Selasa, 18 April 2017

Dalihan Na Tolu



DALIHAN NA TOLU

Tugas ini disusun untuk memenuhi tugas Ujian Akhir Semester
Mata Kuliah Etnolinguistik Jawa
Dosen Pembina: Dr. Inyo Yos Fernandez




 









Oleh:
Husniah Ramadhani Pulungan
NIM T111608004



PROGRAM STUDI LINGUISTIK
PASCASARJANA
UNIVERSITAS SEBELAS MARET
2017

DAFTAR ISI

DAFTAR ISI.................................................................................................       i
DAFTAR GAMBAR....................................................................................       ii
ABSTRAK ....................................................................................................       1
A. PENDAHULUAN .................................................................................. 1
B. PEMBAHASAN .....................................................................................        3
1. Istilah Dalihan na Tolu .......................................................................        3
2. Peran Dalihan na Tolu........................................................................        6
3. Refleksi Budaya Dalihan na Tolu .......................................................        11
4. Data Leksikon Dalihan na Tolu ..........................................................        24
C. SIMPULAN.............................................................................................        32
DAFTAR PUSTAKA .................................................................................. 34















DAFTAR GAMBAR


Gambar 1. Dalihan na Tolu ...........................................................................        3























Dalihan Natolu, Sistem Kekerabatan Angkola-Mandailing
(Kajian Etnolinguistik)
Oleh: Husniah Ramadhani Pulungan

Abstrak
Sistem kekerabatan masyarakat Angkola-Mandailing itu sama dengan sengan subsuku Batak lainnya, yaitu memegang erat Dalihan na Tolu, Mora, Kahanggi, Anakboru dalam bermasyarakat. Falsafah yang sudah diwariskan turun-temurun ini telah menjadi norma tidak tertulis yang tetap dijaga dan dilestarikan. Tulisan kali ini memaparkan Dalihan na Tolu mulai dari maknanya, peranannya, refleksi budayanya, sampai dengan data leksikon yang ditemukan sangat kaya dan sangat menarik untuk dianalisis lebih mendalam. Dari bahasa terdeskripsikanlah suatu budaya yang luhur. Suku Batak (termasuk Angkola-Mandailing) pada umumnya sangat menjaga hubungan kekeluargaan dengan martarombo, menelusuri asal-usul, menjaga tutur, dan sangat santun dalam menjaga kekerabatan. Dengan demikian, tulisan ini akan menambah bangunan teoretis dari kajian etnolinguistik sebagai warisan budaya negara yang sangat perlu untuk dilestarikan.
Kata kunci: Dalihan na Tolu, Sintem kekerabatan, Angkola-Mandailing, Etnolinguistik

A. Pendahuluan
            Masyarakat Batak pada umumnya memegang sistem kekerabatan Dalihan na Tolu, termasuk juga dengan masyarakat Angkola-Mandailing yang wilayahnya juga sangat berdekatan. Berdasarkan penelitian Harahap (2004:34) telah ditemukan bahwa nilai kekerabatan bagi masyarakat Angkola-Mandailing sebesar 201 atau 35,59% dari 568 angka frekuensi. Analisis yang dilakukan Harahap adalah dengan menggunakan kata-kata atau istilah yang mengandung nilai budaya kekerabatan yang disusun menurut aturan frekuensi.
Pada umumnya, kerabat terdiri dari keluarga batih (ayah, ibu, dan anak-anak), kakek, nenek, saudara ayah, dan saudara ibu. Namun pada sebenarnya anggota kerabat orang Angkola-Mandailing lebih luas daripada kekerabatan yang diikat oleh hubungan darah. Kemungkinan besar, kekerabatan sejenis ini terjadi karena adanya sistem kekerabatan Dalihan na Tolu yang dapat membuka hubungan kekerabatan dengan keluarga lain di luar ikatan darah karena terjadinya pernikahan.
Kekerabatan seperti ini tidak hanya terbatas pada ikatan pernikahan dengan orang Angkola-Mandailing saja. Namun, pada kenyataannya perkawinan dengan suku bangsa lain juga dapat membuka hubungan kekerabatan yang dijabarkan sesuai dengan Dalihan na Tolu. Dengan demikian, setiap orang Angkola-Mandailing adalah keluarga besar, baik disebabkan oleh ikatan darah, ikatan perkawinan, maupun ikatan marga yang dapat ditelusuri dengan martarombo silsilah marga.
Tulisan kali ini akan memaparkan Dalihan na Tolu sebagai sistem kekerabatan masyarakat Angkola-Mandailing yang merupakan salah satu nilai budaya yang masih dilestarikan sampai sekarang. Hasil pemaparan ini akan menambah bangunan teoretis kajian etnolinguistik khususnya budaya masyarakat Angkola-Mandailing. Adapun hal-hal yang akan dipaparkan nanti berupa, istilah, peran, data leksikon, dan refleksi budaya masyarakat Angkola-Mandailing yang tercermin dari Dalihan na Tolu.

B. Pembahasan
            Berikut akan dideskripsikan hal-hal yang berkaitan dengan Dalihan na Tolu yang akan membuka wawasan budaya nusantara dan menjadi salah satu kekayaan  bangsa.
1. Istilah Dalihan Natolu
Istilah Dalihan na Tolu menurut Managor (1995:79-81) merupakan struktur  sosial masyarakat Batak, termasuk Angkola-Mandailing, yang terdiri dari tiga kelompok yang disebut Dalihan na Tolu yang berarti tiga tungku. Tiang tungku tiga dianggap cukup mantap dan kuat untuk meletakkan panci atau alat-alat memasak lainnya di atasnya.
Gambar 1. Dalihan na Tolu

