Reog Ponorogo
Oleh Diyah Atiek Mustikawati
Pendahuluan
Ponorogo
adalah daerah kabupaten yang secara geografis berada di barat daya Provinsi
Jawa Timur, berbatasan dengan Provinsi Jawa Tengah, diapit gunung Lawu dan
gunung Wilis. Di sebelah Utara Ponorogo, terdapat kabupaten Madiun, Magetan,
dan Nganjuk. Di sebelah Timur terdapat kabupaten Trenggalek dan Tulungagung. Di
sebelah Selatan, ada kabupaten Pacitan; dan di sebelah Barat terdapat kabupaten
Wonogiri dan Pacitanu (BPS Kabupaten Ponorogo, 2012).
Ponorogo
didirikan tahun 1486 oleh Raden Katong (Bupati I) yang masih keturunan Raja
Brawijaya V. Ponorogo sebelum diperintah Raden Katong merupakan kademangan Wengker
dengan raja Klana Sewandana dan patih Klana Wijaya yang dikenal sangat sakti.
Setelah kerajaan Wengker dikalahkan Airlangga sejarah kerajaan Wengker selesai.
Selang dua ratus tahun berdirilah kademangan Bantarangin didirikan
keturunan Klana Wijaya yaitu Ki Ageng Kutu Suryangalam yang dikenal sakti tiada
tanding.
Ponorogo secara etimologi berasal dari
dua kata, yaitu “Pramana” dan “Raga”. Kata Pramana berarti kekuatan, rahasia
hidup, sedangkan “Raga” berarti badan, jasmani. Dari penjabaran tersebut dapat
di tafsirkan bahwa dibalik badan manusia tersimpan suatu rahasia hidup (wadi)
berupa olah batin yang mantap dan mapan berkaitan dengan pengedalian nafsu
manusia yang memang harus dikendalikan dengan sebaik-baiknya, yakni meliputi
sifat-sifat amarah, lawwamah, shufiyah dan muthmainah. Manusia
yang memiliki kemampuan olah batin yang mantap dan mapan akan mampu menempatkan
diri dimanapun dan kapanpun berada. (Sidi Galzaba, 1962: 233). Sedangkan
masyarakat yang mendiami kabupaten Ponorogo ini dikenal sebagai Etnik Jawa
Panaragan. Etnik ini merupakan salah
satu etnik di Jawa Timur bagian barat yang menempati wilayah disebelah barat
gunung Wilis dan sebelah timur gunung Lawu. Tepatnya kabupaten Ponorogo. Etnik
Panaragan memiliki kesenian tradisional peninggalan nenek moyang sejak pada zaman
dahulu, kesenian ini sampai sekarang tetap lestari, yakni reyog.
Reyog
dalam perjalanannya memngalami suatu dinamika yang dapat dikatakan pesat. Hal
ini dibuktikan dengan eksistensi seni Reyog yang hingga saat ini masih terjaga
kelestariannya. Mengingat beberapa tahun yang silam tepatnya tahun 2007, ada
upaya penjiplakan dan pengakuan Reyog sebagai kesenian di negara tetangga.
Namun, hingga saat ini pertunjukan reyog baik secara formal maupun non formal
masih selalu mewarnai dalam setiap agenda kegiatan masyarakat Ponorogo. Salah satu upaya untuk menjaga kelestarian
seni Reyog tersebut, pada makalah ini akan disampaikan hal ihwal tentang seni
Reyog dimulai dari perspektif historis, mitologi yang mengeliligi keberadaan
Reyog, dan simbol serta karakter pada kesenian Reyog. Selanjutnya juga akan
dipaparkan tentang perkembangan seni Reyog yang terdiri dari beberapa model.
Pembahasan
A. Reyog Ditinjau dari
beberapa perspektif historis
Salah satu ciri khas seni budaya Kabupaten
Ponorogo Jawa Timur adalah kesenian Reog Ponorogo. Reog, sering
diidentikkan dengan dunia hitam, preman atau jagoan serta tak lepas pula dari dunia
mistis dan kekuatan supranatural. Reog mempertontonkan keperkasaan pembarong
dalam mengangkat dadak merak seberat sekitar 50 kilogram dengan kekuatan
gigitan gigi sepanjang pertunjukan berlangsung. Instrumen pengiringnya, kempul,
ketuk, kenong, genggam, ketipung, angklung dan terutama salompret, menyuarakan
nada slendro dan pelog yang memunculkan atmosfir mistis, unik, eksotis serta
membangkitkan semangat. Satu group Reog biasanya terdiri dari seorang
Warok Tua, sejumlah warok muda, pembarong dan penari Bujang Ganong dan Prabu
Kelono Suwandono. Jumlah kelompok reog berkisar antara 20 hingga 30-an orang,
peran utama berada pada tangan warok dan pembarongnya.
Seorang pembarong, harus memiliki kekuatan ekstra. Dia
harus mempunyai kekuatan rahang yang baik, untuk menahan dengan gigitannya
beban “Dadak Merak” yakni sebentuk kepala harimau dihiasi ratusan helai
bulu-bulu burung merak setinggi dua meter yang beratnya bisa mencapai 50-an
kilogram selama masa pertunjukan. Konon kekuatan gaib sering dipakai pembarong
untuk menambah kekuatan ekstra ini, salah satunya dengan cara memakai susuk, di
leher pembarong. Untuk menjadi pembarong tidak cukup hanya dengan tubuh yang
kuat. Seorang pembarong pun harus dilengkapi dengan sesuatu yang disebut
kalangan pembarong dengan wahyu yang diyakini para pembarong sebagai sesuatu
yang amat penting dalam hidup mereka. Tanpa diberkati wahyu, tarian yang
ditampilkan seorang pembarong tidak akan tampak luwes dan enak untuk ditonton.
