juga patut menerima sebuah symbol kekuasaan ‘staff’ dan sebuah bendera ‘flag’. Di pagi berikutnya, Mutasair meminta bagiannya tetapi dia hanya mendapatkan sebuah symbol kekuasaan ‘staff’ yang terbuat dari tanduk kerbau. Tuan tanah yang telah menerima symbol kekuasaan ‘staff’ dan sebuah bendera ‘flag’ harus memimpin desa wilayah Timur dan desa wilayah Barat ‘the eastern and the western village’. Dikarenakan Horsair sejak dahulu telah menjadi pemimpin ritual dan sekarang telah memiliki symbol kekuasaan dan bendera, dia berpikir bahwa tidak akan berjalan baik jika kedua desa dipimpin olehnya. Jadi pemimpin/pemerintah memutuskan untuk mempercayakan rumah Resiara Taluara untuk memerintah desa yang lebih rendah di desa bagian Barat (the western village). Sedangkan untuk desa yang lebih tinggi di desa bagian Timur (the eastern village) dipimpin oleh saudara ipar laki-lakinya yaitu Mutasair. 

7.           Analisis etnologi
Arti dari mitos adalah suatu kepercayaan kepada sesuatu yang gaib dan mistis yang biasanya diambil dari nama-nama Pencipta, misalnya: Apna-Apha (ibu kami-bapak kami) yaitu representasi dari langit dan bumi yang dipercaya sebagai asal usul adanya manusia; maukou dan huimau menunjukkan sosok laki-laki dan sosok perempuan. Orang Oirata meyakini tentang adanya masa primeval dimana saat itu hanya ada kegelapan, hanya ada satu pohon sakral yaitu pohon beringin atau pohon langit dan hewan yang berwujud burung.  Setelah penciptaan langit dan bumi muncullah penciptaan manusia pertama dengan kekuatan dari Pencipta. Diyakini bahwa laki-laki pertama yang diciptakan itu berbaju matahari (Wadla’u) yang merasakan kesepian sehingga dengan ijin sang Pencipta, dia mengambil tulang rusuknya dan merubahnya menjadi seorang perempuan yang berbaju bulan. Ini menjadi mitos dari perwujudan matahari dan bulan. Dari bersatunya langit dan bumi akhirnya menghasilkan keturunan berupa 6 iblis dan 2 manusia yang bernama Tatilu dan Laltilu. Anak Tatilu memiliki emas yang digunakannya sebagai kekuatan untuk menghubungkan jalan antara langit dan bumi. Emas dipercaya memiliki kekuatan yang bisa membawa manusia ke kehidupan yang bahagia di bumi dan di langit. Melalui petualangan yang panjang dan regenerasi yang terus berlanjut dari kedua manusia pertama, dapat diketahui bahwa dalam realitas kehidupan orang Oirata selalu menggunakan praktik ritual yang baku dalam ritual keagamaan. Setiap garis keturunan dari pimpinan Oirata, dipercaya juga memiliki kekuatan mistis.

8.           Catatan fonetis
Berikut ini pemaparan dari bahasa Oirata yang menunjukkan bahwa mereka sudah mengenal bentuk-bentuk bunyi seperti a) bunyi vokal, b) bunyi diftong dan setengah diftong, c) bunyi diftong vokal atau setengah bunyi diftong, d) bunyi setengah vokal atau setengah konsonan, e) bunyi konsonan
Huruf vokal pada bahasa Oirata ditunjukkan dengan bentuk karakter: /a/ (longer/bunyi lebih panjang: ā), /e/ (longer/bunyi lebih panjang: ē), /i/ (longer/ bunyi lebih panjang: í), /o/ (longer/bunyi lebih panjang: ō), /u/ (longer/bunyi lebih panjang: ū). /a/ dibunyikan terbuka dan jelas ‘open a sound, seperti pada bahasa Melayu ‘bagus’. Bunyi huruf /a/ dan bunyi huruf /a/ ganda /aa/ dan /ā/ ditemukan disetiap posisi di bahasa Oirata, misalnya: ada, daran, pata, karna, rakte, aalamana, maate, maare, itaa, raa; ālu, āl (a), dānu, jāni, māri, pāte. Bunyi huruf /e/ dibunyikan dengan cara yang sama dalam bahasa Inggris pen, dengan bunyi sedikit terbuka, misalnya: ede, meti, sekte, welsen, een, hee, ilee, ēle, hēlu, hēte, lē. Untuk bunyi /o/ sedikit terbuka cenderung ke bunyi diftong seperti di bunyi bahasa Inggris go. Misalnya: odo, koto, kono, horok(e), maro; oo, loor (o), mool, oone, noo, hōle, hōte, lōr, mōmo. Untuk bunyi /u/ sama dengan bahasa Melayu bulan. Misalnya: utu, uste, luku, tapu, lua: duu, tuure; ūle, lūsare, dūre, mū.  
