Selasa, 18 April 2017

Mitology Orang Oirata Tercermin pada Keunikan Dalam Berbahasa



Mitology Orang Oirata Tercermin pada keunikan dalam berbahasa
(studi pada sebuah pemukiman di Pulau Kisar)

Pendahuluan
Etnolinguistik terbentuk dari gabungan kata etnologi dan linguistik, yang lahir karena adanya penggabungan antara pendekatan yang biasa dilakukan oleh ahli etnologi (kini: antropologi budaya) dengan pendekatan linguistik. Nama lain untuk menyebut istilah etnolinguistik adalah antropo linguistik atau linguistik antropologi (Duranti, 1997:2).
Etnolinguistik merupakan cabang ilmu linguistik yang mempelajari struktur bahasa berdasarkan cara pandang dan budaya yang dimiliki masyarakat. Sebagaimana yang dikemukakan oleh Humboldt bahwa perbedaan persepsi kognitif dan perbedaan pandangan dunia dari suatu masyarakat dapat dilihat dari bahasanya. Dikatakan bahwa each language…contains a characteristics worldview (Wierzbicka, 1992: 3). Dalam pandangan etnolinguistik, terdapat keterkaitan antara bahasa dengan pandangan dunia penuturnya. Sementara itu, menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, etnolinguistik merupakan cabang linguistik yang menyelidiki hubungan antara bahasa dan masyarakat pedesaan atau masyarakat yang belum mempunyai tulisan.
Etnolinguistik menelaah bahasa bukan hanya dari struktursemata,tapi lebih pada fungsi dan pemakaiannya dalam konteks situasi sosial budaya. Sementara menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, etnolinguistik merupakan cabang linguistik yang menyelidiki hubungan antara bahasa dan masyarakat pedesaan atau masyarakat yang belum mempunyai tulisan. Menurut pendapat Wilhelm von Humboldt, bahwa perbedaan persepsi kognitif dan perbedaan pandangan dunia dari suatu masyarakat dapat dilihat dari bahasanya. Dalam pandangan etnolinguistik, terdapat keterkaitan antara bahasa dengan pandangan dunia penuturnya.
Menurut Harimurti Kridalaksana (1983:42), etnolinguistik adalah (1) cabanglinguistik yang menyelidiki hubungan antara bahasa dan masyarakat pedesaan atau masyarakat yang belum mempunyai tulisan, bidang ini juga disebut linguistik antropologi (2) cabang linguistik antropologi yang menyelidiki hubungan bahasa dan sikap kebahasawanterhadap bahasa, salah satu aspek etnolinguistik yang sangat menonjol ialah masalah relavitas bahasa. Relativitas bahasa adalah salah satu pandangan bahwa bahasa seseorang menentukan pandangan dunianya melalui ketegori gramatikal dan klasifikasi semantik yang ada dalam bahasa itu dan yang dikreasi bersama kebudayaan (Harimurti Kridalaksana, 1983:145). Sedangkan menurut Wakit Abdullah (2013:10), etnolinguistik adalah jenis linguistik yang menaruh perhatian terhadap dimensi bahasa (kosakata, frasa, klausa, wacana, unit-unit lingual lainnya) dalam dimensi sosial dan budaya (seperti upacara ritual, peristiwa budaya, folklor dan lainnya) yang lebih luas untuk memajukan dan mempertahankan praktik-praktik budayadan struktur sosial masyarakat.
Putra (1997) dalam makalah Temu Ilmiah Bahasa dan Sastra berjudul Etnolinguistik: Beberapa Bentuk Kajian menjelaskan bahwa etnolinguistik secara  etimologis terbentuk dari kata etnologi dan linguistik. Etnologi merupakan ilmu tentang unsur atau masalah kebudayaan suku bangsa dan masyarakat penduduk suatu daerah diseluruh dunia secara komparatif dengan tujuan mendapatkan pengertian tentang sejarah dan proses evolusi serta penyebaran kebudayaan umat manusia di muka bumi (KBBI, 2008:383). Kemudian linguistik memiliki pengertian telaah ilmiah mengenai bahasa manusia (Martinet, 1987:19 dalam Chaer, 2007:1-2). Jadi, etnolinguistik adalah studi tentang proses terbentuknya kebudayaan dan keterkaitannya dengan bahasa (Putra, 1997:1).
Sejalan dengan pendapat tersebut, Duranti (1997:2) mendeskripsikan etnolinguistik sebagai te study of language as a cultural resource and speaking as a cultural practice, artinya bahwa etnolinguistik merupakan studi tentang bahasa sebagai sumber budaya dan berbahasa sebagai praktik budaya. Maksudnya, bahwa bahasa dan budaya memiliki keterkaitan satu sama lain karena untuk memahami budaya harus mengerti bahasanya terlebih dahulu dan untuk mengerti bahasa maka harus paham tentang budayanya. Ini merupakan wujud kesinergian antara ilmu sosial dan humaniora.
Mendukung pendapat Putra (1997) dan Duranti (1997), Foley (2001:5) juga menjelaskan bahwa antropological linguistics is a search for te meanings in linguistic practices witin wider cultural practices. Dalam pernyataan ini Foley mengatakan linguistik antropologi atau yang dikenal juga dengan etnolinguistik adalah ilmu yang mengkaji makna dalam praktik kebahasaan dengan praktik budaya yang lebih luas. Artinya, bahwa etnolinguistik membahas tentang keterkaitan antara bahasa dan budaya suatu masyarakat dimana suatu bahasa akan muncul dari sebuah kebudayaan atau kebiasaan masyarakat.
Selain itu, Foley juga mendeskripsikan bahwa antropological linguistics views language trough te prism of te core antropological concept, culture, and, as such, seeks to uncover te meaning behind te use, misuse or non-use of language, its different forms, registers and styles (Foley, 2001:3), maksudnya bahwa etnolinguistik memandang bahasa melalui sudut pandang konsep antropologi yang berupa budaya sehingga kajian etnolinguistik dapat mengungkap makna dibalik penggunaan, penyalahgunaan ataupun bukan penyalahgunaan bahasa, bentuk yang berbeda dari suatu bahasa, register, dan gaya bahasa.
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa etnolinguistik secara garis besar mengkaji tentang hubungan antara bahasa dan kebudayaan suatu masyarakat atau suku bangsa. Artinya, etnologi/antropologi memberi sumbangan bagi linguistik dan linguistik juga memberi sumbangan bagi etnologi/antropologi seperti penjelasan dalam Putra sebagai berikut.
a. Dari Linguistik untuk Etnologi. Suatu kajian linguistik sangat berarti bagi etnologi, karena untuk dapat mengetahui lebih dalam tentang kebudayaan suatu masyarakat, maka seorang peneliti harus memahami pengetahuan dari masyarakat tersebut. Lebih jauh lagi pengetahuan suatu masyarakat tersimpan dalam bahasa yang digunakan. Oleh karena itu, untuk dapat memahami perilaku suatu kelompok masyarakat maka harus mempelajari bahasanya terlebih dahulu; sebab bahasa berkaitan erat dengan pandangan hidup, cara memandang kenyataan, struktur pemikiran, dan perubahan dalam masyarakat.
b. Dari Etnologi untuk Linguistik. Kajian etnologi juga memberikan sumbangsih kepada linguistik, yaitu bahwa untuk memahami bahasa yang digunakan oleh suatu masyarakat, seorang penelitipun harus berbekal antropologi atau etnologi. Sebab kebudayaan terkait erat dengan sejarah bahasa, peta bahasa, dan makna bahasa (1997:4-10).
Berdasarkan penjelasan tersebut maka dapat dilihat bahwa linguistik dan etnologi ternyata saling terkait dan tidak terpisah satu sama lain, sehingga di Indonesia yang memiliki kekayaan budaya melimpah dengan bahasa yang beragam seharusnya membuat studi tentang etnolinguistik menjadi penting. Hal ini dimaksudkan untuk mengetahui bagaimana keunikan-keunikan bahasa pada setiap budaya dan bagaimana pandangan hidup masyarakat penganut budaya yang ada di Indonesia.
Foley (2001: 2) dalam bukunya yang berjudul Antropological Lingusitics An Introduction memberi definisi antropologi linguistik atau etnolinguistik sebagai antropological linguistics is tat sub-field of linguistics which is concerned wit te place of language in its wider social and cultural context, its role and forging and sustaining cultural practices and social structures. linguistik antropologi adalah sub-bidang linguistik yang menaruh perhatian terhadap posisi bahasa dalam konteks sosial budaya yang lebih luas untuk memajukan dan mempertahankan praktek-praktek budaya dan struktur sosial.
Hymes dalam Duranti (2007: 2) menyimpulkan bahwa etnolinguistics is te study of speech and language witin te context of antropology etnolinguistik adalah ilmu yang mempelajari tuturan dan bahasa yang dikaitkan dengan konteks antropologi. Ilic (2004: 1) dalam artikel internasionalnya mengemukakan : Language might influence and be influenced by culture, and what can be found out about a particular culture by studying its language by providing an overview of te relationship between te study of language and te study of culture. Bahasa mungkin memengaruhi dan dipengaruhi budaya, dan apa yang dapat ditemukan pada bagian budaya dapat dipelajari menggunakan bahasanya dengan menyediakan pandangan hubungan antara studi bahasa dan budaya.
Pernyataan Ilic di atas dapat disimpulkan bahwa bahasa menjadi salah satu produk budaya yang dapat memengaruhi dan dipengaruhi oleh budaya itu sendiri. Selain itu, bahasa juga dianggap prevoir budaya, maksudnya adalah bahwa bahasa itu selalu akan menjadi penanda bagi kehadiran budaya dan masyarakat yang menjadi wadahnya. Bahasa, budaya dan masyarakat, selalu saling berkaitan, dan seakan-akan selalu harus hadir bersamaan (Rahardi, 2009, 7). Kaelan (2002: 9) juga menyatakan bahwa bahasa sebagai suatu yang khas milik manusia tidak hanya merupakan simbol belaka melainkan merupakan media pengembang pikiran manusia terutama dalam mengungkapkan realitas segala sesuatu seperti budaya.
Menurut Haugen dalam Aron, (2007: 10) menyatakan bahwa etnolinguistik merupakan satu kajian dari sepuluh kajian ekologi bahasa yang sudah mapan. Haugen mengartikan bahwa etnolinguistik atau linguistik antropologi atau linguistik kultural membedah pilih-memilih penggunaan bahasa, cara dan pola pikir dalam kaitan dengan pola penggunaan bahasa, bahasa-bahasa ritual, dan kreasi wacana.
Penelitian semacam ini menimbulkan adanya hubungan timbal balik yang menguntungkan antara disiplin etnologi dengan disiplin linguistik. Kedua disiplin ilmu tersebut saling menyumbangkan keuntungannya satu sama lain. Putra (1997: 4-9) menyatakan sumbangan linguistik untuk etnologi tergolong banyak. Hal ini dikarenakan bahasa dianggap menjadi salah satu hasil kebudayaan yang mampu membedah suatu budaya masyarakat. Adapun sumbangan lingustik untuk etnologi seperti memberi penggambaran pandangan hidup suatu masyarakat, memberi gambaran mengenai masyarakat dalam memandang suatu kenyataan, memberi penggambaran suatu struktur pemikiran, menggambarkan perubahan-perubahan yang terjadi dalam masyarakat. Adapun sumbangan etnologi untuk linguistik seperti Kebudayaan dan Sejarah Bahasa, Kebudayaan dan Peta Bahasa, dan Kebudayaan dan Makna Bahasa.
Di samping itu, kajian etnolinguistik perlu dijelaskan pula tentang pengertian semantik leksikal. Hal ini sejalan dengan ungkapan Wakit (2014: 19). Makna leksikal secara mikrolinguistik dalam rangka makrolinguistik sebagai alat untuk memerikan ekspresi lingual dan deskripsi makna dalam hubungannya dengan penyebutuan waktu, tempat, komunitas, sistem kekerabatan, kebiasaan etnik, kepercayaan, etika, estetika, dan adat istiadat yang mengarah pada penjelasan tentang sistem pengetahuan terkait pola pikir, pandangan hidup, dan pandangan terhadap dunia dari masyarakat tertentu yang dicermatinya.
Wakit juga menambahkan bahwa orientasi terpenting dalam kajian etnolinguistik sangat membutuhkan pemahaman tentang semantik kultural (cultural semantics), yaitu makna yang dimiliki bahasa sesuai dengan konteks budaya penuturnya (Subroto dalam Wakit, 2014: 20). Pentingnya pemahaman tentang semantik kultural dalam kajian etnolinguistik yaitu sebagai alat untuk menyoroti berbagai produk budaya yang terekam dalam perilaku verbal maupun nonverbal suatu masyarakat.
Indonesia memiliki beraneka ragam suku,m agama, ras, dan bahasa. Salah satu etnis tersebut adalah Oirata. Dalam makalah ini dikemukakan tentang mitologi dan bahasa oirata.
PEMBAHASAN

A. Selayang pandang perihal Suku Oirata di Pukau kisar
1. Sejarah Singkat tentang Oirata
Oirata berasal dari dua kata, yakni: oir yang artinya ‘air’ dan riata yang  artinya ‘keruh’. Jadi, Oirata berarti ‘air keruh’. Nama Oirata itu diberikan oleh masyarakat penduduk di sekitarnya yang sebagian besar berbahasa Meher (lebih dikenal masyarakat luas sebagai bahasa Kisar). Artinya, kata Oirata itu sendiri bukan berasal dari bahasa Oirata, melainkan berasal dari bahasa Meher. Masyarakat Meher memberi nama Oirata tersebut berdasarkan fakta bahwa di tempat asal Suku Oirata terdapat dua sumur tua yang konon ceritanya merupakan sumber mata air bagi masyarakat di sekitarnya. Dua sumur tua itu letaknya berdampingan, satu sumur sebelah selatan berair jernih yang sampai sekarang masih berfungsi dengan baik dan sumur lainnya terletak tidak jauh (} 1,5 m) di sebelah utaranya berair sangat keruh dan diyakini oleh masyarakat di sana mengandung racun sehingga tidak seOrang pun yang berani memanfaatkan air yang bersumber dari sumur tersebut (lihat lampiran foto-1).
Sebelum nama Oirata diberikan oleh Orang Meher, desa tersebut bernama negeri Manheri ‘bukit sebelah timur’ dan Mauhara ‘bukit sebelah barat’ sebagai tempat asal leluhur Suku Oirata. Letaknya di bagian selatan Pulau Kisar. Di antara kedua bukit Manheri dan Mauhara terdapat sebuah ngarai kecil atau lembah di antara dua jurang bertebing terjal. Di lembah itulah terdapat dua sumur tua yang  telah dijelaskan di atas. Di sebelah barat bukit Mauhara itu terdapat Pantai Kisar  tempat pertama kali Belanda berlabuh yang kemudian menjadi nama pulau itu.