Namun demikian persepsi misitis pembarong kini digeser dan lebih banyak
dilakukan dengan pendekatan rasional. Menurut seorang sesepuh Reog, Mbah
Wo Kucing “Reog itu nggak perlu ndadi. Kalau ndadi itu ya namanya bukan
reog, itu jathilan. Dalam reog, yang perlu kan keindahannya“.
Apabila kita merunut tentang
historis adanya kesenian reyog, ada beberapa versi cerita yang diyakini
sebagaimana asal usul terciptanya seni reyog tersebut.
Versi yang pertama, Reog mengacu pada beberapa babad, Salah
satunya adalah babad Kelana Sewandana. Babad Klana Sewandana yang konon
merupakan pakem asli seni pertunjukan reog. Mirip kisah Bandung Bondowoso dalam
legenda Lara Jongrang, Babad Klono Sewondono juga berkisah tentang cinta
seorang raja, Sewondono dari Kerajaan Jenggala, yang hampir ditolak oleh Dewi
Sanggalangit dari Kerajaan Kediri. Sang putri meminta Sewondono untuk memboyong
seluruh isi hutan ke istana sebagai mas kawin. Demi memenuhi permintaan sang
putri, Sewandono harus mengalahkan penunggu hutan, Singa Barong (dadak merak).
Namun hal tersebut tentu saja tidak mudah. Para warok, prajurit, dan patih dari
Jenggala pun menjadi korban. Bersenjatakan cemeti pusaka Samandiman, Sewondono
turun sendiri ke gelanggang dan mengalahkan Singobarong. Pertunjukan reog
digambarkan dengan tarian para prajurit yang tak cuma didominasi para pria
tetapi juga wanita, gerak bringasan para warok, serta gagah dan gebyar kostum
Sewandana, sang raja pencari cinta.
Versi ini merupakan versi dari
masyarakat kulon kali yang meyakini reyog sebagai bebana (syarat)
Raja Klanasuwandana ketika ingin meminang Dewi Sangalangit dari Kerajaan Lodaya
Kediri. Raja Klanasuwandana merupakan seorang raja dari kerajaan Bantarangin
yang diduga kuat oleh masyarakat lokasi berada di Kauman Somoroto. Dugaan kuat
tersebut, didukung dengan berbagai temuan arkeologis. Salah satu temuan yang
menarik adalah adanya sebuah bekas bangunan berupa batu batu di tengah sawah
yang menyerupai benteng yang kemudian tempat tersebut dinamakan dusun Seboto
karena terdapat batu bata kuno dan sekarang tempat tersebut dibangun monumen
Bantarangin.
Versi yang kedua, Reog dimanfaatkan sebagai sarana mengumpulkan massa dan merupakan saluran
komunikasi yang efektif bagi penguasa pada waktu itu. Ki Ageng Mirah kemudian
membuat cerita legendaris mengenai Kerajaan Bantaranangin yang oleh sebagian
besar masyarakat Ponorogo dipercaya sebagai sejarah. Adipati Batorokatong
yang beragama Islam juga memanfaatkan barongan ini untuk menyebarkan agama
Islam. Nama Singa Barongan kemudian diubah menjadi Reog, yang berasal dari kata
Riyoqun, yang berarti khusnul khatimah yang bermakna walaupun sepanjang
hidupnya bergelimang dosa, namun bila akhirnya sadar dan bertaqwa kepada Allah,
maka surga jaminannya. Selanjutnya kesenian reog terus berkembang seiring
dengan perkembangan zaman. Kisah reog terus menyadur cerita ciptaan Ki Ageng
Mirah yang diteruskan mulut ke mulut, dari generasi ke generasi.
Menurut legenda Reog atau Barongan bermula dari kisah Demang Ki Ageng Kutu
Suryonggalan yang ingin menyindir Raja Majapahit, Prabu Brawijaya V. Sang Prabu
pada waktu itu sering tidak memenuhi kewajibannya karena terlalu dipengaruhi
dan dikendalikan oleh sang permaisuri. Oleh karena itu dibuatlah barongan yang
terbuat dari kulit macan gembong (harimau Jawa) yang ditunggangi burung merak.
Sang prabu dilambangkan sebagai harimau sedangkan merak yang menungganginya
melambangkan sang permaisuri. Selain itu agar sindirannya tersebut aman, Ki
Ageng melindunginya dengan pasukan terlatih yang diperkuat dengan jajaran para
warok yang sakti mandraguna. Di masa kekuasaan Adipati Batorokatong yang
memerintah Ponorogo sekitar 500 tahun lalu, reog mulai berkembang menjadi
kesenian rakyat. Pendamping Adipati yang bernama Ki Ageng Mirah menggunakan
reog untuk mengembangkan kekuasaannya.
B. Mitos yang Mengelilingi
Seni Reyog
Reyog adalah seni tradisional di Jawa
yang sudah ada sejak lama dan pada umumnya selalu dikaitkan dengan hal hal yang
berbau mistis. Apalagi penyelenggaraannya juga sebagian dikaitkan dengan
kegiatan yang berbau mitos dan magi. Peursen (1988: 50) menyatakan bahwa dalam
kehidupan masyarakat primitif magi memainkan peranan besar. Perbuatan-perbuatan
magis dan mantera-mantera itu bagi yang bersangkuatan sering tidak ada hubungan
erat dengan alam gaib. Bila kita membandingkan mitos religious dengan praktek
magi, nampaklah perbedaan besar mengenai apa yang ditekankan. Bila diperhatikan
dengan seksama biasanya ada beberapa mitos yang mengelilingi keberadaan Seni
Reyog Ponorogo, yaitu:
1.