Mengenai bunyi diftong dan setengah diftong, bunyi diftong yang ditemukan di bahasa Oirata adalah /ai/, /au/, /eu/, /oi/, /ui/. Contoh dari bunyi diftong /ai/ terdapat pada kata: ain, airete, kaite, kadai, raai. Saat terdapat bunyi /āu/, bunyi yang pertama lebih terbuka. Misalnya: aun, kaure, nautane, lause, hutrau, pau; nāure. Bunyi diftong /eu/ dibaca /eeuw/ misalnya: heura, leupa, leul (u), aweu. Bunyi /oi/ dibaca /ooi/. Misalnya: hoin, itkoikoite, soi, toi. Bunyi /ui/ dibaca /oei/, misalnya: kuikui, suile, kuise, muit (e), mamuir.
Untuk diftong vokal atau setengah diftong, Bahasa Oirata memiliki bunyi /ei/ dan /ou/ yang dibaca lebih panjang daripada bahasa Inggris. Misalnya: ei, lei, keile, nariei, tei; nou, noure, houte, karhou.
Mengenai bunyi setengah vokal atau setengah konsonan, huruf yang masuk dalam kelompok ini adalah huruf j dan w. Seperti di bahasa Melayu. Bunyi huruf j dan w termasuk vokalik sehingga terkadang membuat orang salah mendengar antara bunyi huruf /i/ dan /u/. misalnya: jamoi, jere, joni, aja, ejeen (e), poje; wadu, warat, we, wohi, winu, wuhur, jawan, hewete, ware (or uare), wale (or uale), nawa (or naua), lowai (or louai).
Sedangkan untuk Symbol fonetik untuk huruf konsonan bahasa Oirata adalah: p, t, k, b, d, l, r, m, n, ń, s, h, ‘. Untuk bunyi /p/ disebut bunyi bilabial stop (keluar dari dua bibir), unvoiced (tidak bersuara keras) dan unaspirated (tidak mendesah) misalnya: pada, pee, pōte, pula, lapur, kapa, opo, iskap, iskrup, sup. Huruf konsonan pada bahasa Oirata biasanya terletak pada elemen awal/inisial dalam bentuk kombinasi pl, pn, pr, pt dan sebagai elemen final pada kombinasi bunyi /kp/, /lp/, /mp/, /np/, /sp/, /tp/,misalnya: reple, taple, uplaka, uplulu, oplese, ploit; kupnin, teptepnana, up(u)nate; apra, kaprepele; apte, kepte; lakpadi, ilpua, malpe, palpalu pilpili; kampia, sompajang; panpani; sirpana; paspase; putputo, patpatu, ratpain.
Untuk bunyi /t/ disebut bunyi soft, though unvoiced, dental stop. Diawal bunyi kata biasanya bisa menyebabkan salah dengar menjadi bunyi /d/. bunyi /t/ bisa ditemukan pada kata: taja, to, tutu, nate, pōte, kamat, seket. Biasanya di elemen awal kata berupa kombinasi bunyi /tt/, /tp/, /tk/, /tl/, /tr/, /tm/, /tn/, /ts/, /th/, /tj/, /tw/ dan elemen finalnya biasanya berbunyi /pt/, /kt/, /lt/, /rt/, /mt/, /nt/, /st/, misalnya: pattu, titti; putputo, ratpain; wetke, mutkal, odotkaure, utkodo, Patkula; hat(a)le, hutluku, petle, potloto; hutrau, itrane, aratrene, odotrapa, potret; mederitmu, Watmeti; utne, modatnani, muitna, titnate; odotsuile, utseile, letsoli; ethain, hathati, it’hemara, ut’helere; tjat, utjēte; utwata, wetwetur, rātwai; apte, kepte; nekte, rakte, rukte, sekte; Latilu, nalteri, palte, seltana, ultua, weltaru, wilte; wirte, kortel, kartās, tartara, tartei, Wertutun; lumte, romte; rante, uantapul; uste.