Hal ini berarti bahwa yang dimaksud menurut Ompunta Narobian untuk membangun kehidupan itu perlu tiga kelompok yang satu sama lain topang-menopang, yaitu: Kahanggi, Anakboru, dan Mora.
Kahanggi adalah satu kelompok seketurunan atau semarga. Kalau ada yang berlainan marga, karena pareban dan pamere dimasukkan ke dalamnya yang disebut kelompok kahanggi pareban. Anakboru adalah kelompok lain marga yang mengambil anak kita (perempuan), saudara kita (perempuan), dan saudara bapak kita (perempuan), dan sebagainya. Dapat juga dikatakan bahwa anakboru adalah semua keluarga dari pihak yang mengambil boru dari pihak kita. Sedangkan mora adalah kelompok lain marga yang memberi boru kepada pihak kita sekahanggi, atau pihak saudara laki-laki dari parumaen (menantu), istri dari ibu. Jelasnya, mora adalah pihak yang memberi boru kepada pihak kita.
Adapun istilah partuturon dalam Dalihan na Tolu dapat dilihat sebagai berikut.
a. Kahanggi terdiri dari: anak, saudara laki-laki, bapak, uda, amangtua, dan lain-lain.
b. Anakboru terdiri dari: semua kelompok bere, lae, amangboru, dan sebagainya.
c. Mora terdiri dari: semua kelompok tunggane, tulang, dan seterusnya.
Sebetulnya masih ada dua kelompok lagi, yakni pisang raut dan mora ni mora.
d. Pisangraut adalah anakboru dari anakboru kita.
e. Mora ni Mora adalah keluarga tempat pengambilan boru dari mora kita.
Hanya saja karena unsur dari Dalihan na Tolu itu kahanggi, anakboru, mora terus berputar, berotasi, dan berganti-ganti, maka pisangraut berulang kembali, jika tidak kahanggi tersebut bisa menjadi mora kita. Demikian pula halnya dengan mora ni mora, bisa kahanggi atau anakboru kita, sehingga pisangraut digabung dalam kelompok pihak anakboru dan mora ni mora ke dalam pihak mora. Karena itu Dalihan na Tolu tetap terpelihara.
Selanjutnya, Alam (1977:4-5) menjelaskan susunan masyarakat dalam Dalihan na Tolu yaitu:
a. Dimulai dari satu keluarga menjadi suku (marga).
b. Dimulai dari satu keluarga menjadi satu hasuhuton (satohapan/sahatobangon).
c. Dimulai dari satu keluarga menjadi satu pangupaan (sapangupaan).
d. Dimulai dari satu keluarga menjadi satu kampung terus menjadi satu kampung-luat-daerah (disebut kuria setelah Belanda datang).
Hubungan adat dihubungkan dengan mengutamakan rasa kekeluargaan sesuai dengan pertalian Dalihan na Tolu, erat dengan renggangnya hubungan anggota masyarakat itu ditentukan dari hubungan kekeluargaan dengan sesame anggota masyarakat. Kemudian, semua anggota masyarakat adat berdasarkan hubungan darah, sehingga hak kemargaan dengan hak kewarisan didasarkan pada eratnya hubungan darah Bapak. Dengan demikian, yang mengatur peradatan dimulai dari Raja yang menjadi uluan (pimpinan), Orang Kaya yang menjadi sekretaris dan pengelpasi hata (juru pengantar kata), Harajaon yang menjadi wakil keturunan raja-raja, Hatobangon yang menjadi wakil anggota masyarakat adat ni kampung, dan hulubalang yang menjadi penjaga atau pengawal untuk keamanan masyarakat kampung. 

2. Peran Dalihan Natolu
        Masih menurut Managor (1995: 81-85), Ompunta Narobian menganggap Daliha na Tolu lebih mantap dari Dalihan na Lima. Supaya mantap, ketiga dalihan (tungku) itu harus sama tinggi. Demikian juga dengan unsur Dalihan na Tolu juga harus sama besar dan sama tinggi. Mora tidak lebih besar atau lebih tinggi dari anakboru. Kahanggi tidak lebih besar dan lebih tinggi dari anakboru dan mora. Dewasa ini banyak orang menganggap mora lebih tinggi dari anakboru. Hal ini disebabkan kurangnya pemahaman arti sesungguhnya dari adat yang ditinggalkan Ompunta Narobian. Namun bisa juga karena salah mengartikan pepatah yang mengikat ketiga unsur dalam Dalihan na Tolu. Pepatah itu akan dipaparkan sebagai berikut.
“Hormat Marmora, elek maranakboru, dan manatmanat markahanggi.”