Bersih Desa
Bersih
desa adalah kegiatan masyarakat pada suatu desa tertentu yang dilakukan setiap tahun
sekali pada waktu tertentu yang diyakini menjadi waktu berdirinya desa tersebut
dan kegiatan tersebut bersifat ritual keagamaan dan seni budaya. Bersih desa
adalah sebuah acara untuk menangkal kekuatan “jahat” yang diyakini akan
menggangu desa tersebut. Kekuatan jahat yang dimaksud adalah kekuatan mistis
yang dikhawatirkan bisa menimbulkan ketidaknyamanan dan ketidaktentraman
masyarakat desa. Bentuk ketidaknyamanan dan ketidaktentraman masyarakat
berbentuk penyakit massal yang mematikan atau berupa kejahatan yang tidak
diinginkan masyarakat. Bersih desa diharapkan bisa mencegah datangnya itu
semua.
Di
Kabupaten Ponorogo kegiatan tersebut diadakan di hampir setiap desa yang ada. Masyarakat
menyelenggarakan kegiatan tersebut biasanya nanggap wayang orang, wayang
krucil, tayub atau pagelaran seni reyog selain menyelenggarakan kenduri di masjid
atau punden. Geertz (1989: 32) menambahkan Punden adalah tempat yang diyakini
sebagai pertanda dimana orang pertama kali datang di desa tersebut yang biasanya
juga disebut sebagai danyangan. Tempat itu biasanya dijadikan makam leluhur
tertua atau ditandai dengan adanya pohon besar dan tua. Setiap desa biasanya mempunyai
satu danyangan. Biasanya pohon beringin atau jatii yang berusia ratusan tahun.
Bahkan di beberapa temppat pohon itu sudah tidak ada karena sudah roboh dan tinggal
akar tuanya yang sudah dimakan rayap. Namun demikian biasanya tempat tersebut
dikeramatkan warga dan diberi sesaji pada saat tertentu sesuai dengan keinginan
warga. Reyog adalah salah satu kesenian yang diminati warga untuk ditampilkan
dalam acara bersih desa, selain tarifnya relatif murah juga karena sebagai
simbol kemenangan melawan sebuah kekuatan. Reyog adalah sendratari yang
mengisahkan perjuangan Prabu Klonosewandono dari kerajaan Bantarangin melawan
Singobarong, penguasa hutan ketika raja tersebut melamar putri dewi
Songgolangit dari kerajaan Kediri.
Dalam
peperangan atau perkelahian tersebut prabu Klonosewandono mendapatkan kemenangannya.
Dalam acara bersih desa biasanya seni reyog yang didukung oleh sekitar 30
sampai dengan 50 orang akan berjalan mengelilingi, kirab, desa dan diikuti
anak-anak kecil
atau
dewasa yang menyukai. Sebelum melakukan kegiatannya biasanya pimpinan unit kesenian
reyog (warok) secara terbuka atau tertutup melakukkan upacara ritual adat dengan
membakar kemenyan dengan maksud agar acara kirab reyog berjalan dengan lancar. Menurut Cahyo, peneliti reyog, sering
mendapati kejadian tersebut ketika ia secara sengaja mengikuti jalannya atraksi
reyog obyok yang diminta dalam acara bersih desa.
Pada
prakteknya acara kirab sering terganggu dengan adanya perilaku “aneh” salah satu
unsur dari group reyog yang mengalami kesurupan. Biasanya yang mengalami kesurupan
adalah jathil (penari kuda kepang), bujang ganong atau krew yang lain. Menurut Paul Stange (1998:41), secara harfiah
kesurupan mempunyai arti “kemasukan” dan “ndadi” yang berarti tidak sekedar tak
sadarkan diri, melainkan benar-benar “kemasukan” atau “menjadi”.
Biasanya pula pimpinan unit kesenian reyog bisa mengatasi hal ini dengan
hitungan detik. Sebagaimana layaknya pimpinan unit kesenian reyog (warok) yang
lain, ia akan mengoleskan ibu jarinya ke jidat orang yang mengalami kesurupan
tersebut, maka dengan hitungan detik orang tersebut tersadar kembali.
2.
Warok Sakti
Sudah
menjadi pengetahuan umum masyarakat Ponorogo, bahkan Indonesia, bahwa seorang
warok adalah seseorang yang mempunyai kekuatan supranatural melebihi masyarakat
biasa atau sering disebut kesaktian. Bukan tanpa alasan kalau para warok sering
disebut demikian karena beberapa warok juga melakukan kegiatan melakukan pengobatan,
peramalan, dan melakukan kegiatan yang secara fisik tidak mampu dialakukan oleh
orang pada umumnya diantaranya adalah memanggul dadhak merak dalam seni reyog
ponorogo dengan mengandalkan pada kekuatan gigi dan lehernya.
Sementara
itu berat dari dadhak merak bisa mencapai 40 sampai dengan 60 kg bila tidak
kena hembusan angin. Satu aksi yang hampir tidak mungkin dilakukan oleh orang
biasa yang tidak mempunyai keahlian khusus. Bahkan kadang seorang warok pembarong
harus memanggul dadhak merak yang sedang memanggul dadhak merak beserta
pembarong lain pula yang bisa ditaksir mencapai berat kurang lebih 150 kg.
Para
pembarong (Simatupang, 2013) dalam acara tersebut biasanya menunjukkan kekuatan
fisiknya dengan menghempaskan keras-keras dadhak merak ke depan, ke belakang ,
memutar konstruksi topeng macan yang dihiasi kipas raksasa dipenuhi bulu merak
seakan “menyapu” penonton yang merubungnya dan atraksi-atraksi otot lainnya.