Kalau kita tengok kembali histOiratais tentang asal usul bahasa oirata yang kono diawali oleh suatu marga yang terdiri atas beberapa keluarga bermukim di Pulau We’ra dan We’ro. Kedua pulau itu terletak di sebelah selatan Pulau Damer, kecamatan Pulau-Pulau Terselatan, Maluku Tenggara Barat. Kedua pulau itu juga dikenal dengan nama Pulau Terbang Utara dan Terbang Selatan.Penghuni kedua pulau itu senantiasa mencukupi hidupnya dengan cara bertani dan nelayan. Akan tetapi, mereka tidak dapat bertahan hidup lebih lama karena tidak ada sumber air (bersih) sebagai sumber kehidupan di kedua pulau itu. Mereka memutuskan untuk mencari pemumukiman yang baru. Berangkatlah mereka, meninggalkan kedua pulau itu secara berombongan dengan beberapa perahu kecil. Mereka berlayar berhari-hari mengikuti arah gelombang dan tiupan angin. Dalam pelayaran itu, mereka tiba-tiba disapu badai dengan gelombang besar. Mereka tidak mampu lagi bertahan, perahu terbalik dan rombongan kocar-kacir. Singkatnya, sebagian dari mereka terdampar di ujung timur Pulau Timor (konon keturunannya hingga kini berada di Lautem daerah pesisir timur laut Timor Leste), sebagian terbawa arus ke arah barat yang hingga kini tidak diketahui nasibnya, dan sebagian lagi terdampar di pantai selatan Pulau Karang yang sekarang bernama Pulau Kisar. Disebut Pulau Karang karena memang pulau itu berdiri di atas batu karang, dikelilingi batu karang terjal, dan dari kejauhan pulau itu terlihat memutih seperti kapur terutama pada siang hari.
Konon ceritanya, kelompok yang terdampar di Pulau Karang itu yang kemudian disebut-sebut sebagai keluarga Nampitu Ratu ‘sebuah keluarga dengan tujuh anak laki-laki’. Mereka terdampar di sebuah pantai kecil yang diberi nama Wilkaulu Sere. Kata wilkaulu ‘tiba dengan selamat’ dan sere ‘pantai’. Jadi, wilkaulu sere berarti ‘pantai sebagai tempat tiba dengan selamat’ yang selanjutnya dikenal dengan Wilkaulsere. Keluarga itu memilih tempat bermukim di atas pantai itu yang diberi nama Ili Kesi. Dalam bahasa Oirata, ili ‘tempat berbatu besar’ dan kesi ‘tetap kuat, tidak mudah goyang’. Mulailah mereka hidup di tempat yang baru dengan pola kehidupan lama, bertani, nelayan, dan berburu. Ketujuh anaknya sering membantu ayahnya berburu berjalan mengelilingi pulau yang konon belum ada penghuni yang lainnya. Suatu ketika, Sang Ayah memperoleh firasat bahwa suatu saat akan
terjadi gelombang laut dahsyat yang akan menerpa Pulau Karang itu. Karena merasa dirinya sudah tua dan tidak mampu berlayar, dia menyuruh anak-anaknya untuk menyeberang menyelamatkan diri ke selatan menuju uma lapai. Dalam bahasa Oirata, uma ‘pulau atau tanah’ dan lapai ‘besar’. Uma lapai artinya ‘pulau yang kelihatannya besar’ yang terlihat dari Pulau Karang tempat mereka berada. Berangkatlah keenam anaknya menuju uma lapai yang tidak lain adalah Pulau Timor. SeOrang saudaranya yang bungsu tidak turut dalam rombongan itu dengan alasan tidak tega dan ingin menjaga ayahnya yang sudah tua hidup di hutan belantara seOrang diri. Tidak beberapa lama memang terjadilah peristiwa yang tidak diinginkan itu. Orang Oirata menyebutnya dengan lulunpitu ‘gelombang tujuh lapis’menghantam Pulau Karang itu dan memporakporandakan seluruh daratan yang ada. Kedua ayah dan anak itu selamat dan tidak lama berselang keenam anaknya juga kembali dari pengungsian dengan selamat. Keluarga itu berkumpul kembali melakukan aktivitas seperti sediakala. Waktu berjalan cepat, ayah tujuh anak itu makin tua dan tidak mampu lagi berjalan jauh, maka anaknyalah menggantikan tugas Sang Ayah untuk berkeliling pulau, berburu dan mencari nafkah untuk keluarga mereka. Tampaknya, gelombang lalunpitu itu tidak terjadi sekali itu saja. Orang tua itu kembali mendapat firasat akan terjadi gelombang yang sama. Orang tua itu kembali menyuruh semua anaknya mengungsi ke Pulau Timor. Ketujuh anaknya menginginkan orangtuanya turut serta dalam pengungsian itu. Akan tetapi, Sang Ayah tetap bertahan dengan pertimbangan sudah amat tua yang justru akan membuat repot dan dapat membahayakan pelayaran anak-anaknya. Dengan tawar-menawar yang amat alot, akhirnya terjadi kesepakatan yang sama, keenam bersaudara itu dengan sangat terpaksa dan rasa iba harus meninggalkan ayah dan adik bungsunya di Pulau Karang yang mungkin saja bahaya dapat menimpanya. Seperti halnya gelombang lalunlapai yang pertama, gelombang lalunpitu kedua ini pun menghancurleburkan seluruh dataran yang ada di Pulau Karang itu, dan bahkan gelombang tersebut lebih dahsyat dari sebelumnya. Semua daratan tergenang air laut sampai beberapa lama dan kedua ayah dan anak itu hanya bisa bertahan di atas bukit Ili Kesi. Selama beberapa bagian daratan tergenang air laut, Orang tua itu tidak mampu mencari makan. Untuk dapat bertahan hidup, anak bungsunya yang bernama Ratu Usara tetap setia mencarikan makanan kesukaan orang tuanya berupa hihiyotowa leura. Dalam bahasa Oirata, hihi ‘kambing’, yotowa ‘sejenis domba kecil berbulu tebal, binatang khas pulau itu’, dan leura‘daging’. Jadi, hihiyotowa leura berarti ‘daging kambing domba khas pulau itu’ yang menjadi makanan kesukaan Orang tuanya dan merupakan bentuk sesajian terpenting dalam setiap persembahan untuk memohon kepada leluhurnya demi keselamatan keluarga terutama keenam anak dan cucunya yang sedang mengungsi ke pulau seberang. Demikianlah aktivitas rutin mereka sampai beberapa lama sembari menunggu dengan sabar dan penuh harap kembalinya keenam anaknya dari pengungsian.
Sementara itu, keenam anak bersama keluarga yang mengungsi di Pulau Timor telah berlayar kembali menuju Pulau Karang. Akan tetapi, di tengah laut mereka terbawa arus, akibat angin barat yang berhembus dengan kencangnya. Akhirnya, mereka terpaksa mendarat di Pulau Letti dan tinggal di sana sampai beberapa tahun lamanya. Kerinduan akan ayah dan adik serta kekhawatiran akan keselamatn mereka semakin berkecamuk di hati keluarga itu mendOirataong untuk secapatnya kembali ke Pulau Karang. Setelah bersepakat, beberapa Orang dari keluarga itu berangkat terlebih dahulu dan yang lainnya segera menyusulnya. Setibanya di Pulau Karang, mereka bergegas menuju Ili Kesi tempat Orangtua dan saudara bungsunya tinggal. Dengan perasaan galau dan khawatir, mereka mencari jejak kedua Orang yang dicintainya. Akan tetapi, di sana tidak ditemukan tandatanda kehidupan mereka. Rupanya kedua ayah dan adik bungsunya telah lama meninggalkan Ili Kesi. Lalu mereka menyebar, mencarinya ke seluruh pelosok hingga beberapa hari. Atas bantuan anjing, kedua ayah dan anak itu ditemukan di bukit sebelah barat tidak jauh dari Ili Kesi dalam keadaan sekarat dan sangat menyedihkan. Sang Ayah terbaring kaku, suaranya terbata-bata, tidak jelas, dan hampir tidak terdengar. Anak bungsunya duduk di sampingnya dalam keadaan membatu dan telah tidak bernyawa lagi. Mereka sangat sedih menyaksikan keadaan kedua Orang yang sangat dicintainya dan sangat menyesal atas keterlambatannya tiba di Pulau Karang itu. Sang Ayah meminta salah seOrang dari mereka mendekatkan telinganya, lalu berpesan tentang tiga hal. (1)  “Terimalah setiap pendatang lain di pulau ini sebagai saudara kandung dan hiduplah bersama-sama dalam suka dan duka.” (2). “Janganlah tinggalkan lagi pulau ini karena keadaan telah nOiratamal.” (3) “Sajikanlah hidangan hihiyotowa leura pada suatu waktu tertentu.”
Setelah mendengar pesan Orang tuanya yang telah dianggapnya sebagai perjanjian wajib untuk dilaksanakan oleh anak cucunya, mereka segera mencari hihi yotowa ke daratan untuk segera dijadikan persembahan. Akan tetapi setelah tiba di daratan, betapa kaget mereka karena yang terlihat di sana hanyalah hamparan ipi-la ‘ulat’ memenuhi seluruh padang rumput yang ada di depannya. Mereka segera bergegas kembali menemui ayahnya dan menyampaikan kejadian aneh itu. Sang Ayah berpesan agar mereka bersabar selama seminggu, setelah itu ipi-lala ‘ulat-ulat’ itu akan berubah menjadi hihiyotowawa ‘banyak kambing domba’ di tempat itu. Setelah seminggu berselang, pergilah mereka ke tempat ulat-ulat itu. Aneh tapi nyata, tempat tersebut dipenuhi dengan hihiyotowawa yang sedang sibuk merumput. Segeralah mereka mengam. Tidak lama berselang setelah persembahan usai, Orangtua itu mengembuskan nafas sembari melafaskan “… yotowa, …yotowa…” dan itulah nafasnya yang terakhir. Jenazah kedua Orang yang dicintainya itu lalu dikubur dalam bentuk la’u ‘tumpukan batu bersegi’ yang selanjutnya dipakai sebagai tempat persembahan oleh anak cucunya. Di sekitar tempat la’u itulah ditetapkan sebagai tempat pemukiman mereka, tepatnya di bukit Manheri.
Selanjutnya, bukit itulah dikenal sebagai negeri asal Suku Oirata sebelum pindah ke dataran rendah sebelah utara. Tidak lama setelah itu, mereka bersepakat untuk memberi nama pulau yang selama ini disebut Pulau Karang dengan nama Yotowa Uma ‘pulau kambing domba’ sesuai pesan terakhir Orangtua yang mereka cintai. Akan tetapi, nama itu terus berubah. Ketika puak yang lain datang dan menetap di bukit bagian utara pulau ini, mereka memberi nama dengan Yotowawa-Daisuli. Yotowawa ‘banyak kambing domba’ dan Daisuli ‘bukit tinggi’ yang terletak di bagian utara pulau ini.

2. Letak Desa Oirata di Pulau Kisar
Desa Oirata terletak di Pulau Kisar dan merupakan dua desa dari sembilandesa yang ada di Pulau Kisar. Pulau Kisar merupakan pulau kecil yang jauh terpencil dari gugusan kepulauan Maluku yang pernah dijuluki “Provinsi Seribu Pulau”. Pulau ini tepatnya berada di wilayah Kecamatan Pulau-Pulau Terselatan, Kabupaten Maluku Tenggara Barat. Kecamatan Pulau-Pulau Terselatan ini terdiri atas dua pulau, yakni Pulau Kisar dan Pulau Romang. Pulau Kisar merupakan pusat pemerintahan Kecamatan Pulau-Pulau Terselatan dengan ibu kota Wonreli. Kata Wonreli berasal dari bahasa Meher, yaitu kata wo’Oirata dan ili (wo’Oirata-ili). Wo’Oirata artinya ‘gunung’ atau ‘bukit’ dan ili artinya ‘negeri’ atau ‘desa’. Jadi, wo’Oirata-ili berarti ‘negeri di kaki bukit’ yang sekarang popular menjadi Wonreli. Desa ini dipilih oleh Belanda sebagai pusat
pemerintahan di Pulau Kisar. Letaknya lebih kurang satu kilometer dari Pantai Nama. Pantai Nama merupakan pantai tempat berlabuhnya Belanda yang kedua setelah Pantai Kihar. Pantai Nama diambil dari bahasa Meher dengan nama lengkap here namayulu. Here ‘pantai’, namayulu ‘kepala’ atau ‘hulu dari daratan sebagai pertemuan antara daratan dengan lautan’. Sekarang pantai itu sering disingkat penyebutannya dengan Pantai Nama.Di Pantai Nama, Belanda membangun dermaga kecil sebagai tempat berlabuhnya kapal-kapal yang singgah di pulau itu. Pantai Nama merupakan salah satu pintu masuk yang berada di sebelah barat Pulau Kisar dan kapal-kapal hanya dapat berlabuh pada musim angin timur. Pintu masuk sebagai alternatif kedua ke Pulau Kisar adalah Pantai Jawalang yang letaknya di bagian timur pulau itu dan hanya terjadi pada musim angin barat. Kapal-kapal yang berlabuh di pantai ini terpaksa mengapung di tengah laut karena tidak ada dermaga di pantai ini. Para penumpang terpaksa harus dianggkut dengan menggunakan perahu kecil atau sampan yang merapat di lambung kapal. Jadi, ada dua pintu masuk ke Pulau Kisar, yakni Pantai Nama dan Pantai Jawalang. Pada musim angin barat yaitu sekitar bulan November-April, kapal-kapal berlabuh di Pantai Jawalang karena di bagian barat angin sangat kencang dan kapal-kapal hanya bisa berlabuh di pantai sebelah timur. Sebaliknya, pada musim angin timur yakni pada bulan Mei-Oktober, pintu masuk melalui Pantai Nama karena di pantai sebelah timur angin besar dan kapal-kapal hanya bisa berlabuh di sebelah barat. Sebagaimana telah disinggung sepintas di atas, bahwa Pulau Kisar terdiri atas sembilan desa, yaitu 1) Wonreli, 2) LekloOirata, 3) Kota Lama, 4) Abusur, 5) Oirata Barat, 6) Oirata Timur, 7) Lebelau, 8) Purpura, dan 9) Nomaha. Luas wilayah Pulau Kisar seluruhnya adalah 117,07 km2 termasuk Desa Oirata Barat seluas 3,25 km2 dan Desa Oirata Timur seluas 5,26 km2. Wilayah tersebut dihubungkan dengn jalan raya sepanjang 143 km yang terdiri dari jalan beraspal  sepanjang 53 km, jalan dengan kondisi pasir-batu (sirtu) sepanjang 25 km, dan jalan dengan kondisi masih tanah sepanjang 65 km. Jumlah penduduk Pulau Kisar sebanyak 12.151 jiwa.