Untuk bunyi /k/ memiliki bunyi unvoiced velar stop. Bunyi /k/ bisa ditemukan di semua posisi dan dengan bunyi kombinasi /kp/, /kt/, /kd/, /kl/, /kr/, /km/, /kn/, /ks/, /tk/, /dk/, /lk/, /rk/, /mk/, /nk/ , /sk/, misalnya: lakpadi, nekte, rakte; lokde, okdonama; aaklare, wakle, Lakluan, sok(o)lai; arakrake, ikrei, ikris, kikre, kukruku, rekreku, rikriki; Kikmuni, Pukmoumour; oknopo, nakne; rekse, sekseku; wetke, mutkal, odotkaure, utkodo, Patkula; adkeile, didke, mudkeile; Dalkati, ilkua, Lolkeliau, kalkali, Walkokōro, Welkaulu, dorke, herke, Larkei, serkede, Wurkeliau; ramke; dindinke, Lewenkoho, menkesre, oronkai, Wunkai; iskap, iskolo, itaskamate, Kaskoi, masketen, muske.
Untuk bunyi /b/ hanya ditemukan pada 2 bunyi konsonan inisial yaitu pada kata bultzak dan boro. Sedangkan untuk bunyi /d/ memiliki bunyi hard, though voiced, lingual stop yang biasanya membuat orang salah mendengar seperti huruf /t/. bunyi /d/ ditemukan pada inisial konsonan dan ditengah-tengah kata, tetapi tidak pernah diletakkan sebagai final konsonan, misalnya: dala, dudu, Domo, dedem, ada, odo, sudi. Ditemukan bahwa adanya kombinasi /dk/, /dl/, /dn/, /dd/, /dh/, /kd/, /ld/, /rd/, /nd/, /sd/, misalnya: adkeile, didke; dudle, sadle, Tadlai, Wadlau, midne, pednika; mudhai, mudhe; lokde, okdonaman; doldoli; atardihale; dindinke, hindau; itasdure, itawāsdida.
Untuk bunyi /l/, posisi dari lidah untuk menghasilkan bunyi memiliki cara yang sama seperti lingual /d/. Bunyi itu terjadi di semua posisi, misalnya: lada, lere, losu, hala, hele, lalu, kolo, ail, mahul, Rahil. Bunyi /l/ direpresentasikan dalam kombinasi /lp/, /lt/, /lk/, /ld/, /ll/, /lr/, /lm/, /ln/, /ls/, /lh/, /lw/, /pl/, /tl/, /kl/, /dl/, /rl/, /nl/, ,/sl/, misalnya: ilpua, malpe; Laltilu, palte, seltana, ultua, wilte; Dalkati, ilkua, Welkaulu; doldoli, mallakte, mallare; selre, malrane, Jalrasi; Ilmauata, ilmoa, sulmata; alnahai, tulne, salne; halse, katalsoli, malseile; Alhana, elhia, malhe, talhai, walwaluru; reple, taple; petle, odotlare; aaklare, wakle; dudle, sadle; atarlere, hirlasar, kaharlain, Sorlewen; oomanlau, oonluku, Nunlau, Wonlewen; slop, iaslaike, akesle, Unaslai.
Untuk bunyi /r/, menghasilkan bunyi vibrasi dan terjadi di semua posisi, misalnya: rain, rata, ro, rua, harir, here, adar, konor, kuar. Biasanya direpresentasikan dalam kombinasi /rp/, /rt/, /rk/, /rd/, /rl/, /rr/, /rm/, /rn/, /rs/, /rh/, /rw/, /pr/, /tr/, /kr/, /lr/, /mr/, /nr/, /sr/, /hr/, /wr/, misalnya: sirpana; wirte; dorke; atardihale; atarlere; arra, urru, urra; Airmodo, sormata, larmamata, Upormaha; Horna-werna, kaharne, mornala, marna, palaterne; Darsere, Horsair, irse, kurse, sorsorun; anoorhanawe, irhene, karhou, lōrhe, warhai; adarwale, harwaje, Ser(e)waru, sirwisi; apra; hutrau; kikre; selre; memraka, romromu, samre; anri, isamanre, panria, ranranu; asrana, itasrapa, losre, nesrau, sisrue; oh(o)ru; Sawrana.