Nampaknya
hal ini pula yang menjadikan para warok (Harsono, 2005) disegani masyarakat
Ponorogo pada umumnya dan menempati status sosial yang baik di masyarakat. Dalam
acara atraksi seni reyog obyog kadang salah satu kru pendukung kesenian ini mengalami
kesurupan. Bila terjadi hal yang seperti ini maka biasanya pemimpin unit kesenian
(warok) melakukan pengobatan pada kru yang mengalami kesurupan tersebut. Dalam
hitungan detik maka kru tersebut akan mendapatkan kesadarannya kembali. Hal inilah
yang diyakini masyarakat Ponorogo bahwa warok dianggap mempunyai kemampuan
supranatural yang tinggi.
3.
Kulit macan bertuah
Sebagian
masyarakat Ponorogo masih meyakini bahwa dadhak merak yang dilapisi dengan
kulit macan asli mempunyai tuah khusus yang akan sangat berpengaruh langsung
pada para warok pembarong yang sedang beratraksi baik di panggung festival maupun
di reyog obyok. Masyarakat meyakini bahwa para pembarong yang menggunakan kulit
macan asli akan berperilaku lebih agresif dibandingkan dengan yang tidak
menggunakan kulit macan asli karena sekarang sudah banyak dadhak merak yang
menggunakan kulit dari lembu. Kuatnya mitos ini menjadikan para pembarong
merasa kurang percaya diri bila memainkan dadhak merak yang tidak menggunakan
kulit macan asli. Mitos ini kuat menghinggapi para pembarong senior, sementara
tidak begitu kuat di kalangan pembarong yang lebih muda. Nampaknya hal ini pula
yang mempengaruhi masih kuatnya permintaan pembelian dadhak merak dari kulit
macan asli pada para pengrajin dibandingkan dari bahan substitusi baik dari
kulit lembu maupun dari kain. Banyak pula warok yang meyakini bahwa kulit
harimau mempunyai kekuatan magis tertentu yang berpengaruh pada para warok
tersebut. Peursen (1988: 51) menegaskan bahwa magi adalah kekuatan yang bisa
menguasai pihak lain yang bersifat “imanen” melalui kepandaian tertentu. Bahkan
pengakuan dari seorang pengrajin reyog (warok K) menyatakan ia sering mengalami
situasi yang mistis ketika ia sedang merendam kulit macan yang akan ia siapkan
jadi pembungkus barongan sebagai topeng dari
dadhak
merak. Lebih dari itu, ia mengakui bahwa ia bisa membedakan antara antara barongan
yang dibungkus dengan kulit macan dan dari bahan lain dengan tanpa meraba barongan
yang ia kenakan. Ia bisa merasakan kekuatan “energy” dari kulit itu walau ia tidak
bisa menjelaskan hubungan sebab dan akibat dari kejadian tersebut. Bahkan ia bisa
membedakan “energy” kulit macan yang digunakan sebagai pembungkus barongan
tersebut. Ia mengaku bahwa macan Tutul mempunyai “energi” yang lebih besar
daripada macan Loreng Sumatra. Efek dari penggunaan kulit macan Tutul sebagai
pembungkus barongan adalah si pembarong bisa memainkan barongan dengan lebih
lincah dan atraktif.
Sebagai
seorang mantan pembarong, ia juga menceritakan bahwa barongan yang dibungkus
dengan kulit lembu tidak mempunyai efek mistis karena kulit lembu tidak bisa disotrekne
diisi dengan dengan kekuatan ghaib. Ketika pembarong menggunakan dadhak
merak yang barongannya dari kulit lembu maka pembarong seperti “bekerja” sendiri
ketika ia memainkan dadhak merak. Efek dari itu adalah pembrong merasa sangat
berat dan mudah merasa lelah. Sebaliknya bila barongan dibungkus dari kulit macan
maka si pembarong ketika memainkan barongan maka ia merasakan ada kekuatan
ghaib yang membantu.
C. Simbol Dan Karakter
Pada Kesenian Reyog
Pertama,
klasifikasi simbol berbentuk warna.Warna dalam
kesenian reyog memiliki arti penting sebagai simbol kebudayaan. Warna tersebut
utamanya terdapat dalam pakaian seniman reyog Ponorogo yang didominasi oleh
empat warna yaitu Hitam, merah, kuning, dan putih. Warna menjadi lebih bermakna
ketika di ketahui arti simbol oleh penganutnya, layaknya sebuah warna dalam
rambu-rambu lalu lintas yang menyimpan sebuah tanda berhenti untuk merah, hati-hati
untuk kuning dan berjalan untuk hijau. Maka warna dalam kesenian reyog memiliki
makna yang berkaitan dengan nafsu yang berada dalam diri manusia yaitu putih
sebagai nafsu muthmainah, merah sebagai nafsu amarah, hitam sebagai nafsu
alawamah dan kuning sebagai nafsu supiyah.
Dari
perspektif karakter warna dalam tarian makna dari keempat warna tersebut mempunyai
arti pengendalian diri manusia dari nafsu yang berhubungan dengan nilai-nilai spiritual
sebagai pedoman tingkah laku manusia. Makna karakter warna dalam pakaian reyog melambangkan
makna sebagai berikut: merah memiliki makna karakter heroik, hitam sebagai
lambang
sifat berani, tenang dan berisi, warna putih dilandasi dengan niat suci dan
warna kuning berarti mempunyai cita-cita kebahagiaan yang hakiki.
Kedua,
klasifikasi simbol berbentuk alat musik. Alat musik tradisional yang terdapat dalam
kesenian reyog tidak bisa dipisahkan dengan kesenian reyog. Alat musik tersebut
berperan vital dalam pagelaran sebagai penyemangat dan iringan gerak laku
tarian. Adapun alat musik tradisional reyog yang telah dibakukan oleh
Pemerintah Ponorogo antara lain:
·
Kendang yang
dimaknai sebagai Qoda’a yang berarti rem yang artinya sebagai pengendalian diri
manusia. Kendang tersebut ketika di tabuh berbunyi dang, dang, dang yang
artinya segeralah dalam berbuat kebaikan.