        Penjelasan dari pepatah di atas, terdiri dari:
a. Hormat Marmora
        Perkataan hormat diterjemahkan dengan arti hormat dalam kamus. Seorang bawahan harus menghormati atasannya. Hormat kepada atasan boleh, misalnya kita angkat tangan, memberi salam, dan sebagainya. Jika dibuat seperti itu terhadap mora dalam menerjemahkan hormat marmora, maka hal ini sangat janggal/tidak tepat. Pengertian hormat marmora lebih cenderung pada pengertian bersopan santun terhadap mora. Kita tidak boleh berbicara sembarangan terhadap mora. Kalimat-kalimat harus diatur dengan baik, tidak menyinggung, tidak menimbulkan marah, dan tidak boleh menghina mora. Apalagi kesalahannya tidak boleh dicari-cari.
        Mengenai hubungan antara anakboru terhadap mora, ada pepatah yang mendidik seseorang sebagai berikut.
        Mataniari na so gakgahon
        Liang na so tungkiron
        Dapdap na so dahapon
Pepatah di atas berarti anakboru tidak boleh melawan moranya. Jika dilanggar akan menimbulkan kekacauan dalam rumah tangga. Sebab siapapun orangnya akan sayang kepada orangtuanya. Mora adalah orangtua dari istri, sehingga itu berarti menyakiti istri. Lebih baik kita membesarkan mereka, mora (orangtua istri) supaya timbul kasih sayang istri kepada kita. Untuk menimbulkan kasih sayang itulah yang diajarkan Ompunta Narobian maka ditinggalkannya warisan pepatah tersebut kepada keturunannya.
        Dengan demikian, menghormati mora berarti usaha menimbulkan kasih sayang dalam rumah tangga sendiri, selanjutnya akan menimbulkan kerukunan dan kebahagiaan dalam perkawinan. Jika kita tidak menghormati mora, Ompunta Narobian mengatakan:
Lambang eme dohot sir ape burburon
Pepatah ini berarti rezeki menjauh maka akan timbul hal-hal percekcokan dalam rumah tangga yang tidak diketahui sebab musababnya, karena sedikit saja salah sudah menjadi besar.
b. Elek maranakboru
        Elek maranakboru artinya elek dan laok di sini tidak sama dengan membujuk apalagi merayu, tetapi lebih cenderung pada kepada bijaksana. Bijaksana terhadap anakboru itulah pengertian yang paling mengena walaupun masih terasa kurang pas. Bahasa Angkola-Mandailing lebih kaya dari bahasa Indonesia, karena itu banyak leksikon yang tidak bisa diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia. Sebab, jika salah menerjemahkan, maka hubungan mora dan anakboru sekarang ini menjadi frustrasi. Anakboru merasa lebih rendah dari mora dan mora merasa lebih tinggi dari anakborunya sehingga seenaknya saja menyuruh anakborunya.
        Ompunta Narobian telah meninggalkan ajaran tentang sopan santun dan tugas anakboru terhadap mora yaitu:
            Tukkot di na landit
            Sulu-sulu di na golap
            Sihorus na lobi
            Sitamba na hurang
Dengan berpedoman pada pepatah:
            Manaek ulu dohot do supping manaek
Maksudnya adalah sopan santun dan tugas terhadap mora di atas dilaksanakan setulus hati. Anakboru menjadi tongkat kepada mora kalau mora dalam bahaya. Anakboru menjadi pelita kalau mora dalam keadaan susah dan siluluton. Sewaktu horja siluluton maupun horja siriaon, anakboru menyingsingkan lengan baju agar horja terlaksana baik supaya mora jangan malu. Malu mora harus dirasakan anakboru juga malunya. Kalau umpamanya ada kekurangan biaya horja anakboru harus berani menanggulanginya. Sebaliknya, kalau ada kelebihan ataupun keuntungan membela mora tersebut adalah merupakan bagian dari anakboru. 
Mora harus tahu semua tugas anakboru tersebut, sehingga bagaimana membalas tugas dari anakboru itulah yang perlu dibalas oleh mora. Kebijaksanaan membalas inilah yang dimaksud elek maranakboru. Jangan sampai anakboru kesal karena sudah habis-habisan membela mora, tetapi tetap tidak mendapat tanggapan dari mora, atau dianggap tidak berarti. Sebaliknya, anakboru tidak boleh mengharapkan upah atau imbalan dari karyanya membela mora. Memang tidak pantas mengharapkan upah dan imbalan seperti itu, sebab upah dan imbalan bersangkutan dengan bisnis, yang segala sesuatunya telah dibicarakan terlebih dahulu.
Sedang tugas membesarkan mora datang dari hati yang tulus ikhlas untuk mencari kasih sayang dari istri dan pihak mora. Kasih sayang yang dicari anakboru harus dibayar dengan kasih sayang. Kebaikan hati harus dibayar dengan kebaikan hati. Dengan demikian, barulah tercipta hubungan yang diharapkan Ompunta Narobian. Kasih sayang mencari kasih sayang, mengikat kekeluargaan. Holong manjalak holong, holong manjalak domu. Ikatan kekeluargaan antara anakboru dan mora tercipta.
c. Manatmanat markahanggi
Manatmanat artinya berhati-hati. Berhati-hatilah terhadap saudara kita laki-laki. Bukan berhati-hati untuk dihindari, tetapi berhati-hati dalam hubungan jangan sampai timbul percekcokan.
            Pira manuk do na pasitik.
Artinya adalah karena kita hidup berdekatan sehari-hari dan berkomunikasi   terus-menerus, pasti akan akan terjadi perbedaan pendapat yang menimbulkan perkelahian. Masalah yang besar dengan kahanggi harus diperkecil dan yang kecil harus dihilangkan. Sifat maaf-memaafkan harus dipertebal dengan kahanggi. Pepatah mengatakan:
      Na markahanggi songon tampulon aek.
Artinya adalah yang berkahanggi, walaupun berkelahi, dipotong, atau dipisahkan akan tetap bersatu, seperti air yang dipotong. Begitulah hubungan antara anakboru, mora, dan kahanggi dalam Dalihan na Tolu tersebut. Satu sama lain saling mengikat dengan tugas dan kewajiban yang berbeda-beda. Tetapi semuanya menjurus menciptakan kasih sayang. Kasih sayang yang mengikat kekeluargaan pada unsur  kelompok Dalihan na Tolu tersebut.

3. Refleksi Budaya Dalihan na Tolu
        Sekilas telah disinggung bahwa masyarakat Angkola-Mandailing sangat suka martarombo. Selain itu mengetahui seseorang itu harus dipanggil dengan tuturan apa, posisinya dalam Dalihan na Tolu, juga untuk mengetahui marganya apa. Di samping ikatan perkawinan, Dalihan na Tolu juga tidak terlepas dari marga. Agar menambah pemahaman mengenai refleksi budaya Dalihan na Tolu ini, maka berikut akan dipaparkan secara terperinci.
a. Marga
Managor (1995: 86-91) mengemukakan bahwa marga adalah pengelompokan masyarakat Batak (dalam hal ini Angkola-Mandailing) yang bertujuan untuk mengatur perkawinan. Hal ini dilakukan agar keturunan itu bertambah baik. Ompunta Narobian juga ternyata ahli di bidang ilmu genetika. Ahli genetika dunia yang terkenal adalah Gregori Mendel, orang Israel. Kebenaran teorinya telah diakui ahli-ahli dunia. Masyarakat Angkola-Mandailing, ribuan tahun yang lalu, sebelum teori Mendel muncul telah melaksanakannya dalam perkawinan. Untuk menghindarkan agar jangan terjadi perkawinan seketurunan, mereka membuat masyarakat berkelompok dalam marga. Satu keturunan sekelompok marga hingga berkelompok-kelompok.
Adat masyarakat Angkola-Mandailing yang patrilineal berdasarkan garis keturunan ayah, berperan mengatur pengelompokan ini. Kemudian, Patik-Patik ni Paradaton melarang tidak boleh kawin satu kelompok marga. Sebab kawin dengan satu kelompok marga berarti kawin dengan satu keturunan. Apabila terjadi kawin seketurunan yang dikenal dengan istilah kawin semarga, maka orang itu melanggar Patik ni paradaton. Orang itu harus dikenakan sanksi hokum, diusir dari kampong atau memotong kerbau untuk menjamu penduduk kampong tersebut. Sesudah itu, masalah kawin semarga tadi dianggap selesai.
Keputusan sanksi hukum yang diambil ditentukan oleh sidang adat terlebih dahulu. Pangkancing Pamoldas ni Huta itulah yang menjadi anggota sidang adat yang dibuat, seperti: Namora Natoras/Hatobangon, Suhu Adat/Ahli Adat, Orang Kaya, dan Raja ni Huta. Merekalah yang menentukan berat ringannya hukuman. Bisa saja terjadi sanksi hukum terhadap suatu kesalahan seperti pelanggaran kawin semarga, berberda, walaupun di kampung itu juga. Umpamanya hukuman waktu yang lalu, orang yang melakukan pelanggaran diusir dari kampung. Kemudian, kesalahan yang sama cukup dengan memotong kerbau dan mengakui telah berbuat salah sewaktu makan bersama. Keputusan tergantung dari anggota yang hadir pada sidang adat saat itu. Anggota sidang adat yang hadir boleh berubah-ubah/berganti-ganti asal dia diakui sebagai mewakili Hatobangon, Orang kaya, Raja ni Huta, dan lain-lain. Keputusan sidang adat yang berbeda inipun tidak salah menurut adat. Sebab keputusan tertinggi adalah hasil musyawarah. Keputusan boleh berubah-ubah seperti bingkai induri dan rotan bisa bengkok sedikit-sedikit. Karena yang diutamakan adalah kedamaian yang terbit-adat.
Persoalan marga perlu mendapat perhatian yang serius dari sekarang karena permasalahannya sudah terlampau besar. Pantas dipecah supaya orang-orang agar jangan melanggar adat kawin semarga. Tiap marga sudah lebih dari tujuh generasi belum dipecah. Walaupun sudah terpecah menjadi beberapa ranting/cabang, tetapi belum ada horja kesepakatan resmi boleh kawin-mengawini. Misalnya:
1)      Hasibuan berpecah menjadi                  Hasibuan Botung
                                                                  Hasibuan Harayan
                                                                  Hasibuan Binongar
                                                                  Hasibuan Dasopang
2)      Harahap berpecah menjadi                   Harahap Sidangkal
                                                                  Harahap Mompang
3) Siregar berpecah menjadi                       Siregar Salak
                                                                  Siregar Pahu
                                                                  Siregar Siagian
                                                                  Siregar Sormin
                                                                  Siregar Dongoran
                                                                  Siregar Baumi
                                                                  Ritonga
                                                                  Dan lain-lain
4) Lubis berpecah menjadi              Lubis si Langkitang
                                                                  Lubis si Baitang
5) Nasution berpecah menjadi                     Nasution Sibaroar
                                                                  Nasution Borotan
                                                                  Nasution Padang Garugur
                                                                  Nasution Jambu
                                                                  Nasution Manggis
                                                                  Nasution Lancat
                                                                  Nasution Joring
                                                                  Nasution Tanga Hambeng
                                                                  Nasution Mangintir