B. Mitologi Orang Oirata Di Pulai Kisar
Pada mulanya, langit (Maukou) dan bumi (Huimau) adalah satu. [Tidak ada terang. Ada empat (4) burung: Rajawali, merpati, burung pemakan biji rerumputan dan "magpie". Atas permintaan burung "magpie", Pencipta menciptakan pertukaran siang dan malam], Langit dan bumi mendapatkan seorang anak laki-laki bernama, Wadlau yang mencabut satu tulang rusuknya untuk dirubahnya menjadi seorang perempuan. Keturunan mereka ada 6 jin/iblis laki-laki (para raksasa supranatural) dan dua anak manusia, seorang laki-laki bernama: Tatilu dan seorang anak perempuan, bernama : Laltilu. Keenam jin itu memisahkan langit dan bumi, memisahkan darat dari air sehingga membentuk 4 pulau [Wertutun Werwain, Timor, Wetar dan Roma], 2 burung di udara dan ular di dunia. Tatilu melompat kepada orang-orang langit, yakni Lakluana dan Lailuana yang telah mencuri emasnya dan menikahi putri mereka. Dari pernikahan itu, dia memperoleh anak 4 perempuan dan 2 laki­laki.[Peristiwa ini terjadi di Surga/langit. Setelah itu, Tatilu turun ke sebuah iumah bertingkat tujuh dalam rumah utama langit, dimana dia menikahi saudara perempuannya vang bernama: Laltilu. Ketika anak mereka [ 4 laki-laki dan 1 perempuan ] bertumbuh dewasa, Pencipta menyuruh mereka memilih antara Timur (yakni tanah air mereka, yang ditandai dengan kain di pinggang)dan Barat (Eropa, yakni barang-barang yang berbau Eropa ). Anak laki-laki  tertua dan anak yang sesudah dia, memilih Barat dan, setelah pengembaraan panjang, mereka akhirnya tiba di Inggris terlebih dahulu kemudian Belanda. Kedua anak laki-laki yang paling muda memilih Timur, tertua pergi ke Timor dan  termuda ke Kisar). Merekaberlayar ke Kisar menggunakan satu dari tingkatan [rumah di] langit itu sebagai perahu. Dalam perjalanan, satu dari saudara itu yang bernama: Lerelai berubah menjadi batu saat dia menyelam ke dalam air untuk melepaskan jangkar/sauh yang tertambat. Di Kisar Pencipta menyuruh mereka kembali. Mereka kehilangan satu orang laki-laki dan satu orang perempuan yang melompat ke dalam air dan mati karena keletihan, serta berubah menjadi ikan paus. Sisa dua orang laki­laki dan satu orang perempuan terdampar. Laki-laki tertua bernama Ratu Pitu Ratu, dan perempuan, Rawiru berenang ke Timor, menikah dan tinggal di sana. Laki-laki termuda bernama Nami Pitu Ratu membuat sebuah perahu dari busa air laut dan berlayar ke Kisar. Di tempat-tempat tertentu di Kisar, dia menemukan ciri-ciri saudara tertuanya. Dia menikah dengan seorang perempuan, namanya Rueru, yang dikirim oleh Pencipta dalam sebuah rumah bertingkat tujuh. Dia mendapatkan 7 anak Perempuan dan 7 anak laki-laki. Anak bungsu bernama: Usara Wesara, menemukan sebuah perahu yang penuh muatan di Ilikesi. tteenam kakak laki-lakinya, bersama dengan 2 saudarinya berlayar memakai perahu ini mengunjungi Timor untuk membeli sirih dan pinang. Di saat kembali ke Kisar, mereka dihadang oleh angin musim Barat dan terdampar di Wertutun Werwain: tanah gading dan emas. Ketika mereka meninggalkan pulau itu, mereka mengambil pasir sebagai kenang-kenangan dan pasir ini ditemukan benar-benar menjadi emas. Lalu mereka pergi ke Serwaru Tutukei di pulau Leti untuk bersatu/bersahabat. Mereka berteman dengan pemilik pulau itu, yakni: Reilaumali dan Wilaumali. Mereka meminta tukang emas yakni Totonaka Lewenkoho mengambil dan memperlakukan emas dengan cara-cara yang patut. Saat mereka [sampai sekarang disebut : Lewenmali dan Asamali] tinggal di Leti, pulau itu dikunjungi oleh ratu dari pohon langit, yakni: Rupitali Wanoro. Enam penguasa [pemimpin] Leti yang pergi menjemput pengunjung itu tidak dapat menarik perahunya; maka Lewenmali dan Asamali melakukannya untuk mereka dan memperkenalkan Rupitali Wanoro sebagai keluarga [kenalan] mereka. Rupitali Wanoro mengajar mereka sebuah ritual [permainan `hela rotan] dan menyuruh mereka kembali ke tanah asalnya, Kisar. Ketika mereka tiba di sana, mereka menemukan bahwa ayah dan adik bungsu mereka, yang telah tinggal bersama mereka, sudah berubah menjadi batu karang, kecuali hanya wajah ayah mereka yang masih dapat bicara. Ketika mencari makanan, mereka menemukan seekor kerbau, tapi ayah mereka bilang pada mereka bahwa daging kerbau itu hanya digunakan untuk ritual tertentu saja. Kemudian mereka menemukan kambing-kambing, yang sebelumnya adalah ulat-ulat dan pergi ke Lakor untuk mencari tahu  [menanyakan] apakah daging itu dapat dimakan. Di Lakor, mereka berteman dengan Wurkeliau dan Lolkeliau yang mereka ajarkan bagaimana mendapatkan anak. Ketika perempuan, Wurkeliau hamil, dibuat pesta dan saat ini Lewenmali dan Asamali mengenal [makan] daging kambing. Mereka kembali ke Kisar dan menemukan bahwa, selama mereka tidak ada, wajah bapak mereka juga sudah berubah menjadi karang. Pulau itu dalam bahaya tsunami. Pulau itu sudah tergantung [terapung] namun Lewenmali dan Asamali berhasil menariknya dengan sebuah permainan ritual yang telah mereka pelajari dari Rupitali Wonara dan ritual itu bermanfaat bagi kemakmuran manusia dan binatang.
Saudari tertua (?) dari Lewenmali dan  Asamali, namanya : Masamere, berkenalan dengan Mamere (pelangi) yang kemudian menjadi pencintanya. Mereka berdua bertemu  secara rahasia, namun dikhiar.ati oleh seorang perempuan tua. Saudara-saudara dari gadis itu mencegat dan membunuh Mamere dan memotongnya menjadi beberapa bagian. Ketika saudari mereka datang ke tempat pertemuan itu, dia melihat apa yang telah terjadi dan menemukan beberapa pedang. Dia lalu membawa semuanya itu ke rumah dan memakainya sebagai mahar [mas kawin], lalu diberikan kepada mempelai wanita yakni istri-istri dari saudara tuanya itu. Sebagai balasannya, dia menyuruh mereka menebang/memotong pohon untuknya. Ketika dia memiliki tumpukan kayu yang besar, dia membakar dirinya sendiri sampai mati, dan bersama asap, membumbung ke langit dan dia menjadi pelangi perempuan yang dihiasi asap/abu.
Saudari [adik] perempuannya, bernama: Haulaloho disembunyikan dan saudara bungsunya bernama: Kaskoi disuruh untuk mengawasinya.! Namun, dia dikcanjunp oleh seorang laki-laki bernama: Noihidai yang masuk melalui jendela. Dia menjadi hamil dan ketika saudara-saudaranya mengetahuinya, mereka memutuskan untuk membunuhnya. Dia diselamatkan oleh saudara bungsunya bernaxna: Kaskoi, yang menyembunyikannya dalam sebuah lobang di tanah dan memberinya jangkrik dan belalang sebagai makartan. Dia melahirkan seorang anak perempuan bernama: Surihi, dan dia membujuk seekor ayam jantan agar pergi dan menjemput ayah dari anak itu. Ayam jantan itu pergi ke desa Noihidai di langit/angkasa dan berkokok menyanipaikan pesannya. Noihidai turun ke bumi dengan orang-orangnya membawa pakaian untuk ibu dan anaknya, lalu mengangkat mereka ke dunia yang lebih tinggi. Suatu hari, anaknya Surihi, menemukan sebuah anak panah yang dilepaskan, yang oleh Hualaloho dikenal sebagai anak panah milik Kaskoi. Kaskoi telah kehilangan anak panahnya, diberikan kekuatan untuk melompat ke dunia yang lebih tiriggi, di mana dia tiba di pintu masuk desa Noihidai. Dia dikenal oleh saudarinya yang membawanya ke rumah, namun, karena dia takut pada suaminya, menyembunyikannya [Kaskoi] di dalam sebuali kandang babi. Ketika suaminya, Noihidai datang dan menemukan apa yang telah terjadi, memarahi [mencela] istrinya dan memperlakukan Kaskoi sebagai seorang tamu terhormat. Ketika Kaskoi kembali ke bumi dengan banyak makanan enak, saudara-saudaranya merebut/merampoknya dan memaksa dia untuk menceritakan dimana dia sebelumnya berada. Sekarang mereka ingin mengunjungi saudarinya dan menawarkan kepadanya bagian kekayaannya berupa emas dari Wertutun Werwain. Bersama Kaskoi sebagai penunjuk jalan, mereka tiba di rumah Hualaloho. Mereka diterima dengan caci-maki dan penghinaan, sedangkan Kaskoi diperlakukan dengan penuh hormat dan penghargaan. Ketika mereka akan berangkat, Noihidai dan istrinya memberikan kepadanya sebuah pedang keramat, tombak keramat, ribuan lonceng [yang berbunyi] dan ternak [lembu/sapi] yang unggul. Kakak­ kakaknya menerima sapi yang patah kakinya dan buta matanya. Ketika Kaskoi, ternak dan pengikut-pengikutnya berjalan di depan dan mencapai bumi, dia dengan pedang keramat memotong pohon rotan yang mereka pakai untuk turun ke bumi, sehingga langit dan saudara­-saudaranya melambung jauh ke atas sana.
Kaskoi menikahi istri-istri dari abang-abangnya dan mendapatkan 4 orang anak: 2 perempuan dan 2 laki-laki. Yang perempuan bernama Unaslai dan Daraslai. Mereka menikah dengan 2 laki-laki orang Wetar bernama : Tetikai dan Mauara. Yang 2 orang laki-laki bernama: Horokoko dan Laiwahan, menikah dengan Romolewen dan Wakalewen. Ketika Horokoko pergi mengunjungi saudaranya di Wetar, Laiwahan mengambil Romolewen menjadi istri kedua. Sepulangnya ke rumah, Horokoko membunuh Laiwahan. Romolewenpun bunuh diri dengan melompat ke dalam sebuah lobang yang telah dibuatnya dengan sarana supra-natural. Dia dan Laiwahan menjadi kepiting/ketam.
Suatu malam, pulau Kisar dikunjungi oleh Deliaman, dan Pajaman. Lewenmali dan Asamali menanyakan darimana mereka datang, tetapi mereka berpura-pura bahwa mereka tidak datang dari mana-mana dan mereka sudah tinggal di sana seumur hidupnya. Ketika mereka diuji, mereka mengetahui bahwa Lewenmali dan Asamali adalah tuan tanah di situ. Karena mereka meminta kepada Lewenmali dan Asamali untuk tinggal di situ, mereka diberikan sebuah desa bernama Jotojaum. Desa mereka sendiri adalah Horna-Werna. Kemudian, mereka bersepakat membagi tanah itu menjadi dua bagian yang sama besarnya. Bagian Timur milik Lewenmali dan Asamali, sedangkan bagian Barat menjadi milik Deliaman dan Pajaman. Pemuda-pemudi dari kedua desa itu tidak boleh berkawinan [kawin­mawin],karena bahasa mereka berbeda. Desa Lewenmali dan Asamali [Herna-Wema] merupakan desa ganda, biasanya disebut desa Timur Barat.[Kemudian Pencipta memberikan sebuah signal bagi mereka untuk boleh kawin-mawin, namun mereka masih tidak mengikuti dan itu tetap terbawa sampai sekarang ini. Mungkin saja akan berubah di hari depan, namun kesulitan utamanya terletak pada banyak/besarnya pemberian saat nikah [mas kawin] yang dituntut oleh orang-orang Jotojaum.
Penguasa Roma: Tutupei Hakapei dan Huh Hoko mengunjungi Dai Ahus [Kei]. Tutukei menikah dengan seorang perempuan Kei bernama: Wuriesi dan setelah membayar mas kawin, memboyongnya ke Roma. Di sana Tutukei meninggal dan istrinya "disalah­gunakan" oleh laki-laki di desa itu. Dia mengirim pesan kepada ke 7 sauda:-anya di Kei yang kemudian berlayar ke Roma. Sebelum mereka tiba di sana, Roma telah dikunjungi oleh dua orang bangsawan dari 3otojaum: Nori dan Hakar, yang juga sedang dalam perjalanan ke Kei. Atas permintaan Wuruesi, dia mengikuti kedua orang bangsawan tersebut. Akan tetapi, ketika melihat kekayaan Wuruesi, mereka memboyongnya kembali ke Jotojaum dan merampok emas-emasnya. Dari emas itu, mereka mengambil 2 potong besar, memajangnva pada jendela-jendela loteng rumah itu di bagian timur dan barat. Ketika saudara-saudara Wuruesi tiba di Roma dan mendengar kepergian saudari mereka dengan orang-orang Jotojaum, mereka pun berlayar ke Kisar dan mereka mengenal dua potongan emas milik Wuruesi, satu di Timur dan satu di Barat. Mereka pulang ke rumah dan memohon kepada Pencipta agar mengizinkan mereka menarik/menyatukan beberapa pulau lain dan memperluas wilayah mereka sendiri dengan cara itu. Sang Pencipta setuju, namun melarang mereka untuk tidak mencampuri urusan kedua pulau kecil di tengah, yakni Roma dan Kisar. Mereka tidak keberatan dengan larangan ini dan mencoba meluputkan kedua pulau ini. Usaha mereka gagal dan semua perahu-perahu mereka yang lain tersebar sana-sini dan hancur, kecuali satu, yang pergi dan tidak kelihatan/kedengaran lagi.
Dengan usaha-usaha yang dilakukan oleh orang-orang Kei, pulau Kisar bergoncang dan kebanjiran/dilanda tsunami. Lewenmali dan Asamali melarikan diri dan berlayar menuju ke arah Timor. Adik laki-laki mereka: Kaskoi, mengetahui bahwa mereka telah pergi dan berlayar ke Timor, dia membawa serta semua harta miliknya dan dimuat pada seekor kerbau yang dia pakai sebagai perahu. Dia [Kaskoi] mendarat di Urualauten. Dia mendirikan sebuah rumah bertingkat 7, dan bebas menanam tanaman Raisere Wakasare. Dia menggunakan sirih dan pinang mereka, memakan buahnya dan menghitamkan dirinya sendiri. Namun, dia bersahabat dengan pemiliknya, yang membawa dia ke rumr'thnya sebagai seorang tamu. Anak-anak gadis di rumah itu tidak menyukai orang hitam dan menolak melakukan sesuatu terhadapnya, kecuali gadis paling muda, yang melayani dia dan bahkan tidur dengan dia. Keesokan harinya, setelah mandi dan berdandan, kedua gadis yang lebih tua itu cemburu pada adik bungsu mereka dan mencoba sekuat tenaga mengambil hati pengunjung itu. Namun, mereka tidak berhasil. Lalu, keduanya menikah dan mendapat 7 putri dan 7 putra.
Ketika anak-anaknya sudah cukup dewasa, mereka bekerja di ladang bersama-sama dengan paman mereka. Awalnya, semuanya berjalan baik-baik saja. Namun, kemudian mereka bertengkar dengan paman mereka dan pindah ke bagian tengah pulau itu. Di sana, mereka tinggal di daerah Roson Wadumura. Di sini mereka bertengkar satu dengan yang lain, dan abang-abangnya: Lailere dan Tadlai mengusir saudara-saudaranya: Maanunu dan Nunlau yang melarikan diri ke Ilmeti Watmeti. Di sini, mereka bertemu dengan orang-orang Leware Masopon, bersahabat dan menjadi orang-orang kepercayaan [dapat menjadi kreditor]. Ketika si berhutang belum atau menunda pembayaran, Maanunu dan Nunlau mencuri anak mereka. Kejadian ini ketahuan, anak diselamatkan oleh orangtuanya, Maanunu dan Nunlau dikepung di Ilmeti Watmeti. Karena takut pada kekuatan musuh yang lebih besar, mereka melangkah turun melewati akar pohon beringin [pohon keramat di tengah desa] dan diarahkan ke Irauru Wasairi oleh burung "Eleula Patkula" dan kemudian ke sebuah sumber air di dalam gua dengan anjing mereka: Wilriun Ilhira. Namun tempat mata air ini tidak cocok untuk memelihara ternak, sehingga mereka bepergian terus sampai tiba di Ilwati Laitani. Di sana mereka bertemu dengan Raileki dan Lakiliha dan tahu dari mereka bahwa abang-abang mereka: Lewenmali dan Asamali ada di Resresi Jalrasi, dan bahwa ada perang. Mereka pergi sampai ke Resresi Jalrasi dan keduanya dikenal oleh Lewenmali dan Asamali sebagai adik mereka. Keempat bersaudara itu tinggal bersama dan memberikan saudari-saudari mereka menikah dengan tuan tanah: Unaslai dan Daraslai. Saudari-saudarinya Lewenmali dan Asamali menikah dengan Maakai dan Wun'kai; Lelisulai dan Watasulai. Saudari-saudarinya Maanunu dan Nunlau menikah dengan Kikmuni dan Maamuni.
Suatu hari, Maamuni menuntut istri dan keluarganya dengan menuduh ipni--iparnya [brothers in-law] telah melakukan praktek santet. Keempat perempuan itu malu dan pergi mengadu pada Lewenmali dan Asamali. Keempat perempuan itu disuruh meninggalkan suami-suami mereka dan  menantang mereka untuk bertarung demi nama saudara-saudara mereka. Pertarungan terjadi dan keempat suami itu ditakhlukkan dan dibunuh. Ketika sedang mengejar musuh, keempat saudara itu bertemu dengan Reilaumali dan Wilaumali yang sedang mencari teman mereka yakni: Harakati dan Maamau. Ketika mereka sedang makan bersama di Resresi Jalrasi, air di sana ternyata berminyak dan berbau busuk karena banyak mayat dari musuh-musuh yang dibunuh. Karena itu, Reilaumali dan Wilaumali bersepakat untuk kembali ke Kisar dan akan diikuti kemudian oleh yang lainnya. Sejak saat itu, Reilaumali dan Wilaumali menyebut keturunan Lewenmali, Asamali, Maanunu dan Nunlau sebagai: OIRIATA atau OIRIAKA yang berarti "AIR BUSUK"/ "AIR TIDAK BAIK" dan orang di Kisar mengikutinya dan  menyebut desa Timur Barat: Oiriata, Oirata.
Di dalam perjalanan ke Kisar, Lewenmali dan Asamali singgah di Tutukei, Serwaru, di Leti yakni tempat yang masih ditinggali [dihuni] oleh Reilaumali dan Wilaumali. Pada saat yang sama, desa ini dikunjungi oleh Meheloi dan Lewensimara: kaum bangsawan dari Liuleli Dailora, di Timor yang menginginkan satu kepala manusia untuk merayakan pesta makan daging babi. Mereka meminta agar Reilaumali dan Wilaumali membawa kepada mereka satu kepala manusia dari Wursere Walusere di Timor yang telah mereka klaim. 'Reilaumali dan Wilaumali meneruskan pesan itu kepada Lewenhali dan Asamali yang bersedia menurutinya
[menyanggupinya]. Mereka berlayar ke Timor, bersahabat dengan tuan tanah Wursere Walusere bernama : Lekitou Wonlewen. Saat tuan tanah ini tertidur, dia dibunuh dan diambil kepalanya oleh Lewenhali dan Asamali. Ketika mereka tiba di Tutukei Serwaru, mereka diundang oleh Meheloi dan Lewensimara untuk bersama-sama pergi ke Liuleli Dailoro. Di sana mereka ditawarkan emas untuk ditukar dengan kepala manusia itu, namun mereka menolaknya. Mereka ditawari gadis-gadis cantik, tapi mereka tetap menolak. Akhirnya seorang perempuan tua mengerti bahwa mereka butuh tanah. Maka, mereka ditawari tanah dan mereka menerimanya.
Mereka tinggal di tanah yang baru mereka peroleh. Namun saudara-saudara muda terlibat dalam persoalan karena cara cabul yang dimainkan oleh Maranunu kepada scorang perempuan. Lalu, mereka berlayar ke Kisar yang mereka kenal sebagai tanah :IsaVasli mereka. Kemudian mereka berlayar kembali ke Liuleli Dailoro dan menceritakan kepada saudara-saudara mereka [yaitu : Lewenmali dan Asamali] tentang penemuan tanah itu. Bersama-sama mereka pergi ke Kisar dan saudara-saudara tua dan muda berpisah dan mengembara ke arah yang berlawanan. Ketika mereka bertemu satu sama lain sesudahnya, mereka saling takut satu sama lain dan menetap di tempat-tempat yang berbeda. Saudara­saudara yang muda, setelah diusir dari Dautunu oleh orang-orang Irara, pergi ke Ilikesi dan  tinggal di sana. Setelah lewatnya sekian generasi, keturunan dari semua saudara-saudara tinggal rukun bersama di Horna-Werna.
Pada suatu hari, mereka dikunjungi oleh 10 suku asing yang terpesona dengan aroma dari pohon langit. Tuan tanah membagi mereka ke dalam tiga kelompok. Mereka yang bahasa dan  kebiasaan/adat-istiadatnya berbeda dengan mereka, harus meninggalkan pulau itu. Mereka yang bahasa dan  gaya bicara hanya sedi:cit berbeda, mereka dikirim ke bagian barat pulau itu. Mereka yang tidak berbeda, alias sama, baik dalam bahasa maupun cara bicaranya diizinkan untuk tinggal dan hidup bersama-sama dengan mereka. Namun, seperti telah dipikirkan oleh Lewenmali dan Asamali bahwa tidak baik kalau mereka hanya satu kelompok/golongan saja, maka mereka terbagi dalam 3 kelompok: MARNA, WUHUR dan keturunan paling muda yang menetapkan peraturan sebagai pedoman dalam bertingkah laku satu terhadap yang lain.
Pada akhirnya, PERU SAHAAN/KOMPENI [Hollanders] datang melakukan kontrak I kerja sama dengan mereka. Ketua suku, HORSAIR, hadir dengan barang-barang perakmenghiasi kepalanya, sebuah bendera, dan sebuah kontrak/sewa tanah. Iparnya, MUTASAIR, yang bertindak sebagai penerjemah, menerima di kepalanya sebuah tanduk kerbau. Karena HORSAIR sejak dahulu telah menjadi pemimpin ritual/seremoni, maka sekarang dia juga memiliki semua barang dan bendera. Rumah Resiara Taluara dipakai untuk memerintah desa [di bagian Barat] yang lebih rendah dan rumah MUTASAIR dipergunakan untuk memerintah desa [di bagian Timur] yang lebih tinggi ****
C. Analisis Mitologi Oirata
Jan Petrus Benjamin De Josselin de Jong, Profesor of Ethnology di Leiden University, melakukan perjalanan melalui Indonesia timur dari Februari 1933 sampai Februari 1934. Ia mengunjungi Buru, Wetan, Moa, Wetar dan Kisar, mengumpulkan informasi linguistik dan etnografi yang akan membantu dalam perencanaan masa depan penelitian. Setelah hanya waktu yang terbatas, ia menghabiskan hari-harinya di Kisar mempelajari bahasa masyarakat Oirata dan merekam mitos asal mereka. Dalam berikutnya 1.937 publikasi Oirata, Penyelesaian Timor pada Kisar, ia hanya termasuk analisis etnologis singkat dari organisasi sosial mereka. Zaman pra-kolonial Kisar. legenda setempat mengatakan pulau ini pertama kali dijajah oleh imigran dari daratan Timor, serta Sermata dan Moa. Namun gerakan ini mungkin berhubungan dengan migrasi lebih relatif baru. 
Buku yang cukup tua, lebih tua dari ilmu yang paling tua di muka bumi ini, Ilmu Filsafat. Nyatanya buku Mitologi Oirata jauh lebih tua. Mitologi orang Oirata menjadi sajian klasik namun kontemporer di era sekarang di zaman Linguistics dan Ethnolinguistics telah menjadi trend. Sebuah nama disebutkan oleh Mr. De Jong  yaitu Wadlau. Diceritakan bahwa Wadlau adalah the first man in the world. Sebuah konsep yang sangat purba yang menjadi inspirasi dari berbagai mitos, legenda bahkan fabel. Awalnya Adam diturunkan di muka bumi bersama ibu Hawa (Eve) dari syurga Tuhan (Eden). Adanya konsep langit dan bumi atau laut yang masih berkaitan dan terasa dekat juga mengilhami mitos-mitos di Kisar. Sebuah epos klasik yang cukup terkenal dari Sulawesi adalah I Lagaligo, dimana memasukkan konsep kedekatan antara syurga dan dunia, juga lautan. Manusia dalam epos terpanjang di dunia ini juga sempat melakukan hubungan komunikasi dan perkaitan dengan para penghuni syurga. Mirip dengan konsep awal manusia di muka bumi.
Wadlau mencabut tulang rusuk dan menjadikannya sebagai makhluk yang dinamakan wanita. Hal ini bahkan disampaikan oleh Rasulullah Muhammad SAW, lahir  pada 571 Masehi.  Bahwa Wanita diciptakan dari tulang rusuk laki-laki. (Hadits Riwayat Muslim). Maka konsep-konsep mitologi kuno memang banyak terisnpirasi dari sejarah, agama dan budaya, kitab-kitab Tuhan, Kisah Rasul dan sebagainya.  Adanya burung-burung seperti Rajawali, Merpati, Pemakan Biji, dan Magpie mengingatkan saya kepada kisah Nabi Musa SAW yang lahir beberapa tahun sebelum Masehi. Musa mendapatkan wahyu untuk menggunakan burung-burung pemakan biji untuk membuktikan keberadaan Tuhannya. 
Angka tujuh ternyata cukup lama diyakini oleh manusia sebagai angka sacral. Hal ini bisa dipahami terutama pada Mitologi Oirata, angka tujuh disebutkan sebagai tingkatan. Sehingga sangat dipercaya bahwa tujuh juga adalah salah satu konsep dari adanya Creator atau Tuhan yang menciptakan tujuh lapis langit. Pernikahan antar saudara juga menghiasi Mitologi Oirata yang terinspirasi dari pernikahan putra-putri Nabi Adam (the first Man). Beliau mendapatkan wahyu untuk menikahkan putra putrinya yaitu Kabil, Habil, Iklima dan Lubuda. Keempatnya menjadi dua pasangan pernikahan. Di dalam Mitologi Oirata terdapat nama-nama pasangan pernikahan yaitu Tatilu dan Laltilu kemudia Lakluama dan Lailuana. Keempatnya adalah masih bersaudara.
Adanya tragedi seperti berubahnya makhluk menjadi arca atau batu juga terjadi dalam Mitologi ini. Hal ini mungkin menginspirasi legenda-legenda menarik di Padang Pariaman dimana seorang ibu dengan mudahnya mengutuk putranya menjadi batu. Di cerita lain di Mitologi Oirata, ada pula yang berubah menjadi ikan Paus di lautan.  Dari sinilah berawal kisah bahasa Non Austronesia yaitu saat Ratu Pitu Ratu dan Rawiru berenang ke Timor.  Adanya sirih dan pinang di Timor yang memancing mereka untuk datang disana dan membeli untuk keperluan makan sirih, dan upacara adat.  Di dalam epos I Lagaligo, disebutkan juga bahwa sirih dan pinang adalah media pernikahan.
Beberapa nama tempat seperti Wertutun, Wadumura, Watmeti, Wasairi dan Werwain sangat erat kaitannya dengan adanya air atau sungai dalam cerita rakyat Buru. We atau wae berarti air. Seperti Ci (Sunda), Aeng (Madura), dan Ira (Oirata). Setiap tempat yang namanya diawali dengan “we” berarti terdapat air disana. Air dalam konsep masyarakat Buru adalah sungai. Kemudian disebutkan pula adanya  tanah Gading dan emas dalam Mitologi Oirata. Tanah Gading ini mirip sekali namanya dengan pemeran Epos Terpanjang I Lagaligo yaitu Sawerigading. Sedang emas juga telah ditemukan di Kisar dibuktikan dalam Mitologi Oirata terdapat kata emas, yang dipakai sebagai alat tukar dan pernikahan. Pada Epos I Lagaligo, emas bahkan menjadi alas tidur yang dipakai oleh We Tenriabeng, pemeran kedua dalam epos tersebut.
Dan rupanya rotan sudah ada sejak lama, disebutkan dalam Mitologi Oirata salah satu manfaat rotan adalah dipakai untuk permainan. Pada masyarakat Buru bahkan rotan ada lagunya yaitu Hela Rotane yang artinya Tarik Rotan. Dalam Mitologi Oirata disebut hela rotan juga. Rota diceritakan pula dipakai sebagai alat untuk turun mencapai bumi. Hal ini karena rotan tumbuh memanjang cukup tinggi. Tumbuhan rotan memang menjulur-julur ke atas bergayut pohon-pohon besar. Sehingga untuk memanen rotan yaitu dengan cara ditarik ke bawah dan diambil / dipotong mana yang diperlukan. Kadang bagi para penjelajah yang mereka mengandalkan rotan karena buluh-buluhnya berisi air yang bisa diminum. Pada mitologi ini disebut hewan seperti kambing dan kerbau dimana kerbau dalam hal ini tidak boleh dikonsumsi karena dianggap hewan suci yang dipergunakan untuk ritual. Hal ini bisa dilihat pada masyarakat India, Bali dan Toraja. Di Toraja, kerbau sangat disakralkan dan menjadikan simbol material.
Orang-orang Jotojaum dalam Mitologi ini disebutkan kesulitan membayar uang penikahan karena tuntutannya yang cukup tinggi. Hal seperti ini juga terjadi pada masyarakat Sulawesi Selatan,  ini sangat meresahkan masyarakat Sulawesi Selatan yang memiliki adat “Uang Panaik” secara turun temurun. Sehingga banyak keluh kesah anak-anak muda di zaman sekarang yang mengatakan sulit menikah karena uang “Panaik”. Bagi wanita alumni S1 uang panaiknya 200juta, S2-300juta dan S3-400juta. Maka yang terjadi adalah mereka semua pada berbondong-bondong lari ke Jawa untuk menikah denga wanita Jawa yang notabene uang pernikahannya hanya 25juta.
Salah satu kesalahan kecil, namun mungkin berakibat fatal bagi masyarakat Aceh adalah mereka tidak belajar sejarah. Beberapa puisi-puisi kuno ditulis yang menggambarkan adanya bencana tsunami saat itu. Tsunami yang terjadi bisa memberikan petunjuk agar lebih waspada ke depannya karena sebenarnya bencana tsunami bisa diketahui sebelumnya. Yaitu karena bencana ini terjadi periodik dan karena bisa dilihat dari fenomena-fenomena fisik. Tsunami juga disebut dalam Mitologi Oirata. Dan harapannya adalah sudah pasti  agar bisa dengan cepat menghindari apabila akan terjadi tsunami, karena sudah pernah terjadi sebelumnya.
Kita tidak tahu kapan dan bagaimana manusia modern pertama mencapai Kisar namun ada kemungkinan bahwa mereka adalah bagian dari migrasi Melanesia dari Asia Tenggara (Sundaland) ke benua Sahul melalui Kepulauan Sunda sekitar 60 hingga 40.000 tahun yang lalu. Beberapa jasad mereka 42.000 tahun telah digali dari gua-gua di Timor Timur. Atau mereka bisa saja orang Papua yang meninggalkan semenanjung bomberai Papua Barat 6.000 tahun yang lalu dan mencapai East Timor sekitar 4,500-4,000-tahun-lalu  ke arah barat-migrasi. Sejak saat itu Kisar menerima gelombang kedua imigran berbahasa Austronesia, mungkin dari Sulawesi. Bahasa Kisaric diucapkan di Kisar dan Roma termasuk dalam kelompok Timor bahasa, yang ahli bahasa Geoffrey Hull dan rekan-rekannya percaya terkait erat dengan orang-orang dari Sulawesi Selatan Timur - lebih khusus dari pulau-pulau Muna, Buna dan Tukang Besi. Prekursor dari Kemak, Tokode, Idate dan Mambai dialek, diucapkan di barat dan tengah Timor Timur, mungkin berasal dari Muna dan Kepulauan Buton, sedangkan Tetum, Galoli dan disebut keluarga Kawamina dialek (Naueti, Waimaha, Kairui , dan Midiki), diucapkan di tengah dan timur Timor Timur, mungkin awalnya bermigrasi dari Tukung Besi Kepulauan untuk Wetar dan dari sana ke Selatan Kepulauan Barat dan Timor. Sementara bahasa Austronesia mungkin telah tiba di Sulawesi Utara sekitar 4.000 tahun yang lalu, mereka tidak tampaknya telah mencapai Kisar dan Timor sampai sangat jauh kemudian - abad kesebelas .  Masyarakat Kisar membedakan antara asli dan populasi migran, yang terakhir menggunakan narasi tradisional untuk menentukan tempat dan fungsi mereka dalam masyarakat pulau. Keluarga di kedua komunitas etno-linguistik dikelompokkan ke dalam klan yang dikategorikan ke dalam empat kelompok asal:
    Klan yang nenek moyangnya yang asli (pribumi) ke Kisar
    Klan yang berasal dari Pulau Timor
    Klan yang berasal dari Kepulauan Kei (Maluku Tenggara)
    Klan yang berasal dari Luang Island (central Maluku Barat Daya).
Klan adat umumnya diakui sebagai pemilik tanah tradisional dalam setiap kelompok etno-linguistik mereka sendiri. Klan imigran yang dikenal sebagai 'perahu-pemilik'. Klan biasanya dibagi menjadi empat jalur semi-independen keturunan, yang disebut rumah