·
Ketipung yang
dikaitkan dengan katifun yang berarti balasan artinya setiap perbuatan besar
atau kecil pasti ada balasan. Hal tersebut sesuai dengan firman Allah dalam
suratAl Zalzalah 7-8 yang berbunyi barangsiapa mengerjakan kebaikan seberat
zarrah, niscaya dia akan melihat balasannya. Maka barang siapa yang mengerjakan
kejahayan seberan zarrah, niscaya dia akan melihat balasannya.
·
Kenong, dimaknai
dari bahasa arab Qona’a yang berarti menerima takdir artinya segala sesuatu
usaha yang telah dilakukan oleh manusia, Allah yang menentukan dan sebagai
seorang hamba dianjurkan bersabar terhadap segala ketentuan Allah. Kenong juga
memiliki irama bunyi Nang, ning, nong, nung. Nang berarti ana, ning berarti
bening (jernih), nong berarti plong(mengerti), dan nung
berarti dumunung (sadar). Maksudnya setelah manusia ada lalu
berfikir dengan jernih dengan hati yang bening maka dapat mengerti sehingga dumunung
(sadar) bahwa keberadaannya tentu ada yang menciptakan yaitu Sang Maha
pencipta Allah SWT.
·
Kethuk, dari
bahasa Arab Kothok yang artinya banyak salah dan lupa. Oleh karena itu, kita
selalu diingatkat untuk selalu bertobat. Kethuk, megeluarkan bunyi irama thuk
artinya manthuk (setuju atau cocok).
·
Trompet, yang
berasal dari bahasa Arab Shuwurun artinya peringatan. Yang memiliki makna
peringatan bahwa besok ada hari kebangkitan. Oleh karena itu berbuat baik dalam
laku kehidupan sebagai modal bekal alam yang kekal.
·
Seruling artinya
eling (ingat). Ingat kepada yang menjadikan hidup. Ingat bahwa hidup di dunia
tidaklah lama. Ingat bahwa ada hari kekal dan bahagia hanya dapat dicapai dengan
amal ibadah sebanyak-banyaknya.Sak beja-bejane wong kang lali, isih bejo
wong kang iling lan waspada.
·
Angklung dari
bahasa Arab Anqul artinya peralihan, pindah atau beralih dari hal yang buruk
ke yang hal baik. Adapun yang terakhir adalah Gong, yang dibunyikan
terakir berarti ‘selesai’, bunyinya gung artinya Yang Maha Agung.
Ketiga,
klasifikasi berbentuk properti tari. Properti tari merupakan perlengkapan yang terdapat
dalam kesenian reyog yang mencerminkan nilai-nilai budaya yang terkandung didalamnya.
Selanjutnya akan dijelaskan tentang properti tari tersebut sebagai berikut:
·
Burung merak, merupakan
simbol kecantikan, keindahan, kesempurnaan. Filosofi dari simbol tersebut
manusia harus berperilaku dengan santun sehingga terjalin hubungan harmonis dengan
semua pihak.
·
Kepala Harimau, adalah
simbol dari kekuatan dan kekuasaan. Sifat tersebut, agar manusia tidak
berperilaku adigang, adigung lan adiguno.
·
Tasbih, yang
terdapat di paruh burung merak merupakan simbol berdzikir2 yang meupakan bentuk
ketundukan dan kepatuhan kepada Tuhan Yang Maha Esa.
·
Kolor Seto, merupakan
senjata andalan para warok jaman dahulu. Kolor dimaknai sebagai waktu ojo di olor-olor.
Makna tersebut menyimpan sebuah filosofi agar waktu yang dimiliki dapat
digunakan dalam kebajikan memberikan manfaat sehingga tidak menjadi manusia
yang rugi sebagaimana firman Allah dalam surat al Ashr. Kolor seto biasanya digunakan
di kaitkan dengan sabuk othok menjadi dua bagian menjulur kebawah dengan artian
agar menjaga hubungan baik dengan Alloh (Hablum minnalloh) dan menjaga
hubungan baik dengan manusia (Hablun minnaas)
·
Pecut Samandiman, merupakan
senjata dari Raja Klonosuwandono dalam drama perang melawan Singo barong. pecut
Samandiman terdiri dari dua untaian tali yang memiliki makna Al Quran dan As
Sunnah. Makna dari Pecut tersebut, seorang pemimimpin hendaknya senantiasa memiliki
‘senjata’ pegangan yang berlandaskan Al Qur’an dan As Sunnah dalam menjalani kehidupan.
·
Kerudung,
berfungsi sebagai penutup barongan memiliki makna manusia jangan sampai membicarakan
keburukan orang lain. Sifat tersebut hendaknya sebagai intropeksi diri karena pada
hakekatnya tidak ada manusia yang luput dari dosa.
Keempat,
klasifikasi berdasarkan aspek tarian. Kesenian reyog
sebagai kesenian tradisional menggambarkan tokoh-tokoh di dalamnya yang
terlibat dalam cerita rakyat. Adapun jenis tarian tersebut antara lain:
·
Tari Dhadak Merak, dalam
Dhadak merak terdapat dua simbol yang menjadi satu kesatuan simbol dari
kecantikan dan kekuatan antara burung merak dengan kepala harimau. Kedua simbol
tersebut memiliki arti kerjasama, kekompakan dan gotong royong dalam hal kebaikan.
·
Tari Klonosuwandono, simbol
dari kepemimpinan seorang raja yang gagah perkasa dari kerajaan Bantarangin.