6. Rangkuti berpecah menjadi                     Rangkuti
                                                                  Parinduri
7. Dan sebagainya.
   Marga-marga tersebut sudah berpecah umumnya di atas tujuh generasi. Tujuh sundut suada mara, jadi sudah boleh kawin mengawini. Menurut hukum Mendel juga sudah boleh, karena sudah banyak bercampur. Saran Manigor alangkah baiknya kalau diadakan sidang adat secara menyeluruh untuk memutuskan secara resmi setiap ranting tersebut sudah boleh kawin mengawini. Tujuan utamanya supaya orang jangan melanggar adat; merusak adat yang disebut kawin semarga. Hal ini hanya sekedar saran Manigor demi memelihara adat ni Ompunta Narobian  yang begitu baik, maka jangan dirusak-rusak.  Adat Batak (dalam hal ini Angkola-Mandailing) menggugah timbulnya kasih sayang sebagai fitrah manusia. Hanya dengan kasih sayang maka kehidupan ini dapat terpelihara.
b. Marga Menunjukkan Identitas
         Marga menunjukkan beberapa identitas seseorang, hal ini akan dijelaskan sebagai berikut.
1)   Identitas Keturunan
Umumnya marga bisa menjadi penunjuk identitas, misalnya jika disebut marga Hasibuan maka tidak diragukan lagi mereka mereka yang bermarga Hasibuan satu keturunan. Satu kelompok satu keturunan. Di sini, marga berfungsi sebagai identitas suatu kelompok seasal-usul seketurunan.
Ajaran Hapantunon yang diwariskan Ompunta Narobian menyatakan bahwa tidak sopan menyebut nama seseorang kalau dia lebih tua atau pangkatnya lebih tinggi. Karena itu, setiap orang Angkola-Mandailing merasa tersinggung apabila seseorang yang lebih muda dari dia memanggil namanya di depan orang banyak. Anak yang memanggil nama orang yang lebih tua dari dia itupun ditegur dan dituduh tidak mengetahui sopan santun, tidak mengetahui adat. Dalam Hapantunon telah ada istilah tutur untuk memanggil seseorang yaitu: abang, angkang, amangboru, tulang, dan sebagainya.
Pada partuturon inipun ada tingkatannya, ada aturan pemakaiannya. Misalnya bere dan amangboru itu sama, tetapi kepada yang lebih tua atau orang yang dihormati harus dipakai amangboru. Begitulah tutur yang digunakan dalam masyarakat Angkola-Mandailing. Sayangnya, pada saat bergaul dengan orang luat lain suku, mereka tidak terbiasa dengan martutur, sehingga orang Angkola-Mandailing yang biasa merantau untuk menghindarkan perasaan tersinggung tersebut menyembunyikan namanya dan menonjolkan marga. Seperti penulis yang bernama Ir. L. P. Hasibuan, identitas dirinya adalah Lompo Pangihutan disingkat dengan L. P. saja dan yang ditonjolkan marganya, yaitu Hasibuan.
2)   Identitas Asal Kampung
Untuk mengenal kampung asal; marga juga dipakai sebagai pengelompokan dari kampung tersebut sekaligus pengelompokan seketurunan, misalnya:
a) Lumbantobing berasal dari kampung yang terletak di pinggir tebing di daerah Silindung.
b) Hutagaol berasal dari kampung yang banyak pisang (gaol ‘pisang’).
c) Hutajulu berasal dari kampung sebelah hulu sungai, dan sebagainya.
3)   Identitas Nenek Moyang
Untuk mengenang nenek moyang yang dianggap bertuah, mereka memakai marga dari nenek moyang tersebut. Misalnya marga Hasibuan, nenek moyang mereka bernama Raja Hasibuan.
4)   Identitas Mengenang Tuah Nenek Moyang
Nasution berasal dari perkataan na sakti on artinya orang yang bertuah ini, sehingga untuk mengenang nenek moyang bertuah itu mereka memakai marga nasution dengan harapan tuah nenek-moyang sampai kepada keturunannya.
5)   Identitas Mengenang Kesetiaan
Parmata Sapihak adalah nenek moyang kita marga Daulae. Ibu Parmata Sapihak dan istrinya meurut cerita marga Hasibuan adalah namboru dan saudara perempuan Ompu Soduguron. Ompu Soduguron adalah nenek moyang marga Hasibuan yang datang mencari tanah ke Tapanuli Selatan dari Tapanuli Utara, bersama-sama dengan Parmata Sapihak. Jadi, Parmata Sapihak dan Ompu Soduguron berlae bertunggane karena mereka berdua memimpin rombongan yang mendapat daerah subur di Barumun. Karena itu, Ompu Soduguron menyuruh laenya Parmata Sapihak mendirikan kerajaan di sebelah hilir sungai Barumun. Mengingat perkembangan manusia, maka dimintalah Parmata Sapihak mengambil tanah itu jauh ke hilir, dalam bahasa Batak Dao Lae. Kemudian, Parmata Sapihak mengambil tanah di sebelah hilir, teteapi kemudian pindah ke Lubuk Simarbuaya dekat Lubuk Botung tempat tungganenya Ompu Soduguron. Begitu ceritanya yang tertinggal, sebagai kenangan adalah Dao Lae menjadi marga Daulae.
Keturunan Parmata Sapihak yang tertinggal di tanah Batak Utara ataupun di Lobu Batara Guru membuat marga mereka Matondang. Hal ini karena kampung mereka bernama Matondang. Ada juga yang membuat marganya Batubara, berasal kata Datu Dara,sebab Datu Dara Datu Bonggur Niaji. Mereka lebih terkesan akan kedatuan nenek moyang mereka itu, maka dibuatlah marga mereka menjadi marga Batubara. Jadi Matondang, Batubara, dan Daulae berasal dari satu keturunan Ompu Parmata Sapihak. Cuma bedanya kalau marga Daulae berarti keturunan Ompu Parmata Sapihak yang sudah pernah tinggal di daerah Barumun, yang nenek moyangnya sempat dibawa Ompu Parmata Sapihak ke Barumun.
Demikian riwayat timbulnya asal nama marga tersebut, namun maksud dan tujuan utama adalah untuk memperbaiki bibit keturunan sehubungan dengan ilmu genetika. Karena itu refleksi budaya Dalihan na Tolu yang tercermin dari bahasa masyarakat Angkola-Mandailing sangat bernilai luhur dan sangat penting untuk dilestarikan.
c. Nilai Budaya