Untuk bunyi /m/ termasuk bunyi bilabial voiced nasal. Biasanya diletakkan di posisi inisial dan jarang ditemukan pada final konsonan, misalnya: mara, mutu, mete, mire, amu, sama, irim (i), dedem. Bentuk kombinasi yang ditemukan adalah /mp/, /mt/, /mk/, /mr/, /mm/, /ms/, /mh/, /tm/, /km/, /lm/, /rm/, /nm/, /sm/, misalnya: kampia, sompajang; lumte; ramke; samre; mammaa; amseke, amsoru, mumse, numsaure; isamhalu, Mekemhoru; mederitmu; Kikmuni; sulmata; larmamata; panmore, manmante, Lewenmali; itasmara.
Untuk bunyi /n/ termasuk dalam bunyi voiced front nasal. Bunyi /n/ ditemukan di semua posisi, misalnya: na, no, nunu, ina, hian, larin. Bentuk kombinasi yang ditemukan adalah /np/, /nt/, /nk/, /nd/, /nl/, /nr/, /nm/, /nn/, /ns/, /nh/, /nw/, /pn/, /tn/, /kn/, /dn/, /ln/, /rn/, /mn/, /sn/, /hn/, misalnya: panpani; ante, hantuku, rante; dindinke, Lewenkoho; hindau; oomanlau; anri; panmore, Lewenmali; pannasi, punnate; anansuile, heensoli, Lewensimara; panhemara, horonhe, wunhai, onhali; horonwale, oonwaje, Loronwisi; kupnin, teptepnana, up(u)nate; utne; oknopo, nakne; midne; alnahai; lernasi; hauhaurimne, wamnaa, um(u)noron; itasnōre, was(u)ne; uruhnate.    
Untuk bunyi /ń/ atau dalam bahasa Inggris biasanya dalam bentuk symbol /ŋ/ yang memiliki bunyi voiced velar nasal yang ternyata ditemukan bahwa hanya ada 1 kata Punań. Untuk bunyi /s/, selalu tidak bersuara dan tajam (unvoiced and sharp). Bunyi /s/ ditemukan disemua posisi, misalnya: saka, sese, so, suha, sika, asa, mese, losu, kās(e), keles(e), rus, sas. Bentuk kombinasi dari bunyi /s/ adalah /sp/, /st/, /sk/, /sd/, /sl/, /sr/, /sm/, /sn/, /ss/, /sh/, /sj/, /ts/, /ks/, /ls/, /rs/, /ms/, /ns/, misalnya: paspase; uste; iskap, muske, itasdure; slop, akesle; asrana; itasmara; itasnōre; sissoli, Tessakilirin; ashe; Resjotowa; odotsuile; rekse; halse; herse; tamse; anansuile.
Bunyi /’/ adalah bunyi weak glottal stop. Biasanya bunyi ini ditemukan di antara dua bunyi vokal yang tidak masuk pada huruf diftong atau setengah diftong dan tidak dihubungkan oleh bunyi transisional vokal, dan sering juga ditemukan diantara dua konsonan. Dua elemen dari huruf vokal ganda dan huruf konsonan ganda yang dipisahkan oleh glottal stop, misalnya: ra’i, la’ula’u, mede’uare, pu’ine, a’ana’e, me’ana, mi’e, ho’ana, mi’ana, an’ka, oron’kai, it’hemara.
Bunyi /h/ menghasilkan bunyi unvoiced and weaker sound (tidak bersuara dan lemah). Bunyi ini berada di semua posisi, misalnya: ha, hua, horok, houte, he, hitin, aahe, uhe, tahule, asah, itih, tutuh. Direpresentasikan dalam bentuk kombinasi seperti /hr/, /hn/, /th/, /dh/, /lh/, rh/, /mh/, /nh/, /sh/, misalnya: oh(o)ru; uruhnate; ethain; mud’hai; elhia; karhou; isamhalu; wunhai; ashe. 