Raja klonasuwandono memiliki senjata pamungkas atau gaman ‘gengamane
iman’ bernama pecut Samandiman. Artian secara utuh seorang pemimpin harus berpegang
teguh kepada perintah Allah dalam Al Qur’an dan As Sunnah.
·
Tari Bujangganong, dalam
tampilan sebagai patih yang memiliki kesan jenaka, atraktif, cerdik yang
merupakan simbol tanggung jawab, amanah meskipun berat harus dilalui dengan senang
dan gembira.
·
Tari Jathilan,melambangkan
sikap patriotisme, gambaran dari para pasukan berkuda
dari kerajaan Bantarangin. Sikap
patriotisme tersebut harus dibangun dalam jiwa masyarakat untuk membela Amar
makruf anahi munkar.
·
Tari Warokan, dimaknai
sebagai waro’i yang memiliki arti orang yang menjaga dari
perbuatan syubat, kehati-hatian
atau menjaga kesucian. Warok merupakan figur yang bisa di teladani, dan
bersifat kesatria.
Kelima,
klasifikasi berdasarkan petangan angka
menjadi sebuah interprestasi terkait kode yang menjadi isyarat dalam kesenian
reyog. Kepercayaan terkait dengan angka tersebut tercermin dalam beberapa aspek
yang ada dalam kesenian reyog terkait dengan jumlah bilangan angka antara lain:
·
Angka 1 yang terdapat
dalam tongkat warok tua, warok tua merupakan pemimpin
paguyuban reyog yang dalam
tampilannya selalu membawa tongkat ketika berjalan. Tongkat berfungsi sebagai “gondelan”
maksudnya seorang warok harus memiliki gondelan kuat yaitu Agama.
·
Angka 5 terdapat dalam
jumlah kancing baju warok berjumlah lima butir, begitupula
terdapat dalam jarik yang memiliki
jumlah wiru lima artinya Jarik digunakan sebagai bebet kaki dan wiru limo
menginterprestasikan hendaknya orang hidup berjalan senantiasa berjalan memahami
rukun Islam yang berjumlah 5 (Syahadat, Sholat, Puasa, zakat, dan Haji)
·
Angka 7 merupakan
simbol dari pitu artinya pitulungan Allah (Pertolongan Allah) kesakralan
angka tujuh terdapat dalam kesenian reyog yang tercermin dalam pecut samandiman
yang memiliki jabung sejumlah tujuh buah, Unsur penari terdapat 7 yaitu Dhadak
merak, Klanasuwandana, Pujangganong, warok, Jathil, Potro tholo dan potro
tembem. Serta jumlah instrumen alat musik terdapat tujuh jenis antara lain
slompret/seruling, kethuk, kenong, kempul, kendang, ketpung dan angklung Angka
tujuh menjadi sebuah angka yang penuh dengan misteri khususnya bagi masyarakat
Ponorogo dan Jawa pada umumnya.
·
Angka 17 terdapat dalam
jumlah bilangan nada gamelan laras slendro yang mempunyai bilangan 1,2,3,5,6
yang apabila dijumlah ada 17, selain itu juga terdapat dalam jumlah peralatan reyog
Ponorogo berjumlah 17 yang memiliki arti bahwa sholat wajibdalam sehari
berjumlah 17 raka’at hendaknya jangan ditinggalkan.
D. Model Seni Reyog
1) Reyog
Obyokan
Reyog Obyokan adalah reyog yang memungkinkan penonton dan
pemain terjdai interaksi secara langsung dan hal demikian tidak terjadi pada
reyog dalam format festival. Reyog obyog / obyokan dapat dikatakan sebagai seni
pertunjukan reyog yang tidak terikat oleh aturan (pakem); tidak
mengikuti aturan baku yang mengatur dalam pementasannya, sesuai dengan namanya obyogan
(Rido Kurnianto. 2007:38). Dalam sebuah pertunjukkan reyog obyogan, banyak
sekali nili-nilai yang terkadung sebagai falsafah kehidupan meskipun hal
tersebut hanya sebagai pertunjukkan semata. Hal yang paling kelihatan dan
menjadi inti dari sebuah pertunjukkan reyog obyogan adalah nilai-nilai
kebersamaan, gotong royong dan persamaan derajat. Hal inilah yang menjadi
sebuah magnet dalam sebuauh pertunjukkan reyog. Pesan-pesan yang disampaikan
bukan hanya berwujud oral lisan tetapi berupa tindakan dan perbuatan yang dapat
dilihat dan dirasakan serta dihayati sebagai makna yang terkandung di dalam pertunjukkan reyog dengan format obyogan yang
telah diwariskan secara verbal dan non verbal dari generasi ke generasi.
Tradisi dalam seni pertunjukan reyog ponorogo dalam versi obyogan dapat dilihat
dan diamati pada pertunjukkan-pertunjukkan yang biasanya diadakan di pinggiran
atau desa-desa disekitar Ponorogo. Pertunjukkan reyog dalam format obyogan yang
diadakan di jalanan, halaman rumah atau lapangan. Bukan reyog dalam bentuk
festival yang dipentaskan diatas panggung. Karena Bentuk pertunjukkan ini akan
berhadapan langsung dengan versi festival yang didanai dengan serius oleh
pemerintah dengan bentuk pertunjukkan yang dibuat sedemikan rupa sehingga lebih
berkesan mewah dan adanya kompetisi yang berhadiah sejumlah uang dan piala dari
presiden. Oleh karena itu usaha-usaha dalam pelestarian reyog obyogan terus
dilakukan.