Adapun nilai budaya yang terkandung dalam kekerabatan Dalihan na Tolu menurut Harahap (2004:35) adalah:
1)      Lungun = rindu
2)      Holong = kasih sayang
3)      Anak = anak laki-laki
4)      Boru = anak perempuan
5)      Sahata saoloan = seia sekata
6)      Marsisarian = tolong-menolong
7)      Sobar = sabar; tabah
8)      Mora = Unsur Dalihan na Tolu  pihak pengambil istri
9)      Anak boru = Unsur Dalihan na Tolu pihak pengambil istri
10)  Inang = ibu
11)  Namboru = Saudara perempuan ayah; ibu suami
12)  Tulang = saudara laki-laki ibu; ayah istri
13)  Anak ni namboru = putra saudara perempuan ayah
14)  Boru ni tulang = putri saudara laki-laki ibu
15)  Amang = ayah
16)  Babere = Anak saudara perempuan; menantu laki-laki
17)  Martandang = bertandang; pergaulan muda-mudi
18)  Marbagas = menikah
19)  Pamrih
20)  Na toras = ayah dan ibu (orangtua)
21)  Na poso/Nau uli bulung = muda mudi
22)  Marga/tutur = panggilan kekerabatan
23)  Pantis = diplomatis
24)  Kahanggi = unsur Dalihan na Tolu pihak ego
25)  Pisang rahut = unsur Dalihan na Tolu, anak boru dari anak boru
26)  Ompung =kakek; nenek
27)  Pahompu = cucu
28)  Hatobangon = cerdik pandai; tokoh masyarakat
29)  Sirang = cerai, berpisah
Dalam pergaulan sehari-hari, baik dalam kalangan kerabat maupun dengan masyarakat pada umumnya, orang Angkola-Mandailing memiliki tiga gaya bicara yang khas sebagai ciri khas bagi wilayah tempat tinggalnya. Orang Mandailing dikenal bergaya bicara pantis, berbicara lemah lembut dan lantunan lagu kalimat yang merdu membujuk. Mereka berbicara dengan gaya yang diplomatis, kadang-kadang tidak langsung pada pokok masalah. Secara ekstrim orang luar Mandailing memberi kesan terhadap gaya bicara ini sukar ditangkap maknanya, kurang tegas. Untuk mengatakan “tidak” misalnya, dinyatakan dengan penjelasan-penjelasan yang menggambarkan makna “tidak” itu. Nada suara mereka rendah ketika berbicara, tidak lantang. Keadaan ini mungkin disebabkan lembah Mandailing yang subur, banyak ditumbuhi pohon, sehingga tidak perlu bersuara keras ketika sedang berbicara.
Sementara itu, orang Angkola bergaya bicara laok, cepat akrab dengan menggunakan tutur kekerabatan, terus-terang, cepat lebur dalam citra kebersamaan. Berbeda dengan langgam bicara orang Mandailing yang mengucapkan semua huruf setiap kata yang diucapkannya, orang Angkola tidak demikian. Sebagai contoh, orang Angkola melafaskan huruf sengau yang diikuti huruf mati berubah menjadi dua huruf mati, misalnya: angkang, nantulang, ompung, namboru, amangtua, uncok masing-masing dilafaskannya menjadi: akkang, nattulang, oppugn, nabboru, amattua, uccok. Bahkan dalam tulisan, orang Angkola menuliskan kata-kata serupa itu sesuai dengan lafas mereka. Volume suara orang Angkola lebih besar dibandingkan dengan suara orang Mandailing, karena lingkungan Angkola lebih terbuka, berangin, bergunung-gunung.
Gaya berbicara ketiga adalah purpur yang dimiliki orang Padang Bolak Raya, wilayah dataran tinggi, bergunung, berangin dan padang yang luas. Volume suara mereka lebih besar dari volume suara orang Angkola. Mereka berbicara lantang, tegas, dan terbuka. Suasana Padang Bolak Raya itu sebagian digambarkan di dalam ungkapan ini:
Padang Bolak na manyalese, na tubuan balangka dohot game-game.
Sora ni haba-haba markusesek, angkon marsijouan do anso tarbege.
Mereka suka berbicara tentang hal-hal yang hebat, humor, dan anekdot. Sebagaimana halnya dengan orang Angkola, orang Padang Bolak Raya terus ke Barumun Raya cepat akrab melalui partuturon yang langsung menentukan hubungan kekerabatan.
Tiga langgam bicara ini, pantis, laok, dan purpur, merupakan ciri khas orang Angkola-Mandailing yang memperkaya khazanah nilai kekerabatan di kalangan mereka. Wilayah Mandailing dipisahkan oleh dinding alam gugus Bukit Barisan dengan wilayah Angkola, Padang Bolak Raya, dan Barumun Raya. Streotip timbul di kalanan mereka karena kurangnya frekuensi hubungan di antara mereka dari wilayah yang berbeda itu. Streotip itu bukanlah hal yang serius karena biasanya hanya sekedar cerita-cerita humor dan anekdot.
Dua unsur utama nilai kekerabatan, lungun dan holong, merupakan bukti adanya ikatan kekeluargaan yang kuat di antara para kerabat dari wilayah yang luas itu. Lungun dan holong ini merupakan modal utama untuk memelihara kestabilan dan kehangatan hubungan kekerabatan di kalangan orang       Angkola-Mandailing.
Ada kecenderungan kalangan terpelajar dan elit masyarakat Angkola mencari calon istri ke Mandailing. Hal ini didorong oleh penampilan gadis-gadis  Mandailing yang lemah lembut, alim, dan keibuan. Menurut mereka sifat-sifat itu sangat penting dalam membina dan mendidik anak-anak serta menimbulkan suasana nyaman di dalam keluarga.
Anak, baik laki-laki maupun perempuan merupakan harta yang paling mahal bagi orang Angkola-Mandailing. Apabila dua orang setengah baya bertemu setelah berpisah dalam jangka waktu yang lama, atau pada perkenalan pertama, maka dalam dialog pertama mereka terdengar saling bertanya tentang   anak-anak mereka. Bila mereka sudah berusia lanjut, maka pertanyaan dan cerita di kalangan mereka adalah tentang cucu.
Selanjutnya, berikut adalah beberapa ungkapan tradisional tentang anak dan boru.
                        Bargot na marijuk
                        Singkoru di roba-roba
                        Sai tubu nian anak na bisuk
                        Dohot boru na marroha