Dapat disimpulkan adanya karakteristik Fonologi pada Sistem Bunyi Bahasa Oirata yaitu: 1) Adanya perubahan bunyi vokal ‘vocalic change’. Didalam bahasa Oirata,  disebutkan bahwa ada huruf vokal tertentu yang biasanya salah didengarkan oleh orang lain, misalnya pada pembunyian huruf vokal /o/, /u/, /e/, /i/. Di bahasa Oirata mengenal adanya perubahan bunyi huruf vokal ana-ina. Hal itu dibuktikan dengan adanya kata-kata seperti aran(a)-arina, lolorana-lolorina. Jika terdapat kata yang berakhiran dengan /a/ maka dengan jelas di ucapkan dengan bunyi /e/, misalnya: aata = aate, inta = inte, lauara = lauare, perkecualian pada kata ara, wate, dsb. Perubahan bunyi /a/ menjadi /i/ memiliki makna yang sama misalnya antara  ara’a dan ara’i; ia’a dan ia’i, ura’a dan ura’I; 2) Sering berakhir dengan bunyi vokal ‘preference for vocalic endings’. Bunyi vokal diakhir kata biasanya boleh dibunyikan atau boleh pula tidak dibunyikan karena adanya proses consonantic forms, misalnya: akal(a), āl(a), aran(a), atan(a), inar(a), kawas(a), nakan(a), hēt(e), kēk(e), lēn(e), meden(e), resen(e), teher(e), weret(e), dolon(o), lodon(o), lolon(o), lōn(o), sohon(o), momor(o), solot(o), dain(i), hain(i), il(i), irim(i), losir(i), rain(i), salin(i), sūn(u), arus(u), lehun(u), nupur(u), riun(u), unut(u), tuhur(u). Kadang-kadang seseorang boleh memilih antara dua bunyi berakhiran bunyi vokal, misalnya: umar (a,e), warat (a,e), hitin (i,e), nakun (u,e), lutur (u,e); 3) Adanya kontak huruf vokal (contact of vowels). Jika ada bunyi yang tidak memiliki bentuk diftong atau setengah diftong serta tidak dipisahkan oleh glottal stop, terdapat alternative bunyi yaitu dengan cara tidak memakai salah satu huruf vokalnya, melainkan dihubungkan dengan half vowel /n/, atau menambahkan bunyi /j/, /w/ oleh karena itu hian dibunyikan hijan; tie dibunyikan tije; io’one dibunyikan ijo’one; meana dibunyikan mejana; lua dibunyikan luwa; ue dibunyikan uwe; ilmoa dibunyikan ilmowa. A’a + asi dibunyikan a’anasi; a’a + ahamu dibunyikan a’anahamu; a’a + uta: a’anuta; aha + epu dibunyikan ahanepu; ete + asi dibunyikan etenasi; nere + asi dibunyikan nerenasi; ia + ihile dibunyikan ianihile; ara + ihile dibunyikan aranihile; a + uhule dibunyikan anuhule; wisare +ie dibunyikan wisarenie; unaa + āni dibunyikan unaanāni, unanāni, unnāni, unāni; 4) Pemendekan bunyi ‘shortening vowels’. Berikut ini adalah aturan di dalam pemendekan bunyi vokal: Bunyi vokal ganda yang disingkat dalam satu huruf vokal (contraction of double vowels). Misalnya: uma ara – umāra; una’amire – unāmire, unamire; tuure –tūre, ture, dsb; Huruf vokal yang didahului dan diikuti huruf konsonan maka tidak perlu dibunyikan (elimination of vowels), misalnya: hat(a)le, pan(a)ha, mar(a)na, wel(e)taru, ner(e)nana (nere + ana), sok(o)lai, kap(i)repele, lok(i)dana, t(i)na’a, ped(u)nika (pedu + ika), mud(u) keile, pun(u)kono, ul(u)taru, was(u)ne;
Akhir bunyi /r/ tidak dibaca jika terletak sebelum huruf vokal, misalnya: ia (r) etesari; Bunyi huruf vokal diakhir tidak dipakai baik dimulai dengan huruf vokal maupun huruf konsonan, misalnya: t’aunie—ti(e) aun ie, wadaun – wadu aun, kaka t’oo – kaka ti(e) oo; 5) Perubahan bunyi huruf konsonan (consonantic change) dipaparkan  secara consonantic metathesis dalam bahasa Oirata: alternasi /t/:/r/, misalnya: tu-tu-taja tuturaje; alternasi /p/:/h/, misalnya: panaha – hanaha; alternasi /h/:/s/, misalnya: hara – sara; alternasi /l/:/r/, misalnya: Latu – Ratu; alternasi /d/:/r/, misalnya: Dai – Rai; alternasi /d/:/l/, misalnya: Dai – Lai; 6) Gaya pengucapan (accent) Bahasa Oirata cenderung bernada tinggi saat mereka berbicara (higher in pitch). Penekanan bunyi biasanya terletak pada suku kata pertama, misalnya: láuse: láusana.