Klan kerajaan Hihileli-Halono berbasis di Wonreli memiliki status tertinggi di pulau dan memberikan kepala semua klan yang Meher berbahasa. Ini mungkin mengapa Belanda diinstal kepala suku Pakar dari klan Hihileli sebagai raja atau 'raja' dari Kisar Pulau di 1665. Dia kemudian dibaptis sebagai Cornelis Bakker.  Setiap klan berisi satu atau lebih rumah klan yang mewakili garis keturunan yang ada di dalam klan itu. Dalam Kisarese cerita rakyat clan biasanya disebut dengan nama rumah klan yang paling penting.
Di wilayah Meher berbahasa, klan dikelompokkan ke dalam domain yang diatur oleh seorang kepala klan tunggal (marna), yang dibantu oleh klan bangsawan sekutu (wuhru, alternatif wuhur atau bur). Klan yang tersisa adalah jelata (anan, alternatif Stam) dan membentuk sebagian besar masyarakat . Beberapa marga biasa berasal dari budak (alias atau Akaa) yang baik ditangkap selama perang suku atau dibeli. Ada dua puluh klan mulia dan klan biasa dan tiga klan hamba terdiri dari mantan budak . 
Populasi mestizo dari Kota Lama yang secara lokal disebut sebagai Walada (Belanda) adalah salah satu pengecualian dan tidak dikelompokkan ke dalam klan. kota mereka bukan domain tradisional, melainkan ketergantungan Wonreli .
Di desa-desa Oirata berbahasa populasi dibagi menjadi tujuh klan dikenal sebagai pãda atau soa: Hano'o, Selewaku, Pamodo, Hunlori, Audoro, Ira Ara dan Asatupa. Keanggotaan berdasarkan keturunan patrilineal. Masing-masing dari tujuh marga ini dibagi menjadi sejumlah rumah atau garis keturunan yang dikenal sebagai kodo, masing-masing milik salah satu dari tiga marna atau sosial tingkat: ratu atau bangsawan, yang Rurin kaka (kakak) atau keturunan ratu yang telah menikah bawah, dan Rurin yang no'o-no'o (adik) jelata dan mantan budak (ata). Dengan demikian terbesar Hano'o klan memiliki enam garis keturunan ratu, empat Rurin kaka garis keturunan dan 14 Rurin garis keturunan no'o-no'o. Ada 101 garis keturunan secara total.
Di masa lalu, pernikahan antara klan adalah asimetris, mengikuti tradisi dari connubium melingkar yang luas dipraktekkan di seluruh Indonesia Timur. Pada saat yang sama, pernikahan di Kisar hanya bisa terjadi antara klan dari status yang sama seperti  adat Dan Upacara Perkawinan daerah adalah Maluku. Pernikahan itu biasanya patrilineal dengan pengantin wanita bergerak ke desa suaminya. Seperti di banyak daerah lain di Indonesia timur, preferensi itu untuk seorang pemuda untuk menikahi putri saudara ibunya. Ini jelas masalah untuk  putusan klan Hihileli  masyarakat berbahasa Meher. Hal itu diselesaikan dengan cara sistem patrilineal aliansi asimetris tetap menghubungkan tiga klan bangsawan (dasarnya garis keturunan) dari Kisar, Leti dan Moa.  Keluarga Kisar akan mengirim anak perempuan mereka untuk menikah ke dalam keluarga Norimarna yang berkuasa di Leti. Keluarga Norimarna akan menikahi putri mereka ke keluarga Pooroe berkuasa di Moa, dan keluarga Pooroe akan menikahi putri mereka ke keluarga Bakker yang berkuasa di Kisar. Pada Kisar mas kawin yang terdiri dari emas dalam bentuk anting-anting, atau bulan emas dan piring, bersama dengan pedang dan tekstil (de Jong dan van Dijk 1995, 120).  Bagi Kissar   tukang emas memiliki peran penting selama berabad-abad, membentuk perhiasan emas bagi  Belanda atau penguasa emas Inggris. Mereka juga menempa pedang (klewangs) dari benda-benda yang diimpor dari besi.  Juga kombinasi serupa emas, pedang dan tekstil yang diperlukan untuk penyelesaian denda adat mengenai pelanggaran kasta pernikahan, perzinahan, kawin lari, kehamilan di luar nikah, pencurian, dll.
OIRATA atau OIRIAKA YANG BERARTI air busuk atau air yang tidak baik sesungguhnya adalah salah. Saat ini Oirata menjadi lebih dikenal karena bahasanya yang unik di dunia. Sehingga air yang busuk itu menjadi wangi dan memancar.
D. Ulasan Singkat tentang Bahasa Oirata
Bahasa Oirata adalah bahasa yang dipakai sebagai alat komunikasi Suku Oirata. Bahasa Oirata hanya memiliki tradisi lisan dan tidak mememiliki tradisi tulis. Artinya, bahasa Oirata tidak memiliki huruf tertentu seperti bahasa Jawa dengan huruf Jawa, bahasa Bali dengan huruf Bali, dan lain-lain. Bahasa Oirata memiliki beberapa ciri umum sebagai berikut.
1)  Ciri Fonologis
(a)  Bunyi akhir vokal (bahasa vokalis)
Ciri umum bahasa Oirata yang paling menonjol dibandingkan dengan bahasa bahasa yang lain di sekitarnya adalah semua kata berakhir dengan bunyi vokal. Dengan kata lain, bahasa Oirata termasuk bahasa vokalis. Beberapa contoh kata bahasa Oirata di antaranya iyahure ‘mengeram’, somone ‘mengangkat’, ira eme ‘mengambil air’, hahulu ‘mentimun’, ilikua (ilkua) ‘ketiak’, hOiratae ‘kenyang’, maina ‘keras’, dan lain-lain.
Jika dalam suatu percakapan ditemukan kata yang berakhir dengan konsonan, dapat dipastikan bahwa kata itu adalah berasal dari kosakata bahasa lain atau kosakata pinjaman. Berikut beberapa kata pinjaman yang ditemukan dalam bahasa Oirata, di antaranya berasal dari bahasa Meher: aur ‘kapur’, kukis ‘kue’, kawar ‘atap rumah’, hair ‘bendera’, lo’Oirata ‘pedang’, dan kimur ‘timur’. Kosakata Oirata yang berasal dari bahasa lain seperti bahasa Romang: adur ‘tikus besar’, bahasa Indonesia: kartas ‘kertas’, kapal ‘kapal’, yampatan ‘jembatan’, gong ‘gong’, dan lain-lain. Kita harus cermat terhadap kosakata pinjaman dalam bahasa Oirata. Kosakata pinjaman dari bahasa lain pada umumnya diadaptasikan ke dalam pengucapan bahasa Oirata. Jika kosakata pinjaman itu berakhir dengan konsonan, kata tersebut akan diperlakukan dengan tiga cara. Cara pertama, konsonan akhir tersebut akan diperlakukan seperti apa adanya (tidak diubah). Cara kedua, konsonan akhir tersebut akan dihilangkan, terutama bunyi dOirataso-velar dan glottal. Contoh yang ditemukan di antaranya dalam bahasa Indonesia: tuak > tua ‘tuak’, susah > susa ‘susah’, salah > sala ‘salah’, penuh > penu ‘penuh’. Cara ketiga, pada kata tersebut akan ditambahkan dengan vokal pada akhir kata. Vokal akhir yang ditambahkan itu biasanya akan disesuaikan dengan vokal pada suku kata sebelumnya. Di antara kata yang ditemukan dalam bahasa Indonesia: kamar >kamara ‘kamar’, dapur > đapuru ‘dapur’, rakit > rakiti ‘rakit’, sabit > sabiti ‘sabit’, dan lain-lain.
Dalam hal pengadaptasian kosakata lain sebagai pinjaman ke dalam bahasa Oirata, selain dengan cara dibiarkan, penghilangan konsonan akhir, atau penambahan vokal akhir juga dilakukan penyesuaian dengan bunyi-bunyi yang ada dalam bahasa Oirata. Sebagai contoh, bahasa Oirata tidak memiliki bunyi konsonan /b/, /g/, /j/, /c/, /d/, dan bunyi vokal /∂/. Jika dalam kosakata pinjaman mengandung unsur bunyi tersebut, maka bunyi-bunyi tersebut akan diganti dengan bunyi terdekat yang ada dalam bahasa Oirata. Beberapa contoh yang ditemukan di antaranya dalam bahasa Indonesia: budi > pudi ‘budi’, bata > pata ‘bata’, besar > pesara ‘besar’, gambir > kamir ‘gambir’, gasing > kasin ‘gasing’, rugi > ruki ‘rugi’, jala > đala ‘jala’, jaring > đari ‘jaring’, jembatan > yampatana ‘jembatan’, cina > sina ‘cina’, cita > kita ‘kain cita’, cui > kui ‘burung dara’, kuda > kuđa ‘kuda’, kerbau > karho ‘kerbau’, kertas > kartasa ‘kertas’, remas > ramasu ‘remas’, periksa > pĕrĕksĕ ‘periksa’, lemari > limara
‘lemari’, dan lain-lain. Pola adaptasi bunyi pinjaman yang diselaraskan dengan bunyi yang ada dalam bahasa Oirata: /b/ > /p/, /g/ > /k/, /j/ > /y/ dan /đ/, /c/ > /s/ dan /k/, dan /∂/ > /i, ĕ, a/.
Berkaitan dengan bahasa vokalis, banyak Orang yang berspekulasi bahwa eksestensi bahasa itu berkaitan dengan letak geografis pemakainya. Hal itu juga terjadi pada bahasa Oirata pada masa lalu. Sebelum Suku Oirata menempati desa sekarang ini, mereka tinggal di atas bukit bagian selatan pulau itu. Mereka tinggal berjauhan, bahkan mereka tinggal di atas dua bukit, sebagian di negeri Manheri ‘bukit sebelah timur’ dan sebagian lagi tinggal di negeri Mauhara ‘bukit sebelah barat’ sebagai tempat asal leluhur Suku Oirata. Di antara kedua bukit Manheri dan Mauhara terdapat sebuah ngarai atau lembah di antara dua jurang bertebing terjal. Belum lagi di musim gelombang besar, suara ombak memecah daratan membuat suasana menjadi lebih bising. Kondisi letak geografis pada masa silam seperti ini diyakini oleh para tokoh masyarakat Suku Oirata memberi andil bagi dominannya pemakaian bunyi vokal terutama pada kosakata akhir. Untuk memperlancar komunikasi, Suku Oirata sering menggunakan bunyi vokal belakang panjang /Ō/ dengan tekanan dari dalam yang kuat untuk memanggil orang pada jarak tertentu.
Selain itu juga sering digunakan bunyi gabungan KV atau suku kata dengan bunyi vokal tinggi depan panjang pada akhir suku /kī/ dengan tekanan suara melengking. Bunyi-bunyi tersebut sampai sekarang masih kerap digunakan. Jika bunyi-bunyi itu tidak cukup kuat dipakai sebagai alat komunikasi akibat jarak atau suara debur ombak, Suku Oirata sering menggunakan tauria ‘kerang besar’ dengan cara meniupnya kuat-kuat. Tauria biasanya dipakai sebagai alat komunikasi umum, misalnya untuk berkumpul atau tanda penting lainnya. Yang jelas kondisi geografis negeri asal Suku Oirata seperti itu cukup memberi andil
besar bagi penggunaan bunyi-bunyi bersuara atau vokal pada akhir kata.
(b) Bunyi vokal akhir lemah
Bahasa Oirata sebagaimana yang ada sekarang memiliki ciri bahwa bunyi bunyi vokal pada akhir kata secara umum diucapkan dengan lemah disertai dengan nada menurun terutama pada komunikasi dengan jarak dekat. Berikut ini contoh nada bunyi dalam bahasa Oirata.
\
a) ante ‘saya’