                        Ditalpok dangka ni singkoru
                        Ditampul dangka ni simartulan
                        Dung adong anak dohot boru
                        Sai martamba ma sinadongan

                        Martinjak di Angkola
                        Ganop bingkas mangonai
                        Na ringgas nian on sikola
                        Tu dongan na pogos marpanaili

                        Sai mardoter, mardotur asa mardotor
                        Sai gabe mester, insinyur, sanga doctor
                        Na marguna tu bangso dohot Negara
                        Marguna tu koum sisolkot dohot agama

                        Laklak dohot singkoru
                        Sira di abal-abal

                        Anak dohot boru
                        I do harta na bonggal

        Lima ungkapan itu memberi gambaran betapa orang Angkola-Mandailing memandang anak sebagai harta termahal. Harta kekayaan diidam-idamkan setelah memiliki putra dan putri. Dengan perkataan lain, seorang yang kaya raya tetapi tidak mempunyai anak, dalam pandangan orang Angkola-Mandailing orang yang memiliki kekayaan melimpah itu adalah orang miskin. Anak yang diidam-idamkan adalah anak yang beragama, berilmu, arif, penuh pengertian, suka menolong, berguna bagi nusa, bangsa, dan agama. Untuk mencapai idaman itu orangtua Angkola-Mandailing bekerja keras walau hidup bersakit-sakit supaya anak-anaknya bersekolah.