9.           Catatan gramatikal
Bahasa Oirata sudah menggunakan proses pembentukan kata, mulai dari tipe umum stem kata, nomina, derivasi nomina melalui sufiks, verba, kata majemuk, derivasi verba melalui makna sufiks, dan kata-kata asing. Contoh dari bahasa Oirata yang menunjukkan stem kata seperti: atan(a) yang berarti pelayan, dain(i) yang berarti tadi malam, tuhur(u) yang berarti wanita, dst. Sedangkan contoh untuk kalimat majemuk nomina seperti: akar pohon ‘ara-larin’, pencipta kami ‘apna-apha’, kesejahteraan ‘ro-ro’, dsb. Oirata juga sudah mengenal pembentukan kata derivasi dengan menggunakan sufiks –n dan –ana, misalnya: meninggal ‘umu’ dan peninggalan ‘umun’, menakutkan ‘kikren’ dan ketakutan ‘kikren’, dsb. Oirata juga memiliki kalimat majemuk verba, misalnya: Hutrau berarti membuang (throw) sedangkan arahubrau berarti meletakkan/membuang kebawah (throw down). Sangat mengejutkan setelah mengetahui bahwa di bahasa tersebut juga sudah mengenal derivasi verbal, misalnya: lagu ‘wo’ dan menyanyikan ‘woje’, tanduk ‘urru’ dan bertanduk ‘arruani’. Ada beberapa kata yang masuk karena pengaruh dari bahasa asing, misalnya doit (cent: H. duit), kupnin (company: H. kompenie), almari (cupboard: P. almaris), kasin (top to play with: Mal. Gasing), dsb.
Untuk menunjukkan benda jamak, terdapat tiga cara yaitu dengan menggunakan reduplikasi, seperti pada kata: rumah ‘le’ dan  rumah rumah ‘le le’, menambahkan tanda jamak le atau lapan, seperti pada kata rumah ‘le’ atau rumah-rumah ‘le lapan’,  dan menambahkan akhiran jamak –ra misalnya anak laki-laki ‘modo nami’ banyak anak laki-laki ‘modora tuhura’. Dalam bahasa Oirata juga sudah menunjukkan keterangan milik atau posesif misalnya miliknya dia laki-laki/perempuan ‘mariwaluruni’, kantornya dia laki-laki/perempuan ‘marilapain’. Orang Oirata jika ingin menampakkan superlative atau ‘terlalu’, mereka menggunakan kata was, misalnya: sangat berat ‘was tuure’.  Mereka sudah mengenal penulisan angka baik dalam bilangan ganjil, genap, bilangan bertingkat, bilangan pecahan. Mereka juga sudah mengenal kata ganti orang dan refleksif, kalimat aktif pasif, kausatif, imperative, dan larangan, bentuk past dengan menunjukkan keterangan waktu lampau dan future dengan menunjukkan keterangan waktu yang akan datang. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa bahasa Oirata juga memiliki kesemestaan bahasa.
 
10.       Kosa kata
Kosa kata bahasa Oirata memiliki banyak huruf kecuali huruf c, f, g, q, v, x,y, dan z. huruf yang paling banyak digunakan adalah huruf l, m, dan n. tetapi walaupun dengan huruf yang tidak lengkap dari alphabet a sampai dengan z, masyarakat Oirata dapat berkomunikasi dengan komunitasnya tanpa ada kendala.