\
b) auni ‘satu’

\
c) đođoli ‘sedikit’
\
d) Mara o ‘Pergi kah?’

Sebagai akibat lemahnya bunyi-bunyi vokal pada akhir kata, maka sering bunyi vokal itu tidak terdengar dan karena itulah vokal itu sering ditulis dalam kurung (…) yang maksudnya kadang-kadang terdengar dan kadang-kadang dilesapkan seperti pada beberapa contoh sebagai berikut.
a) sair(i) ‘bendera’
b) aun(i) ‘satu’
c) al(a) ‘perang’
d) il(i) ‘perangkap’
(c) Pelesapan bunyi dan pemendekan suku kata
Bahasa Oirata juga memiliki kecenderungan dalam bentuk pelesapan bunyi dan pemendekan suku kata. Kecenderungan tersebut dapat dimungkinkan karena tiga faktor. Pertama, berkaitan dengan bunyi vokal yang diucapkan lebih lemah pada akhir suku kedua atau akhir kata sebagaimana telah disinggung pada bagian di atas. Kedua, faktOirata kebiasaan berbicara cepat pada masyarakat Suku Oirata, sehingga memungkinkan penggabungan dua kata menjadi satu kata. Ketiga, faktOirata lingkungan bahasa yang terjadi di kawasan tersebut. Di sekitar bahasa Oirata seperti kawasan masyarakat Ambon dan Nusa Tenggara Timur ada fenomena pemakaian bahasa yang cenderung membuat lebih singkat dari biasanya. Berikut ini disajikan beberapa contoh pemakaian bahasa Indonesia yang disingkat dan menjadi lebih pendek dari yang seharusnya.
No. Bentuk singkatan                                                Bentuk yang seharusnya
1.         DOrang.                                                                       Dia Orang.
2.         Sapi main bola.                                                             Saya pergi main bola.
3.         Air sudekat.                                                                 Air sudah dekat.
4.         Sutan kecil.                                                                   Susu Tante kecil.
5.         Ini busa aja.                                                                  Ini buat saya saja!