4. Data Leksikon Dalihan na Tolu
        Data leksikon yang akan dipaparkan kali ini di antaranya data leksikon yang telah diteliti oleh Harahap (2004:34-39) yang akan dikemukakan sebagai berikut.
Istilah kekerabatan/Dalihan na Tolu (data leksikon) merupakan jalur penghubung yang menguatkan ikatan kekerabatan orang Angkola-Mandailing. Puluhan istilah kekerabatan orang Angkola-Mandailing yang telah dianalisis oleh Harahap, yaitu:
1)      Amang adalah tutur anak laki-laki dan perempuan. Amang juga boleh diucapkan kepada seorang tua laki-laki pada saat berkenalan sebelum martarombo. Misalnya, “Ahado marga ni amang?” artinya “Apa marga Bapak?”.
2)      Amang boru adalah suami dari saudara perempuan ayah kita. Amang boru juga tutur perempuan yang sudah menikah kepada ayah suaminya, mertua laki-laki. Saudara laki-laki dari perempuan yang sudah menikah itu pun juga menyapa mertua laki-laki saudara perempuannya itu dengan amang boru.
3)      Amang menek adalah tutur seorang ibu kepada anak laki-laki dari anak perempuan dari anak perempuannya.
4)      Amang mulak adalah ayah dari kakek kita dari pihak ayah dengan perkataan lain, ayah dari ayah dari ayah kita, atau kakek dari ayah kita.
5)      Amang na Poso adalah tutur perempuan kepada anak laki-laki dari saudara laki-lakinya.
6)      Amang na Poso Mulak adalah sapaan perempuan kepada cucu laki-laki dari anak laki-laki amang na poso.
7)      Amang Tobang adalah sapaan laki-laki dan perempuan kepada suami dari kakak ibu mereka. Sapaan ini juga adalah sapaan kita kepada ayah dari kakek kita.
8)      Amang Tua adalah sapaan kepada abang ayah kita.
9)      Amang Uda adalah tutur kepada adik ayah kita.
10)  Anak adalah sapaan bagi anak laki-laki.
11)  Anak Mulak adalah kebalikan amang mulak. Jadi, kita (laki-laki) adalah anak mulak bagi ayah dari kakek kita dari pihak ayah.
12)  Anak Tobang  adalah tutur kebalikan dari amang tobang.
13)  Anggi adalah sapaan kepada saudara yang lebih muda sesame laki-laki atau sesame perempuan. Anggi juga merupakan sapaan kakek atau nenek kepada cucunya.
14)  Angkang adalah sapaan kepada saudara yang lebih tua sesame laki-laki atau sesame perempuan. Tutur ini juga dipakai untuk menyapa istri angkang kita.
15)  Angkang Mulak adalah kata sapaan kita kepada anak perempuan dari kakek ayah kita.
16)  Apak Ketek adalah suami dari adik perempuan ibu kita. Tutur ini sama artinya dengan amang menek.
17)  Apak Tuo adalah suami dari kakak ibu kita. Tutur ini juga merupakan istilah kekerabatan Minangkabau yang sering diterjemahkan menjadi apak tobang. Apak tuo juga termasuk di dalam kelompok kahanggi pareban dalam istilah kekerabatan Dalihan na Tolu.
18)  Bayo adalah tutur timbal balik antara anakboru laki-laki dan mora perempuan. Hubungan orang-orang yang terikat dengan jaringan kekerabatan ompung bayo disebut juga na marbaso. Komunikasi antar na marbaso sangat formal dan terbatas dengan pilihan kata-kata yang tepat dan jelas, sehingga tidak dapat diartikan lain. Jika mereka berdialog, maka sapaan mereka timbal balik adalah halak ompung. Tidak ada suasana bercanda di antara mereka. Kadar rasa malu di antara merekapun sangat tinggi. Ketika mereka berdialog, mereka saling menyapa dengan kata ompung atau halak ompung ialah kata lain dari ompung bayo. Istilah kekerabatan bayo atau ompung bayo yang berlaku secara timbal balik. Tetapi dalam dialog antara anakboru perempuan dengan mora perempuan dalam pembicaraan tentang anakboru laki-laki (suami dari anakboru perempuan itu), anakboru perempuan menyebut suaminya sebagai bayo dari mora perempuan. Contohnya:
Kakak kita : “Pandokkon ni bayomu inda ro ia sadari on.”
Istri kita      : “Giot tudia lakna halak ompung?”
Tokoh bayo dan halak ompung pada dialog di atas adalah orang yang sama.
19)  Bere adalah sapaan seorang laki-laki kepada anak laki-laki dan anak perempuan dari saudara perempuannya Tutur ini juga diucapkan oleh mertua laki-laki dan mertua perempuan kepada suami anak perempua  mereka.
20)  Bere Mulak adalah tutur laki-laki kepada anak laki-laki dan anak perempuan dari saudara perempuan kakeknya (ayah dari ayahnya). Tutur ini juga diucapkan oleh seorang ibu kepada amang boru dari suaminya.
21)  Boru adalah istilah kekerabatan untuk anak perempuan.
22)  Boru Mulak adalah sapaan yang diucapkan oelh seorang perempuan dari saudara perempuan kakeknya (ayah dari ayahnya).
23)  Boru Tulang adalah tutur yang diucapkan oleh laki-laki dan perempuan kepada anak perempuan dari saudara laki-laki ibu mereka.
24)  Boru Tulang Halalango adalah tutur seorang laki-laki kepada anak perempuan dari anak laki-laki dari saudara laki-laki ibu dari ibunya.
25)  Bou adalah sapaan kepada saudara perempuan ayah. Tutur ini juga merupakan sapaan seorang ibu kepada ibunda suaminya. Istilah kekerabatan ini merupakan bentuk singkat dari inang boru dan namboru. Artinya, tokoh ini sesungguhnya adalah inang karena ia adalah saudara perempuan ayah, tetapi juga sebagai boru karena ia adalah anak perempuan kakek (ayah dari ayah).
26)  Bou Mulak adalah sapaan laki-laki kepada cucu perempuan dari anak laki-laki dari saudara perempuan ayah kakek kita dari pihak ayah.
27)  Bujing adalah adik perempuan ibu.
28)  Eda adalah tutur timbal balik antara istri dan saudara perempuan suaminya.
29)  Etek sama dengan bujing. Tutur ini merupakan pengaruh dari tutur kekerabatan Minangkabau pada tutur kekerabatan Angkola-Mandailing.
30)  Hela adalah sapaan mertua laki-laki kepada suami anak perempuannya. Bandingkan dengan bere.
31)  Iboto adalah tutur timbal balik antara saudara laki-laki dan saudara perempuan ito.
32)  Iboto Mulak adalah tutur timbal balik antara kakek dari sebelah ayah dengan anak perempuan dari anaknya yang laki-laki. Atau dengan perkataan lain, antara kakek dan cucu perempuan (anak perempuan dari anak laki-laki).
33)  Iboto Pamere adalah tutur timbal balik antara saudara sepupu kandung, yaitu anak laki-laki dan anak perempuan dari  dua atau lebih ibu yang bersaudara kandung.
34)  Inang adalah tutur anak laki-laki kepada ibunya dan tutur timbal balik antara ibu dan anak perempuannya. Tutur ini juga diucapkan secara timbal balik antara seorang istri dan saudara perempuan dari ayah suaminya.
35)  Inang Boru sama dengan Bou.
36)  Inang Boru Mulak sama dengan Bou Mulak.
37)  Inang Bujing sama dengan Nambujing dan Etek.
38)  Inang Mulak adalah tutur amang boru kepada menantu perempuan dan tutur timbal balik antara namboru suami dan istrinya, sama dengan Inang.
39)  Inang Tobang sering disingkat menjadi tobang adalah sapaan anak      laki-laki dan perempuan kepada kakak perempuan ibu mereka. Sapaan yang sama kepada nenek ibu mereka (ibu dari ibu dari ibu).
40)  Inang Tua adalah tutur kepada istri amangtua, biasa juga disingkat menjadi mantua.
41)  Inang Tulang biasanya disingkat menjadi nantulang, sapaan kepada istri dari saudara laki-laki ibu (laki-laki dan perempuan), dan ibu dari istri.
42)  Inang Tulang Mulak biasanya disingkat menjadi nantulang mulak ialah tutur amang boru suami kepada istri suami tersebut, atau tutur kita    (laki-laki dan perempuan) kepada istri dari cucu laki-laki dari saudara laki-laki ibu kita.
43)  Inang Uda biasa disingkat menjadi nanguda ialah tutur kepada istri dari adik laki-laki.
44)  Ipar Uda adalah tutur kepada saudara laki-laki istrinya, sama dengan tunggane.
45)  Kahanggi adalah kerabat semarga dalam Dalihan na Tolu.
46)  Lae adalah tutur laki-laki kepada suami dari saudara perempuannya, kebalikan dari sapaan ipar.
47)  Mora adalah seluruh saudara kandung laki-laki kerabat istri yaitu saudara laki-laki, ayah, paman, kakeknya, atau kerabat semarga dari istri. Mora adalah satu di antara tiga unsur Dalihan na Tolu.
48)  Namboru lihat bou.
49)  Namboru Mulak lihat bou mulak.
50)  Nanguda adalah istri dari adik laki-laki ayah.
51)  Nantulang adalah sapaan kepada istri saudara laki-laki itu.
52)  Nantulang Mulak adalah sapaan amang boru kepada istri dari amang na poso.
53)  Ompung adalah kakek dan nenek yaitu orangtua ayah dan ibu. Ompung laki-laki sering disebut ompung halaklahi sedangkan ompung perempuan disebut ompung dadaboru atau ompung boru. Adapula  yang menyebut ompung halaklahi sebagai ompung godang dan ompung dadaboru sebagao ompung menek artinya ompung besar dan ompung kecil. Dalam kehidupan sehari-hari ada yang menyebut ompung halaklahi hanya dengan ompung dan ompung dadaboru sebagai nenek. Cukup menarik diungkapkan suatu kebiasaan yang tidak membedakan gender para ompung dengan menyapa keduanya dalam dialog sebagai nenek dengan membedakan keduanya menjadi nenek godang atau nenek tuan untuk ompung halaklahi dan nenek menek untuk ompung dadaboru. Sebenarnya di dalam jaringan kekeluargaan Dalihan na Tolu ada perbedaan posisi ompung dari pihak ayah dan ompung dari pihak ibu. Ompung dari pihak ibu termasuk di dalam kelompok mora, sedangkan ompung dari pihak ayah termasuk dalam kelompok kahanggi. Itu sebabnya orangtua ayah yaitu kakek dan nenek disebut ompung suhut. Ada lagi sapaan ompung dongan  ialah sapaan seorang laki-laki kepada anak perempuan saudara perempuan ayahnya dan sebaliknya, sapaan seorang perempuan kepada anak laki-laki dari saudara laki-laki ibunya. Ada lagi sapaan ompung mulak ialah sapaan kepada kakek dari kakek dari pihak ayah. Sapaan ompung mulak juga berlaku antara laki-laki keturunan pisang rahut dan keturunan mora ni mora dalam kekerabatan Dalihan na Tolu. Banyaknya sapaan yang memakai kata ompung memberi isyarat bahwa tokoh ompung  di dalam tatanan masyarakat. Dalihan na Tolu memegang berbagai peranan penting.
54)  Ompung boru sama dengan ompung.
55)  Ompung dongan sama dengan ompung.
56)  Ompung halaklahi  sama dengan ompung.
57)  Ompung mulak sama dengan ompung.
58)  Ompung suhut sama dengan ompung.
59)  Pahompu adalah cucu.
60)  Pahompu dongan adalah cucu dari ompung dongan.
61)  Pahompu mulak sama dengan ompung mulak.
62)  Pareban adalah tutur kerabat sesame laki-laki yang istrinya bersaudara kandung.
63)  Pisang rahut adalah anak boru dari anak boru.
64)  Tulang adalah sapaan anak laki-laki dan perempuan kepada saudara      laki-laki ibu mereka. Sapaan ini juga berlaku bagi menantu laki-laki kepada mertua laki-laki. Ada istilah yang sama maknanya dengan tulang ialah mamak. Sapaan ini merupakan adopsi dari istilah kekerabatan Minangkabau.
65)  Tulang mulak adalah sapaan laki-laki dan perempuan kepada tulang kakeknya.
66)  Tulang na Poso adalah sapaan amang boru kepada cucu laki-laki tulangnya.
67)  Tunggane adalah saudara laki-laki istri.