D.          Kesimpulan
Berdasarkan hasil review yang telah disajikan dalam pendahuluan dan pembahasan sebelumnya, maka dapat diketahui dengan jelas bahwa masyarakat Oirata telah memiliki budaya yang erat dengan mitos yang mereka percaya dari para leluhur mereka. Kepercayaan terhadap kekuatan mistis sudah sangat melekat di dalam hati mereka dan sudah turun temurun. Mereka sangat fanatic terhadap ajaran leluhurnya sehingga mereka tidak bersedia menerima kebudayaan baru maupun pengaruh lainnya dari luar. Mereka juga mengenal kasta atau golongan sehingga terjadi ketimpangan sosial. Masyarakat Oirata harus menikah dengan orang yang memiliki kasta yang sama pula. Dilihat dari istilah kekerabatan, masyarakat Oirata sangat memperdulikan garis keturunan selanjutnya dan menjaga persatuan diantara mereka meskipun sudah dalam generasi jauh akan tetapi mereka masih dapat dengan mudah mengenali silsilah keluarga atau kerabat mereka. Dilihat dari gender, masyarakat Oirata lebih mengagungkan kaum laki-laki daripada kaum perempuan dan memiliki ambisi yang besar untuk memperbanyak kekayaan mereka yang berupa emas, tanah, dan peternakan.
Dilihat dari penggunaan bahasa, masyarakat Oirata sudah memiliki kemampuan untuk berkomunikasi secara efektif dan efisien secara turun temurun yang membuat keturunannya tidak mengalami kesulitan saat mendapatkan kosa kata baru melalui Language Acquision Device yang terdukung oleh lingkungan yang sangat mendukung. Mereka sudah memiliki pola bahasa yang baik karena sudah mengenal adanya proses pembentukan kata, imbuhan, penomoran, kata ganti tunjuk, kalimat tanya, kata ganti orang, refleksif, imbuhan pada kata kerja, kalimat inti dan kalimat pendukung, serta gaya bahasa. Dengan demikian maka dapat dikatakan bahwa bahasa Oirata adalah bahasa yang gramatikal.



  




















Daftar Pustaka

Atkinson, Paul & Hammersley, Martin. 2007. Ethnography Principles in Practice. London & New York: Routledge.
Atkinson, Paul, et.al. 2007. Handbook of Ethnography. London, California, New Delhi, Singapore: SAGE Publications.
Boellstorff, Tom, et.al. 2012. Ethnography and Virtual Words. Princeton and Oxford: Princeton University Press.
Campbell, Elizabeth & Lassiter, Luke Erc. 2015. Doing Ethnography Today. United Kingdom: Wiley Blackwell.
De Jong, J.P.B. De Josselin. 1937. Studies in Indonesian Culture, Oirata, A Timorese Settlement on Kisar. Amsterdam: UITGEVERS-MAATSCHAPPIJ.
Fernandez, Inyo Yos. 1998. Penyebab dan Penyembuh Sakit: Sebuah Perubahan Pandangan Masyarakat Minahasa Kajian Etnolinguistik. Yogyakarta: UGM Press.
Fetterman, David M. 2010. Ethnography Step by Step. Los Angeles, London, New Delhi, Singapore, Washington DC: SAGE Publications.
Heath, Shirley Brice & Street, Brian V. On Ethnography NCRLL (National Conference on Research in Language and Literacy. Columbia University. New York and London: Teachers College Press.
Keraf, Gorys. 1984. Linguistik Bandingan Historis. Jakarta: PT Gramedia.
K Yin, Robert. 2011. Qualitative Research from Start to Finish. New York: The Guilford Press.
Ladner, Sam. 2014. Practical Ethnography a Guide to Doing Ethnography in the Private Sector. USA: Left Coast Press Wlnut Creek.
M. Ahearn, Laura. 2012. Living Language ‘An Introduction to Linguistic Anthropology’. Singapore: Wiley Blackwell.
Mc. Carty, Teresa L. 2011. Ethnography and Language Policy. New York and London: Routledge.
Murchison, Julian M. 2010.  Ethnography Essentials Designing, Conducting, and Presenting your Research. San Francisco: Jofey Bass
Spradley, James P. 1979. The Ethnographic Interview. United States of America: Holt, Rinehart and Winston.












Tidak ada komentar:

Posting Komentar