Berdasarkan ketiga faktOirata di atas diyakini dapat berimplikasi pada pelesapan bunyi serta berimplikasi pula pada pemendekan suku kata bahasa Oirata. Berikut disajikan betuk-bentuk pelesapan yang ditemukan.
No. Bentuk yang seharusnya                                    Bentuk pelesapan
1.         ilihua ‘abu’                                                                 ilhua ’abu’
2.         walihia ‘antin-anting’                                                    walhia ‘anting-anting’
3.         mumulai ihi ‘bunga pepaya’                                         mumlai ihi ‘bunga pepaya’
4.         isame halu ‘menyesal’                                      isamhalu ‘menyesal’
5.         hari Selasa ‘hari Selasa’                                               Harsalasa ‘hari Selasa’
6.         ita ima ‘bersetubuh’ (manusia)                         itima ‘bersetubuh’ (manusia)

(d)  Bunyi alternasi
Selain ciri-ciri di atas, bahasa Oirata juga memiliki ciri lain dalam bentuk bunyi alternasi. Artinya, dalam bahasa Oirata ada bunyi-bunyi tertentu dapat digantikan atau berubah menjadi bunyi lain dan atau dapat saling mengantikan satu sama lain. Perubahan bunyi dalam bentuk alternasi itu diyakini sebagai akibat proses sejarah dan perjalanan panjang bahasa tersebut menjadi bahasa Oirata seperti sekarang ini. Berikut ini disajikan beberapa bentuk bunyi alternasi yang ditemukan.
1.  /p/ ~ /h/

Bunyi /h/ sangat dominan dalam bahasa Oirata. Artinya kosa kata dalam bahasa Oirata banyak mengandung bunyi /h/. Bunyi /h/ tersebut ternyata cukup banyak beralternasi dengan bunyi /p/. Setelah ditelusuri bunyi /h/ tersebut sangat besar kemungkinannya berasal dari /bunyi /p/. Berikut ini disajikan beberapa contoh sekaligus bukti bentuk perubahan itu.
Contoh: a) itaresi ‘saling rebut’, pai ‘kerja’
    itaremhai ‘saling berebut’
b) a’a ‘(di) atas’, pale ‘menyatu’
   a’ahale ‘menyiapkan makanan’
   (kebiasaan memasak dengan mencampur bahan menjadi satu)
c) ura ‘buka’, panu ‘depan/awal’, pate ‘musnah’
   urahate panhate ‘membuat jadi berantakan, hancur lebur’
d) Ratupaira ‘nama Orang dengan kasta Ratu di masa lalu’
    Latuhaira, Resihaira, Lelhaira, dan Ratuhaira ‘nama sekarang’
   (Nama-nama tersebut sebagai penghOiratamatan terhadap leluhurnya)
2 /s/ ~ /h/
Bunyi /h/ juga beralternasi dengan bunyi /s/. Akan tetapi, alternasi bunyi itu umumnya terjadi pada nama diri. Berikut ini disajikan beberapa contoh nama diri pada masa sekarang yang dikaitkan dengan masa silam.
Contoh: a)  Nama diri SOiratau yang ditemukan pada masa lalu, sekarang
diabadikan nama-nama seperti HOiratau, HOiratalai, dan HOiratawata.
b) Nama diri Saira yang ada pada masa lalu, sekarang ditemukan
    dengan nama-nama diri seperti Haira, Hairma’u, Lelihaira,
    Werhaira, dan Resihaira
c) Nama diri yang ada sekarang: Sara beralternasi dengan Hara,
    Sarika beralternasi dengan Harika, dan Masa dengan Maha.
3  /t/ ~ /r/
Bunyi /t/ juga beralternasi dengan bunyi /r/. Berikut ini disajikan beberapa contoh berdasarkan fakta bahasa yang ditemukan.
Contoh: a) titimu ‘dOirataong’
iyaritimu ‘dOirataong lebih ke atas’
                  b) tapa ‘tusuk’
                      muđurapa ‘tusuk masukkan ke dalam’


4  /đ/ ~ /l/
Selain bunyi-bunyi di atas, berikut ini juga ditemukan bunyi /đ/ beralternasi dengan bunyi /l/.
Contoh: a) /đapuru/ = /lapuru/ ‘dapur’
  b) /đila/ = /lila/ ‘katak’
  c) /Đailaru/ = /Lailaru/ ‘nama Orang’
5  /l/ ~ /r/
Bunyi /l/ juga ditemukan beralternasi dengan bunyi /r/ yang dominan untuk nama Orang atau nama keturunan.
Contoh: a) /Ratu Paira/ = /Latu Paira/ ‘nama Orang’
                  b) /Ratusuai/ = /Latusuai/ ‘nama keturunan’
                 c) /Raihara/ = /Laihara/ ‘nama Orang’

2) Ciri Morfologis
(a)  Akhiran (sufiks)
Dalam bahasa Oirata terdapat dua sufiks, yaitu -r(a) dan -n(a) yang masing masing memiliki fungsi dan makna berbeda-beda. Berikut ini kedua sufiks tersebut diuraikan dengan beberapa contohnya.
1.  Sufiks -r(a) . Bentuk asal sufik ini adalah -ra, tetapi sering direalisasikan dalam bentuk -r sebagai akibat dari kecenderungan pelesapan vokal akhir kata pada bahasa itu. Sufiks -ra tidak berfungsi mengubah kelas kata. Sufiks ini hanya berfungsi
membentuk makna ‘jamak’.
Berikut ini disajikan contoh yang ditemukan.
No       Bentuk asal                                                   Bentuk jadian
a.         mara ‘pergi untuk seOrang’ marar(a) ‘pergi untuk Orang banyak’
b.         mođo ‘anak’                                                    mođOirata(a) ‘anak-anak’
c.         rata ‘nenek moyang’                            ratar(a) ‘nenek moyang semua’
d.         na ‘ibu’                                                            nara ‘ibu-ibu’
e.         ha ‘bapak’                                                       hara ‘bapak-bapak’

Catatan:
Sufiks -r(a) di atas secara eksplisit dapat dirunut proses pembentukannya. Artinya, bentuk asal atau bentuk dasarnya dapat dikenali sebagai sesuatu yang bermakna ‘tunggal dan setelah dilekati sufiks -r(a) makna bentukan tersebut menjadi jamak. Berikut ini juga ditemukan bentukan yang berakhir dengan –ra atau -r dengan makna jamak. Akan tetapi, bentukan itu tidak jelas bentuk dasarnya. Maksudnya, apakah bentukan itu bersasal dari bentuk dasar yang
memperoleh sufiks -ra atau -r atau bentukan itu memang berakhir dengan –ra atau -r. Bentukan tersebut adalah sebagai berikut.
Contoh:
ihar ‘anjing’ yang hidupnya berkelompok
iyar ‘jalan’ yang selalu bercabang-cabang
asir ‘garam’ yang berbutir-butir
uhur ‘lalat’ yang hidupnya berkelompok
keer ‘tangga’ dengan banyak anak tangganya.
pupur mara ‘pergi bersama-sama’
pupur lalare ‘berjalan bersama-sama’
pupur pun mere ‘duduk kumpul bersama-sama’
pupur međe ‘makan bersama-sama’
2.  Sufiks -n(a)
Bentuk asal sufiks ini adalah -na. Pada bahasa Oirata setiap vokal di akhir kata selalu dilafalkan dengan sangat lemah, lebih-lebih jika kata itu diucapkan dengan cepat, maka vokal itu akan dilesapkan. Sufiks -na dapat berfungsi membentuk kelas kata benda dan memiliki makna ‘dibendakan’ atau ‘sesuatu yang seperti bentuk dasarnya’.
Contoh:
Kelas kata Bentuk dasar                              Bentuk jadian (klas kata benda)
benda ru’u ‘bunyi’                                            ru’u-ru’un ‘bunyi-bunyian’
ili ‘pantat’                                                        ilin ‘buritan perahu/kapal’
kerja ihile ‘terbang’                                          ihilen ‘yang terbang’ (burung, pesawat)
međe ‘makan’                                                  međen ‘makanan’
ina ‘anyam’                                                      inan anyaman’
iramara‘mencari air’                                        ira maran ‘pencari air’
lause ‘pelihara’                                                 mođo lausana ‘anak peluharaan’
halampai‘kerja ladang’                                    halampain ‘peladang’
uste ‘bertanya’                                                 usten ‘yang bertanya’
alamara ‘pergi perang’                                    almara-maran ‘tentara’
sifat ruri ‘kuat’                                                 rurin ‘kekuatan’
ara ‘terang’                                                     aran ‘yang menerangi’ (lampu, obOirata, dll.)
hire ‘dusta, bohong’                                         hiren ‘pembohong’ atau ‘pendusta’
hanate ‘sakit’                                                   hanatena ‘penyakitan’
Catatan:
Selain sufiks -n(a) sebagaimana memiliki fungsi dan makna di atas, ditemukan pula -n(a) yang menyatakan ‘kepunyaan’ atau ‘nya’ dalam bahasa Indonesia. Contoh: umu ‘mayat’, waya ‘air’> umun waya ‘airnya mayat’ tara ‘cabang’, ete ‘pohon’ >taran ete ‘cabangnya pohon’. Perhatikan juga contoh di bawah ini.
1) semene ‘cadik/sayap perahu’, lapai ‘besar’
    semen lapai ‘cadik besar’ > pelemahan /e/
2) taanauni ‘sepuluh’, kapa ‘delapan’
    taan kapa ‘delapan puluh’
3) lalunu ‘gelombang’, pitu ‘tujuh’
    lalunpitu ‘gelombang tujuh lapis’
4) laruni ‘lipan’, mimreke ‘merah’
    larun mimreke ‘lipan merah’
Contoh-contoh di atas memperlihatkan bahwa sufiks -n memang berasal dari -na
dan terjadi pelesapan vokal setelah bergabung dengan kata berikutnya.

3. Akar kata
Bahasa Oirata sangat kaya dengan akar kata (root). Secara leksikal bentuk tersebut memiliki makna, tetapi tidak pernah berdiri sendiri. Artinya, dalam konteks pemakaian bentuk itu selalu berpasangan dengan bentuk lainnya. Fakta bahasa tersebut mungkin merupakan salah satu ciri dari bahasa Oirata sehingga dapat dikategOirataikan sebagai bahasa majemuk. Beberapa contoh bentuk akar kata yang ditemukan dapat disajikan sebagai berikut.
1) ani
Bentuk ani memiliki makna yang menyatakan kepunyaan atau milik. Meskipun bentuk ani memiliki makna leksikal, tetapi bentuk tersebut selalu berpasangan dengan bentuk lainnya. Dalam konteks pemakaian sehari-hari bentuk ani kadang-kadang muncul secara eksplisit, tetapi juga dapat terjadi secara implisit. Meskipun implisit, kehadirannya dapat dirasakan berdasarkan makna yang ditimbulkannya. Selain itu, alasan ketidakhadirannya dapat dijelaskan secara sistematis. Untuk lebih jelasnya di bawah ini diuraikan dengan beberapa contoh.
Contoh 1:
Berikut ini ditampilkan bentuk ani yang digunakan secara eksplisit. eta ani > etāni ‘kamu punya’ (‘milik kamu’ atau ‘milikmu’)
ante ani > antāni ‘saya punya’ (‘milik saya’)
inta ani > intāni ‘kami punya’ (‘milik kami’)
apta ani > aptāni ‘kita punya’ (‘milik kita’)
uweta ani > uwetāni ‘dia punya’ (‘milik dia’ atau ‘miliknya’’)
waita ani > waitāni ‘mereka punya’ (‘milik mereka’)
Contoh 1 di atas merupakan bentuk konstruksi-1 yang dengan mudah dapat diamati kehadiran ani sebagai bentuk yang menyatakan milik. Berikut ini juga ditemukan konstruksi-2 dari bentuk ani yang implisit tetapi tetap bermakna menyatakan kepunyaan atau milik.
Contoh 2:
a) antuhurai ‘istri saya’
Kata antuhurai terdiri dari tiga bentuk (ante ‘saya’, ani ‘punya’, tuhurai‘istri’). Pada bentuk ante ani terjadi proses asimilasi regresif menjadi antāni tuhurai. Tahap selanjutnya terjadi proses penghilangan di tengah kata (syncope) sehinggga menjadi bentukan antuhurai ‘saya punya istri’ (‘istri saya’).
b) anmođo tuhurai ‘anak perempuan saya’
Bentukan anmođo tuhurai terdiri atas empat bentuk asal (ante ‘saya’, ani ‘punya’, mođo ‘kecil’ dan tuhurai ‘perempuan’). Bentuk dasarnya adalah ante ani ‘saya punya’ dan mođo tuhurai ‘perempuan kecil’ atau ‘anak perempuan’. Pada bentukan ante ani mođo terjadi proses syncope sehingga membentuk anmođo. Proses selanjutnya terbentuklah anmođo tuhurai yang berarti ‘saya punya anak perempuan’ (‘anak perempuan saya’). Kedua contoh yang disajikan di atas menunjukkan bahwa konstruksi 2 terjadi proses syncope. Artinya, konstruksi-2 lebih singkat dibandingkan dengan konstruksi-1. Selain itu, ditemukan juga konstruksi-3 yang lebih singkat dari yang telah ada.
Contoh 3:
Berikut ini disajikan konstruksi-3 yang juga mengimplisitkan bentuk ani sebagai
akibat proses syncope.
ele (etāni ‘kamu punya’, le ‘rumah’) > ‘kamu punya rumah’ (‘rumahmu’)
ale (antāni ‘saya punya’, le ‘rumah’) > ‘saya punya rumah’ (‘rumah saya’)
ile (intāni ‘kami punya’, le ‘rumah’) > ‘saya punya rumah’ (‘rumah kami’)
aple (aptāni ‘kita punya’, le ‘rumah’) > ‘kita punya rumah’ (‘rumah kita’)
ule (uwetāni ‘dia punya’, le ‘rumah’) > ‘dia punya rumah’ (‘rumahnya’)
wale (waitāni ‘mereka punya’, le ‘rumah’) > (‘rumah mereka’).
2) ara
Bentuk ara memiliki makna yang menyatakan ‘sesuatu yang berposisi rendah’ atau ‘di/ke bawah’. Dalam beberapa konteks bentuk ara berpasangan dengan bentuk-bentuk tertentu sebagai berikut.
Contoh:
a) hutrau ‘lempar’ atau ‘buang’ > arahutrau ‘lempar/buang ke bawah’
b) kaure ‘pegang’ > arakaure ‘pegang pada bagian bawah’
c) ruale ‘tanam’(tiang) atau ‘tabcapkan’ > araruale ‘tancapkan di bawah’
d) noure ‘usir’ > aranoure ‘usir ke bawah’
e) ihile ‘terbang’ > aranihile ‘terbang menurun’
f) nasi ‘lihat’ > aranasi ‘tengok ke bawah’
g) kono ‘angkut/angkat’ atau ‘bawa’ > arakono ‘bawa ke bawah’
h) eme arakono ‘ambil bawa ke bawah’
3) ita
Bentuk ita memiliki makna ‘saling’. Bentuk ita juga dapat berpasangan dengan beberapa bentuk seperti pada konstruksi berikut ini.
a) mi’e ‘cium’ > itami’e ‘saling cium’ atau ‘berciuman’
b) punu ‘muka’ > itampunu ‘saling pandang’ atau ‘berpandangan’
c) mire ‘duduk’ > itamire ‘duduk berdampingan’
d) ima ‘setubuh’ (manusia) > itanima ‘saling bersetubuh’
e) mese ‘setubuh’ (anjing) > itanamese ‘saling bersetubuh’
f) uđa ‘pukul’ > itauđa ‘saling pukul’ (pukul-pukulan)
g) serle ‘tukar’ >itaserle ‘saling tukar’ (tukar-menukar)
h) hati ‘pisah’ > itahati ‘saling berpisah’