2) Reyog
Panggung/Festival
Reyog pentas adalah kesenian reyog
yang terikat “pakem”, formal dan dipentaskan dalam FRN (Festival Reyog
Nasional), FRM (Festival Reyog Mini), pentas bulan purnama (di aloon-aloon)
atau dalam panggung-panggung lain. Reyog dalam format
festival terus mengalami perkembangan dan terus dilestarikan, sedangkan reyog
dalam bentuk obyogan terus terpinggirkan dan mengalami segala hantaman dalam
usaha pelestariannya. Jumlahnya yang semakin turun baik dalam pementasan atau
grup reyog membuat khawatir barbagai pihak terutama kalangan budayawan.
Pertunjukkan reyog yang paling
sering dipertunjukkan adalah reyog garapan atau biasa disebut dengan reyog
festival dan reyog obyogan. Reyog Garapan (versi festival) adalah seni
pertunjukan Reyog Ponorogo yang tata pertunjukannya telah diberikan
sentuhan-sentuhan kreasi gamelan dan tari sesuai dengan kehendak group reyog. Sampai dengan tahun 2017 sekarang ini, FRN
atau festival reyog nasional telah mengalami perkembangan dengan meningkatnya
tingkat kompetisi pertunjukkan Seni Reyog ke level Internasional. Hal ini
membuktikan bahwa Seni Reyog masih menjadi suatu kesenian yang baik, unik,
menarik, dan khas yang tidak hanya sebagai suatu hiburan melainkan terkandung
nilai nilai luhur dibalik seni Reyog tersebut.
3) Reog
Santri
Istilah Reyog Santri, dimana
seluruh pemainnya adalah santri atau dikalangan pesantren. Hal ini sejak
berawal dari orde baru dimana Reyog sebagai suatu seni yang hampir wajib
ditampilkan. Hal ini menyembabkan perkembangan Reyog sampai kepada komunitas
pesantren.
4) Reyog
Pelajar/Mahasiswa
Reyog pelajar/mahasiswa ini diawali
pada tahun 1970-an di sekolah-sekolah dibentuklah kesenian reyog mini dengan tujuan
pelestarian kesenian reyog melalui pendidikan. Perjalanan upaya pelestarian seni
Reyog sudah diawali pada tahun 70 an pada bidang dan komunitas pendidikan.
Seiring perjalanan waktu dan perkembangan keilmuan serta penelitian bahwa seni
Reyog sekarang telah menjadi salah satu kegiatan di sekolah dalam wujud ekstra
kurikuler. Disamping upaya untuk pelestarian budaya juga ditanankannya nilai
nilai moral, sosial dan etika kepada para siswa
D. Ritual Sotren Reyog Sebelum Pagelaran
Bagi kelompok paguyuban Reyog tertentu sebelum reyog tampil
dipentaskan, maka pada malam harinya diadakan upacara dengan membakar dupa
dihadapan Reyog dengan berbagai sesaji antara lain kembang telon, minuman
parem, kopi pahit, minyak wangi, dan lain sebagainya. Hal ini diyakini selain
memperlancar jalannya pagelaran serta mendapat perlindungan dari tuhan, juga
mendatangkan kekuatan. Kegiatan tersebut, dipimpin oleh sesepuh Reyog (warok) dengan
mengucapkan mantra-mantra sesuai dengan kehendak yang ingin dilaksanakan.
Mantra pada acara ritual sotren yang dilakukan oleh Almarhum Warok Kasni
Gunopati alias Mbah Wo Kucing sebagai berikut.
Bahasa Mantra Sotren Reyog Sebelum
Pagelaran
Bismilahirohmanirohim
Allahuma kang murbeng dumadi, dzat muhammad
Allahuma kang murbeng dumadi, sifat sejati
muhammad
Allahuma kang murbeng dumadi, slamet sejati
muhammad
Allahuma kang murbeng dumadi, mulyo sejati
muhammad
Allahuma kang murbeng dumadi, tapel adam kang
sapisan pangrukuning agamo Islam, jumeneng
talining urip.
Segara pakune Alloh, lungguhe ana paka’batulloh,
imane jumeneng, batine kang langgeng, lungguhe
ono gedhong mulyo, impunane dongaku slamet.
Allohuma ibu bumi, bumi kang paring rejeki, jagad
kang paring kuat, bumi sonyo kang pangleburing
bika sengkolo, rembulan kang aweh cahoyo,
srengenge kang aweh rino sinare, sewengine
kinayungan dening hyang sukmo, jinulungan para
ngulama, jinampung kang moho kuoso.
Allohuma kang murbeng dumadi, slamet seng duwe
kajad, pikantuk pangandikaning rosul. Slamet,
slamet, saking karsaning Alloh.
Mantra ini jika diterjemahkan kedalam bahasa
indonesia menjadi :
Dengan menyebut nama Alloh yang maha
pengasih dan penyayang.
Ya, Alloh Yang Maha Kuasa, dzat sejati
Muhammad.
Ya, Alloh Yang Maha Kuasa, dzat sejati Muhammad
Ya, Alloh Yang Maha Kuasa, selamat sejati
Muhammad
Ya, Alloh Yang Maha Kuasa, bahagia sejati
Muhammad
Ya, Alloh Yang Maha Kuasa, nabi Adam yang
pertama menyatukan agama Islam, berdiri sebagai
pengikat hidup.
Laut pakune Alloh, duduknya ada di kabatulloh,
Iman yang teguh, batin yang abadi, duduk di
gedung kemuliaan, kabulkan doaku selamat.
Ya, Alloh ibu bumi, bumi yang memberi rejeki,
dunia yang memberi kekuatan, bumi yang
melebur segala rintangan, bulan yang memberi
cahaya, matahari yang memberi siang sinarnya,
malamnya diikuti oleh malaikat, ditunggui oleh
para ulama, dilindungi oleh Yang Maha Kuasa,
Ya, Alloh Yang Maha Kuasa, selamatkan yang
mempunyai hajat, mendapat sabda Rosul. Selamat,
selamat karena kehendak Alloh.