C. Simpulan
     Berdasarkan pemaparan di atas, maka dapat disimpulkan bahwa masyarakat Batak pada umumnya memegang sistem kekerabatan Dalihan na Tolu, termasuk juga dengan masyarakat Angkola-Mandailing yang wilayahnya juga sangat berdekatan. Kekerabatan sejenis ini terjadi karena adanya sistem kekerabatan Dalihan na Tolu yang dapat membuka hubungan kekerabatan dengan keluarga lain di luar ikatan darah karena terjadinya pernikahan. Adapun istilah partuturon dalam Dalihan na Tolu terdiri dari: Kahanggi (anak, saudara laki-laki, bapak, uda, amangtua, dan lain-lain), Anakboru (semua kelompok bere, lae, amangboru, dan sebagainya), Mora (semua kelompok tunggane, tulang, dan seterusnya). Sebetulnya masih ada dua kelompok lagi, yakni pisang raut dan mora ni mora. Pisangraut adalah anakboru dari anakboru kita. Mora ni Mora adalah keluarga tempat pengambilan boru dari mora kita. Tujuan utama memahami Dalihan na Tolu supaya orang jangan melanggar adat; merusak adat yang salah satunya disebut dengan kawin semarga. Hal ini dilakukan demi memelihara adat ni Ompunta Narobian  yang begitu baik, maka jangan dirusak-rusak. Karena adat Batak (dalam hal ini Angkola-Mandailing) menggugah timbulnya kasih sayang sebagai fitrah manusia. Hanya dengan kasih sayang maka kehidupan ini dapat terpelihara. Di samping itu, dengan mengetahui asal nama marga untuk memperbaiki bibit keturunan sehubungan dengan ilmu genetika. Karena itu refleksi budaya Dalihan na Tolu yang tercermin dari bahasa masyarakat Angkola-Mandailing sangat bernilai luhur dan sangat penting untuk dilestarikan. Dengan demikian, data leksikon yang ditemukan dalam nilai budaya Dalihan na Tolu  menjadi warisan normatif yang menjadi kekayaan budaya nusantara dan dapat membuat kehidupan yang lebih baik bagi orang Angkola-Mandailing, khususnya, dan menjadi wawasan bagi orang suku di luar Angkola-Mandailing pada umumnya. Semoga bermanfaat bagi kebaikan seluruh suku di wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia.

DAFTAR PUSTAKA

Harahap, Basyral Hamidi. 2004. Siala Sampagul. Pemerintah Kota Padangsidimpuan: Padangsidimpuan.
Managor, Sutan. 1995. Pastak-Pastak ni Paradaton Masyarakat Tapanuli Selatan. CV. Media Medan: Medan.
Alam, Sutan Tinggibarani Perkasa. 1977. Burangir na Hombang. Padangsidimpuan.
Sumber dari Website:



Tidak ada komentar:

Posting Komentar