4) iya
Bentuk iya memiliki makna yang menyatakan ‘sesuatu yang berposisi ke atas dan dibuat lebih di/ke atas lagi’. Di bawah ini konteks pemakaiannya.
a) ihile ‘terbang’ > iyanihile ‘terbang ke atas lagi’
b) ho’e ‘tempat’ > iyaho’e ‘tempat di atas lagi’
c) kono ‘angkat’ atau ‘bawa’ > iyakono ‘angkat lebih ke atas’
d) mOiratae ‘letakkan’ > iyamOiratae ‘letakkan lebih di atas’
e) titimu ‘dOirataong’ > iyaritimu ‘dOirataong lebih ke atas’ (/t/ = /r/)
f) nare ‘tombak’ > iyanare ‘tombak ke atas lagi’
g) āni ‘ada’ > iyāni ‘ke ataskan lagi’
Catatan:
Selain bentuk iya sebagai akar kata, ditemukan juga bentuk iya sebagai kata yang menyatakan ‘telapak’ kaki atau ‘telapak’ tangan. Contoh: iya lapai ‘telapak kaki’ dan lapai ‘besar’, maksudnya ‘telapak kerbau’

5) međe
Bentuk međe memiliki makna ‘segala sesuatu yang memang masih di bawah untuk menjadikan lebih tinggi’ Cermatilah bentukan berikut ini.
Contoh:
a) kaure ‘angkat badan’ > međekaure ‘angkat badan agar tidak tenggelam’
b) name ‘ambil’ > međename ‘ambil dari tanah’
c) uare ‘lompat’ > međeuare ‘lompat dari bawah ke atas’
d) simu ‘lempar’ > međesimu ‘lempar dari bawah ke atas’
e) manđe ‘angguk’ > međemanđe ‘angguk ke atas’ atau ‘tengadah’
Catatan: Selain bentuk međe sebagai akar kata, ditemukan juga međe sebagai kata yang dapat berdiri sendiri dengan makna ‘makan’  Contoh: đele međe ‘makan jagung’, međen ‘makanan’

6) pai
Bentuk pai memiliki makna ‘bekerja’, ‘aktif’, ‘melakukan’, dan ‘membuat’ seperti pada bentuk dasar yang dilekatinya. Bentuk pai dapat berposisi di depan kata yang dilekatinya dan dapat pula di belakang kata yang dilekatinya. Berikut ini disajikan beberapa konstruksi bentukan yang ditemukan. Contoh:
Posisi pai di depan kata yang dilekatinya.
a) kaki ‘luka’ > paikaki ‘melukai’
b) lapane ‘banyak’ > pailapane ‘memperbanyak’
c) tepu ‘patah’ (tentang tongkat) > paitepu ‘mematahkan’
d) laire ‘nyala’ (obOirata, lampu) > pailaire ‘menyalakan’ (obOirata, lampu)
Posisi pai di belakang kata yang dilekatinya.
a) ilaka ‘gasing’ > ilakapai ’bermain gasing’
b) hala ‘ladang’ > halampai ‘berladang’
c) kasu ‘hutang’ > kasunpai ‘berhutang
d) nelu ‘janji’ > nelunpai ‘berjanji’
e) waku ‘teriak’ >wakunpai ‘berteriak’
f) sala ‘berzina, dosa, dan salah’ >salampai ‘berzina, berdosa, bersalah’
g) ala ‘perang’ > alpai ‘berperang’
Catatan:
Di samping bentuk pai sebagai akar kata yang bermakna aktif, ditemukan bentuk kata dasar yang memiliki suku pai, seperti lapai ‘besar’. Artinya, kata dasar lapai tidak berasal dari la dan pai.
7) muđu
Bentuk muđu memiliki makna ‘masuk’ atau ‘dalam’. Berikut ini disajikan beberapa konstruksinya. Contoh:
a) a’a ‘di’ > muđua’a atau muđa’a ‘di dalam’
b) halese ‘berlabuh’ > muđuhalse ‘berlabuh masuk ke dalam’
c) tapa ‘tusuk’ > muđurapa ‘tusuk masukkan ke dalam’
d) ho’e ‘tempat’ > muđuho’e ‘masuk ke dalam tempat ruang sempit’
e) hutrau ‘buang’ > muđuhutrau ‘buang ke dalam’
f) iyalare ‘berjalan kaki’ > muđuyalare ‘berjalan kaki masuk ke dalam’
g) nate ‘berdiri’ > muđunate ‘berdiri di dalam’
h) kono ‘bawa’ > muđukono ‘bawa masuk ke dalam ruang luas’
i) name ‘ambil/terima’ > muđuname ‘terima di dalam’
8) ua
Bentuk ua memiliki makna yang menyatakan ‘di, dari, atau ke bawah’. Berikut ini ditemukan beberapa pasangannya. Contoh:
a) suile ‘melangkah’ > uasuile ‘berjalan merunduk ke bawah’
b) kaure ‘jamah’ > uakaure ‘jamah dari bawah’
c) mOiratae ‘sembunyi’ > uamOiratae ‘sembunyikan di bawah sesuatu’

9) una
Bentuk una memiliki makna yang menyatakan ‘tempat yang jauh’. Berikut disajikan beberapa contoh konstruksi yang ditemukan.
a) hutrau ‘lempar’ atau ‘buang’ > unahutrau ‘lempar jauh di sana’
b) mire ‘duduk’ > unamire ‘duduk jauh di sana’
c) lare ‘berjalan’ > unalare ‘berjalan jauh ke sana’
d) mara ‘pergi’ > unamara ‘pergi jauh ke sana’
e) na’aye ‘berenang’ > una’aye ‘berenang jauh ke sana’

10) ina
Bentuk ina memiliki makna yang menyatakan ‘tempat yang dekat’ atau ‘di/ke sini ’. Berikut disajikan beberapa contoh konstruksi yang ditemukan. Contoh:
a) mire ‘duduk’ > inamire ‘duduk dekat sini’
b) ihile ‘terbang’ > inaihile ‘terbang mendekat’
c) nate ‘berdiri’ > inanate ‘berdiri dekat-dekat’
d) lare ‘berjalan’ > inalare ‘berjalan mendekat, datang mendekat’

11) utu
Bentuk utu memiliki makna yang menyatakan ‘lebih dulu, sebelum, dan menghalangi’. Berikut disajikan beberapa contoh konstruksi yang ditemukan. Contoh:
a) raya ‘ingin meniduri pacar’ > utraya ‘mau meniduri pacar, tapi telah  didahului oleh Orang lain’
b) nuhele ‘batu untuk meringankan tugas teman’ > utnuhele ‘mendahului mengambil alih untuk meringankan tugas temannya’.
c) ruri ‘kuat’ > utruri ‘mengakui lebih dulu milik Orang lain dengan kekuatan karena merasa dirinya yang memilikinya’.
d) hire ‘bohong atau dusta’ > uthire ‘merampas milik Orang lain dengan sengaja membohonginya’.
e) kođo ‘kandang’ > utkođo ‘menyekat sebuah kandang menjadi dua atau beberapa bilik’.
f) rau ‘letak, ruang’ > utrau ‘menghalangi jalan masuk seseOrang dengan sesuatu benda’.
g) serkeđe ‘berhadapan’ > utserkeđe ‘serta merta menghalangi Orang yang sedang berhadapan dengan sesuatu benda’.

4. Bentuk jamak
Bentuk jamak dalam bahasa Oirata dinyatakan dengan empat cara. Keempat cara untuk menyatakan jamak itu terdiri atas: reduplikasi, sufiks -r(a), penyebutan angka, dan pemajemukan. Berikut diuraikan beberapa contohnya.
a) Reduplikasi
(1) le lapai ‘rumah besar’ > le-le lapai ‘rumah-rumah besar’
(2) mođOirataa ‘anak-anak’ > mođo- mođOirataa ‘anak-anak semua’
(3) nara ‘ibu-ibu’ > nara-ra ‘ibu-ibu semua’
(4) hara ‘bapak-bapak’ > hara-ra ‘bapak-bapak semua’

b) Sufiks -r(a)
(1) mođo ‘anak’ > mođOirataa ‘anak-anak’
(2) rat(a) ‘nenek moyang’ > ratara ‘nenek moyang semua’
(3) na ‘ibu’ > nara ‘ibu-ibu’


c) Penyebutan angka
(1) asa limi ‘ayam lima’ (lima ayam)
(2)  hai taanauni ‘babi sepuluh’ (sepuluh babi)
(3)  hihi ra’auni rianauni ‘kambing seratus sisa satu’ (seratus satu kambing).

d) Pemajemukan
Bentuk jamak dengan cara pemajemukan hanya dipakai dalam bahasa adat dan sangat jarang dipakai untuk kepentingan sehari-hari. Bahasa ini biasanya digunakan untuk Orang dalam atau bahasa khusus yang hanya diketahui oleh kalangan mereka. Di bawah ini beberapa
contoh pemakaiannya.
a) le ‘rumah (adat)’, natara ‘rumah’ > le-natara ‘semua rumah adat’
b) apupuru ‘kita-kita’, toutouru ‘semuanya’ > apupuru-toutouru ‘kita-kita sekalian’

e.  Kata ulang
Kata ulang dalam bahasa Oirata terdapat tiga bentuk, yakni kata ulang penuh dan kata ulang sebagian, dan kata ulang semu.
1) Kata ulang penuh
Kata ulang penuh adalah kata yang diulang secara utuh tanpa mengalami perubahan. Fungsi pengulangan kata tersebut berimplikasi pada perubahan makna. Makna yang ditimbulkan akibat pengulangan kata tersebut adalah menyatakan ‘berkali-kali’, ‘banyak’, atau ‘sangat’. Berikut beberapa kata ulang penuh yang ditemukan.
Bentuk dasar                                                      Bentuk ulang
loi ‘guling’                                                         loi-loi ‘guling-guling’
taya ‘tidur’                                                       taya-taya ‘tidur-tiduran’
mete ‘lompat’                                                   mete-mete ‘lompat-lompat’
rake ‘tengok’                                                   rake-rake ‘tengak-tengok’
yoni ‘jauh’                                                        yoni-yoni ‘jauh-jauh’
sa ‘daun jatuh’                                      sa-sa ‘banyak daun jatuh’
2) Kata ulang sebagian
Kata ulang sebagian adalah kata yang pengulangannya dilakukan tidak penuh atau hanya sebagiannya diulang. Akan tetapi, makna akibat pengulangan tersebut lebih variatif dibandingkan dengan makna kata ulang penuh.
Bentuk dasar                                      Bentuk ulang
taile ‘pelan’                                                      tail-taile ’pelan-pelan’
sirkete ‘licin’                                                    sir-sirkete ‘licin-licin’
kaisuile ‘belok’                                                kai-kaisuile ‘berbelok-belok’
iliare ‘putar’                                                     iliar-iliare ‘berputar-putar’
lare ‘berjalan’                                                  lalare ‘berjalan-jalan’
alamara ‘pergi perang’                                    almara-maran ‘tentara’
nohe ‘pagi-pagi’                                               nonohe ‘pagi-pagi buta’
maro ‘Orang’                                       mamaro ‘patung’

3) Kata ulang semu
Kata ulang semu adalah kata yang bentuknya berulang. Akan tetapi, jika bentuk itu tidak diulang maka kata tersebut tidak mempunyai makna. Kalaupun kata itu memiliki makna, maka maknanya tidak berhubungan dengan jika kata tersebut diulang. Contoh: lua ‘kera’, tetapi lua-lua ‘lipas’asa ‘ayam’, tetapi as-asa (asa-sa) ‘kupu-kupu’.
Berikut beberapa contoh kata ulang semu yang ditemukan dalam bahasa Oirata.
hoko-hoko ‘empedu’, hire-hire ‘berbohong’,
kara-kara ‘dahak’, Kele-kele ‘cincin’,
kira-kira ‘berpikir’, kiri-kiri (kir-kiri) ‘jamur’,
kita-kita ‘bendera kecil’ kui-kui ‘burung pipit’,
la’u-la’u ‘tempat tidur’, lua-lua ‘lipas’,
luku-luku ‘ngobrol’, mau-mau ‘kucing’,
no’o-no’o ‘tembuni’, rua-rua ‘pondok’,
sai-sai ‘paman dari ibu’, taya-taya ‘berbaring’,
tei-tei ‘upacara sakral’, tahi-tahi ‘kira-kira benar’, dan
wa’u-wa’u ‘ganteng’.

4) Kata Ulang berubah fonem
Kata ulang berubah fonem adalah kata ulang yang mengalami perubahan pada beberapa fonemnya. Fungsi pengulangan bentuk tersebut adalah untuk menyatakan ‘sangat’ atau ‘sekalian’. Bentuk ulang berubah fonem ini biasanya hanya dipakai dalam bahasa adat atau bahasa dalam terutama pada upacara upacara sakral. Berikut beberapa contoh yang ditemukan.
Bentuk dasar                                                  Bentuk ulang
laitara ‘kuno’,                                     laitara-haitara ‘sangat kuno’
haupupuru ‘bapak-bapak’                   naupupuru-haupupuru ‘bapak-bapak sekalian’
naupupuru ‘ibu-ibu’                             naupupuru-urenpupuru ‘ibu-ibu sekalian’
rurinupupuru ‘adik-adik’                     rurinupupuru-me’enupupuru ‘adik-adik sekalian’

5.  Kata majemuk
Bahasa Oirata memiliki kecenderungan memajemukkan setiap kata untuk memperjelas makna. Pada bahasa lain, umumnya cukup dengan sebuah kata untuk menyatakan sebuah makna, kecuali memang sangat diperlukan untuk itu. Berikut disajikan bebrapa contoh bentuk pemajemukan dalam bahasa Oirata.
Bentuk majemuk                                Makna harfiah Maksudnya
ete lausana ‘bambu tumbuh’                ‘rebung’
wata losiri ‘rambut tongkat’                 ‘jamur’
tua u’uraka ‘tuak mentah’                   ‘tuak’
unut wirana (unutu wirana)                ‘kepala terkelupas’ ‘botak’
ihar pulami ‘anjing kemaluan’ ‘kebiri’
(untuk anjing)
hai pulami ‘babi kemaluan’                  ‘kebiri’
(untuk babi)
uma eru ‘tanah cakar’              ‘kais’
(untuk ayam)
uma kaure ‘tanah gali’                         ‘gali’
(untuk manusia)
walin waye ‘telinganya pindah’             ‘mengelak’
iya nare ‘kaki tahan napas’                  ‘melompat’
ina wetke (ina wetike) ‘mata bercabang’ ‘kedip’
isa wawara ‘hati bersih/senang’            ‘bersOirataak’
isa hanate ‘hati panas’                         ‘sedih’
tana kupa huhume ‘tangan jari tiup’ ‘bersuit’
Selain itu, bentuk majemuk dapat juga membentuk makna kias.
Bentuk majemuk                                            Makna harfiah Maksudnya
na-ha (nale-hale) ‘ibu-bapak’                          ‘tuhan’
ihar laware ‘anjing hitam’                                            ‘polisi’
ihar-asa ‘anjing-burung’                                               ‘pertanda’
hele kula ‘teman gula’                                                  ‘karib’
u’ule ina ‘hijau wajah’                                      ‘tentara’
koholasa sau-saurana ‘peti menangis’                          ‘radio’
sama yalu ‘sama laki-laki’                                             ‘mandul’
ira timini ‘air panas’                                                     ‘teh’

C Ciri Sintaksis
1) Kata ganti Orang
Kata ganti Orang dalam bahasa Oirata direalisasikan dalam dua bentuk, yakni bentuk panjang dan bentuk singkat. Berikut ini beberapa kata ganti Orang yang ditemukan dalam bahasa Oirata.
No Kata Ganti Bentuk Singkat         Menyatakan Sebagai Orang ke-
1          Ante/anri A(n) ‘saya/aku’                                I-tunggal
2          Inte I(n) ‘kami’                                                I-jamak eksklusif
3          Apte /apre Ap ‘kita’                                         I-jamak inklusif
4          Ere (Ate) E ‘kamu/kau’                                    II-tunggal
5          Iu I ‘kalian’                                                      II-jamak
6          Uwe U ‘dia’                                                     III-tunggal
7          Waiye Wa ‘mereka’                                         III-jamak
Bentuk singkat biasanya dipakai sebagai kata ganti untuk menyatakan ‘milik’. Pemakaian bentuk singkat yang menyatakan ‘milik’ itu dapat dijelaskan dalam contoh berikut. Kata hala bermakna ‘kebun’. Untuk menyatakan bawa ‘kebun’ itu adalah milik Orang tertentu, maka akan direalisasikan dalam bentuk singkat sebagai berikut.
Realisasi Menyatakan
Ahala ‘kebun milik saya/ kebunku’
Inhala ‘kebun milik kami/kebun kami’
Aphala ‘kebun milik kita/kebun kita’
Ehala ‘kebun milik kau/kebunmu’
Ihala ‘kebun milik kalian/kebun kalian’
Uhala ‘kebun milik dia/kebun dia/kebunnya’
Wahala ‘kebun milik mereka/kebun mereka’

2 Kelompok kata dengan hukum MD
Kelompok kata merupakan salah satu proses pembentukan kata untuk memperkaya ranah struktur suatu bahasa. Struktur kelompok kata umumnya terdiri dari unsur yang diterangkan (D) dan unsur yang menerangkan (M). Dalam bahasa Oirata, unsur yang menerangkan (M) diposisikan atau terletak sebelum unsur yang diterangkan (D). Fenomena bahasa dengan hukum MD ini sangat dominan terjadi pada bahasa Oirata, sekaligus hal ini merupakan ciri tersendiri bahasa tersebut. Berikut ini disajikan beberapa contoh yang ditemukan.
Contoh:
a) hai ‘babi’, kođo ‘kandang’
    hai kođo ‘babi-kandang’ (kandang babi)
b) nomOiratao ‘desa’, luturu ‘tugu batas’
   nomOirata lutur ‘desa-batas’ (batas desa)
c) warata ‘barat’, he ‘musim’
    warathe ‘barat musim’ (musim barat)
d) ira ‘air’, tara ‘cabang’
    irataran ‘air cabangnya’ (aliran air yang bercabang)
e) pepele ‘busur’, taru ‘tali’
   pepeltaru ‘busur tali’ (tali busur).
Kelompok kata yang menyatakan kepemilikan dan pemiliknya disebutkan, maka konstruksinya juga mengikuti hukum MD.
Contoh:
a) Ilwali ‘nama istri’, namrai ‘suami’
   Ilwali namrai ‘Ilwali suami’(suami Ilwali)
b) Ilwaru ‘nama ibu’, mođo ‘anak’
               Ilwaru mođOirataa ‘Ilwaru anak-anak’ (anak-anak Ilwaru)
c) HOiratawata ‘nama Orang’, natara ‘rumah’
   HOiratawata natara ‘HOiratawata rumah’ (rumah HOiratawata)
d) Leweđalu Ratu HunlOiratai ‘nama suami keturunan Ratu’, tuhurai ‘istri’
   Leweđalu Ratu HunlOiratai tuhurai ‘Leweđalu Ratu HunlOiratai istri’
   (istri Leweđalu Ratu HunlOiratai)
e) Wakulono ‘nama’, tauria ‘terompet kerang untuk memanggil warga’
   Walkulono tauria ‘Walkulono terompet kerang’ (terompet kerang milik Walkulono)
6.  Postposisi
Bahasa Indonesia atau bahasa-bahasa Austronesia umumnya memiliki  struktur preposisi atau kata depan. Sebaliknya, bahasa-bahasa Papua (non- Austronesia) umumnya memiliki struktur postposisi. Bahasa Oirata sebagaimana bahasa-bahasa non Austronesia memiliki struktur postposisi. Berikut beberapa contoh dalam bahasa Oirata.
1) hala muđuna’a (hala muđu a’a).  ‘kebun dalam di’(di dalam kebun).
2) ira inana’a (ira ina a’a). ‘sumur di’(di sumur).
3) Halana’a (hala a’a), ante ali pasar marana’a (mara a’a) ‘Kebun dari, saya lagi pasar pergi ke’. (Dari kebun, saya lagi pergi ke pasar.)
Catatan: na’a (a’a) sering dihilangkan dalam konteks kalimat.

7. Tata urutan kalimat dasar Bahasa Oirata
Kalimat berita bahasa Oirata memiliki struktur dasar dengan tata urutan S, O, K mendahului Verba. Dengan demikian, struktur dasar kalimat berita bahasa Oirata dapat mengikuti pola: SV, SOV, OSV, SKOV, atau KSKOV. Berikut ini disajikan beberapa pola urutan kalimat bahasa Oirata.
Kalimat Berita
1) Antaya.
(Ante taya.)
S V
‘Saya tidur’
2) Wama’u.
(Waiye ma’u).
S V
‘Mereka datang’.
3) Apnaye mutumOiratao.
107
(Apte nale iye matu umuro.)
S V
‘Kamu punya ibu itu sudah meninggal’
(Ibumu itu sudah meninggal.)
4) Ante mu tahule.
S O V
‘Saya pisang beli’.
‘Saya beli pisang’.
5) Enaye đale tahule.
(Ere nale iye đale tahule.)
S O V
‘Kamu punya ibu itu jagung beli’.
(Ibumu itu membeli jagung).
6) Sahurakite anteme.
(Sahuraki tie ante eme.)
O S V
‘Jeruk itu saya ambil’.
7) Đaute anwau.
(Đau tie ante wau.)
O S V
‘Piring itu saya cuci’.
8) An ira inana’a nesrau hale.
(Ante ira ina a’a nesrau hale.)
S K O V
‘Saya sumur di pakaian mencuci’.
(Saya mencuci pakaian di sumur.)
9) Anhala muđuna’a haya nawa.
(Ante hala muđu a’a haya nawa.)
S K O V
‘Saya kebun dalam di mangga makan’
(Saya makan mangga di dalam kebun.)
10. Woina’a nohe anaye pasarna’a ahi tahule.
(Woina’a nohe ante nale iye pasarna’a ahi tahule.)
K S K O V
‘Kemarin pagi saya ibu itu pasar di ikan beli’.
(Kemarin pagi, ibu saya itu di pasar beli ikan.)
Kalimat Tanya
Siapa?
a) Umanta tua yamoina?
(Umantale tua yamoina?)
‘Siapa tuak memanjat?’
(Siapa yang memanjat tuak?)
b) Umanta meti marana?
(Uman tale meti marana?)
‘Siapa cari ikan pergi?’
(Siapa yang pergi cari ikan?)
c) Umanta imirena?
(Uman tale ina mirena?)
‘Siapa dekat duduk?’
(Siapa yang di sini duduk?)
d) Umanta mara hanatsurana?
(Uman tale mara hanate surana?)
‘Siapa pergi Orang sakit mengunjungi?’
(Siapa yang pergi mengunjungi Orang sakit?)
Mengapa?
a) Ina hai to atele una mirena?
‘Mengapa kamu jauh (di sana) duduk?’
(Mengapa kamu duduk di sana (jauh)?)
atau
Ate ina hai to una mirena?
‘Kamu mengapa jauh duduk?’
(Kamu mengapa duduk jauh?)
b) Ina hai to ate mara pe’ena?
‘Mengapa kamu pergi?’
atau
Ate ina hai to mara pe’ena?
‘Kamu mengapa pergi?’
c) Ina nai to ate saurena?
‘Mengapa kamu menangis?’
atau
Ate ina hai to saurena?
‘Kamu mengapa menangis?’
109
Bagaimana?
a) Ino’onhai to apte međe pe’ena?
(Ina o’onhai to apte međe pe’ena?)
‘Bagaimana kita makan?’
b) Ino’onhai to uwe tipare pe’ena?
(Ina o’onhai to uwe tipare pe’ena?)
‘Bagaimana dia lari?’
c) Ino’onhai to ante sirwisi asi pe’ena?
(Ina o’onhai to ante sirwisi asi pe’ena?)
‘Bagaimana saya dapat kerja?’
d) Ino’onhai to inte ihilele penu pe’ena?
(Ina o’onhai to inte ihilele penu pe’ena?)
‘Bagaimana kami terbang pulang?’
Apa?
a) Ina ta le kaurena?
(Ina ita le kaurena?)
‘Apa yang gonggong?’
b) Ina ta le una’a saurena?
Ina ita le una’a saurena?
‘Apa yang di sana (jauh) menangis?
c) Ina tahulena?
‘Apa beli?’
(Beli apa?)
atau
Ate ina tahulena?
‘Kamu apa beli?’
(Kamu beli apa?)
d) Ina ōyena?
Apa curi?’
(Curi apa?)
atau
Ume ina ōyena?
‘Dia apa curi?)
(Dia curi apa?)
Kapan?
110
a) Tartei uwe mara pe’ene?
‘Kapan dia pergi?’
b) Tartei na’a HOiratalewen te umana?
‘Kapan HOiratalewen itu mati?’
c) Tertei una’a hala ta pai saile pe’ena?
‘Kapan (jauh ) kebun itu kerja selesai?’
(Kapan kebun itu selasai dikerjakan?)
d) Tartei ira ina te kaure saile pe’ena?
‘Kapan sumur itu gali selesai?’
(Kapan sumur itu selesai digali?)
e) Tartei una’a natara te pai saile pe’ena?
‘Kapan (jauh) rumah itu kerja selesai?
(Kapan rumah itu selesai dikerjakan?)
Kalimat Perintah
(tekanan pada akhir kalimat)
a) Una’a đele ti kono ma’u!
‘(jauh) Jagung itu bawa datang!
(Jagung itu bawa kemari!)
b) Pana ina’a đele ti kono ma’u!
(jauh) Jagung itu bawa datang!
(Jagung itu bawa kemari!)
c) Pana ina ira ina kaure!
‘(jauh) Sumur gali!’
(Gali sumur (di sana)!)
d) Nale, pasar marā!
(Nale, pasar marana’a!)
‘Ibu, pasar pergilah!
‘Ibu, pergi ke pasarlah!
Berdasarkan sejumlah data, kalimat di ats mengindikasikan bahwa bahasa Oirata memiliki struktur kaliamat dasar dengan pola unsur-unsur S, O, K mendahului Verba. Dengan demikian, Verba atau kata kerja sebagai predikat kalimat bahasa Oirata umumnya berposisi di bagian akhir kalimat, baik pada kalimat berita, kalimat tanya, maupun kalimat perintah.
PENUTUP
            Mitologi orang oirata merupakan salah satu keunikan dan kenaekaragaman suku dan bahasa di Indonesia. Etnis oirata ini mendiami pulau kisar di wilayah  maluku barat daya. Etnis ini memiliki suatu tradisi dan bahasa yang unik. Bahasa Oirata bukan termasuk kategori kekerabatan Austronesia. Bahasa oirata memiliki ciri secara fonologis, morfologis dan sintaksis
Daftar Pustaka
Abdullah, Wakit. 2014. Etnolinguistik: Teori, Metode, dan Aplikasinya. Surakarta: UNS Press.
Alwasilah, C. A. 1987. Linguistik Suatu: Pengantar. Bandung: Angkasa Bandung.
Brubaker, R., Mara Loveman, dan Peter Stamatov. 2004. Ethnicity as Cognition. Netherlands: Kluwer Academic Publishers.
Duranti, Alessandro. 1997. Linguistic Anthropology. Cambridge: Cambridge University Press.
Fernandez, Inyo Yos. 2008. Kategori dan Ekspresi Linguistik dalam Bahasa Jawa Sebagai Cermin Kearifan Lokal Penuturnya: Kajian Etnolinguistik pada Masyarakat Petani dan Nelayan. Jogjakarta : Fakultas Ilmu Budaya UGM.
Foley, William A. 2001. Anthropological Linguistics : An Introduction. Massachusetts USA: Blackwell Publishers.
Harimurti, Kridalaksana. 1983. Kamus Linguistik. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
Ilic, Biljana Misic. 2004. Language and Culture Studies – Wonderland Through the Lnguistic Looking Glass. Serbia : English Department, Faculty of Philosophy, University of Nis.
Koentjaraningrat. 1994. Kebudayaan Jawa. Jakarta: Balai Pustaka.
Marjono. tt. Pepak Basa Jawa. Surakarta: BUDI.
Nurhasanah, Wahya, and Nani Sunarni. 2014. The Name of Six Villages at Situraja District Sumedang Regency (Etholinguistics Study). Bandung: Linguistic, Faculty of Science Culture Padjajaran University.
Nurhayati. 2010. Pengaruh Teknologi Mesin terhadap Perubahan Penggunaan Kosa Kata di Bidang Pertanian. Semarang: Fakultas Ilmu Bidaya Universitas Diponegoro.
Padmosoekotjo, S. 1958. Ngengrengan Kasusastran Djawa. Djogjakarta: Hien Hoo Sing.
Pateda, Mansoer. 1988. Linguistik (Sebuah Pengantar). Bandung: Angkasa Bandung.
Putra, Shri Ahimsa. 1997. Etnolinguistik Beberapa Bentuk Kajian. Makalah Disajikan dalam Temu Ilmiah Bahasa dan Sastra tanggal 26 hingga 27 Maret. Yogyakarta.
Rahardi, Kunjana. 2009. Bahasa Prevoir Budaya. Yogyakarta: Pinus Book Publisher.
Ramlan, M. 1987. Ilmu Bahasa Indonesia: Sintaksis. Yogyakarta: Karyono.
Sudaryanto (Ed). 1991. Tata Bahasa Baku Bahasa Jawa. Yogyakarta: Duta Wacana University Press.
Sudaryanto. 1990. Menguak Fungsi Hakiki Bahasa. Yogyakarta: Duta Wacana University Press.

Sudaryanto. 1993. Metode dan Aneka Teknik Analisis Bahasa. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.
Sukadaryanto. 2001. Ungkapan Tradisional sebagai Salah Satu Sikap Masyarakat Jawa yang Merefleksikan Nilai Pendidikan. Yogyakarta: Media Pressindo.
Verhaar, JWM. 1977. Linguistik. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.
Verhaar, JWM. 2001. Asas-Asas Linguistik Umum. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.
Verhaar, JWM. 2010. Asas-asas Linguistik. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.
Zabotkina, V. I., dan Maria N. Konnova. 2012. Cognitive Modelling of Sense Disambiguation in Polysemeus Words. Russian State Universities for the Humanities.