Teks tersebut, merupakan peninggalan dari Almarhum Warok Kasni
Gunopati yang di simpan oleh muridnya.
E. Ritual Sebelum Pagelaran Reyog dimulai
Prosesi ritual selanjutnya sebelum pentas pagelaran Reyog, dimulai
dengan meletakkan seperangkat sesaji berupa pisang raja, air putih, param, dan
lain sebagainya yang kemudian diletakan diatas punden Desa atau tempat-tempat yang
dinilai memiliki kekuatan gaib, kemudian membakar dupo sambil membaca mantra
yang dipimpin oleh Warok serta diikuti oleh beberapa pemain Reyog lainnya. Adapun
mantra yang digunakan dalam ritual sebelum pagelaran Reyog sebagaimana yang dituturkan
oleh Ketua Paguyuban Reyog Margo Jati Jolo Sutro yang dipimpin oleh Bapak Hari Purnomo
atau yang lebih dikenal dengan sebutan Mbah Pur Warok Gendheng (MPWG) sebagai berikut
ini.
Bahasa Mantra gebyakan sebelum pagelaran dimulai
Bismillahirohmanirohim.
Ingsun anyekseni syahadat panetep-panoto gomo
kang manggon ono roh ilafi Kang jumeneng ono
saktelenge ati
Kang dadi panjering urip kang dadi lajering Alloh
wejangan kito nur muhammad kalebu iman kang
sampurno
Slamet dunyo, slamet akhirat
Murah donyo, murah akhirat
Slamet dunyo, slamet akhirat
Murah dunyo, murah akhirat
Duh gusti Alloh kulo nyuwun ridho panjenengan
Kulo nyuwun ijin dipun rekso, dipun jagi, dipun
bantu lahir lan batin kulo ya Alloh
Panjenegan jagi, panjenegan rekso pagelaran
Reyog Margo Jati Jolo Sutro
Anggenipun gelaraken sageto dipun paringi
wilujeng
Dipun tebihne sangking sedoyo balak lan musibah
Dipun tebihne sangking sedoyo penyakit
Dipun tebihne sangking sedoyo gangguan jin, setan,
siluman, iblis jahat lan sak pitunggalanipun lan
kejangkung dining poro ahli kubur lan leluhur poro
punggowo Ponorogo.
Artinya:
Dengan menyebut nama Alloh Yang Maha
Penyayang dan Maha Pengasih
Saya bersaksi syahadat Inti sari agama yang ada
dalam roh paling dalam
Yang berdiri didalam hati
Yang menjadi pusatnya kehidupan, yang menjadi
pusatnya Alloh tuntunan kita Muhammad
Selamat dunia, selamat akhirat
Murah dunia, murah akherat
Selamat dunia, selamat akhirat
Murah dunia, murah akhirat
Ya Alloh saya minta ridhoMU
Saya minta ijin di lindungi, di jaga, di bantu lahir
dan batin saya ya Alloh
Engkau jaga, engkau lindungi pagelaran Reyog
Margo Jati Jolo Sutro
Supaya pagelaran bisa diberi keselamatan
Di jauhkan dari semua marabahaya dan musibah
Di jauhkan dari semua penyakit
Di jauhkan dari semua gangguan jin, hantu, siluman, iblis jahat
dan sejenisnya Dan kepada
para ahli kubur dan nenek moyang Ponorogo
Adapun dalam kondisi cuaca ketika sedang mendung (akan
turun hujan), maka mengunakan
mantra Aji Sampar Angin, dimana dengan ajian ini diharapkan mampu
memindah awan sehingga hujan tidak jadi turun pada waktu pagelaran. Bahasa
mantra yang digunakan oleh Mbah Pur Warok Gendheng (MPWG) sebagai berikut ini.
Bahasa Mantra Aji Sampar Angin
Kyai sampar angin lumaku ing awang-awang
Mego mendung kanggo tumpak’an
Ka gendhong ka idhit sakuat lakuku
Ya Allah, Ya Muhammad, Ya Jibril, Ya Mikail,
Ya Isrofil,Ya Isro’il
Artinya:
Kyai Sampar Angin yang berjalan diatas langit
Langit mendung untuk dinaiki
Di gendong di bopong sekuat jalan saya.
Ya Alloh, Ya Muhammad, Ya Jibril, Ya Mikail
Ya Isrofil, Ya Isro’il.
E. Bahasa Mantra Dalam Pertunjukan
Mantra dalam pertunjukan digunakan apabila dalam kondisi tertentu,
misalnya ada gangguan dari mahkluk halus yang ingin menggangu personil reyog.
Warok memiliki sebuah senjata andalan yang ampuh yakni kolor sakti, dimana
senjata ini digunakan ketika menghadapi musuh khususnya gangguan dari mahkluk
halus yang ingin mencoba menggangu dalam pagelaran Reyog Adapun bahasa mantra yang
digunakan oleh Mbah Purwo Gendheng sebagai berikut ini.
Bahasa Mantra Aji Kolor Seto
Dhedhemit podo morat marit
Jin setan mawut ra karu-karuan
Koyo watu bledug dadi awu
Kun Faya Kun Kersaning Allah
Laillahaillaallah Muhamadar Rosullullah
Artinya:
Setan jadi carut marut
Jin setan berantakan tidak karuan
Seperti batu pecah menjadi abu
Jadilah, maka Jadi atas ijin Alloh
Tidak ada Tuhan selain Alloh, Muhammad
utusan Alloh.
Warok sebagai ketua
paguyuban ataupun sebagai sesepuh dalam paguyuban reyog memiliki berbagai
kelebihan, salah satunya membarong, yaitu memainkan dhadak merak dengan
beratkurang lebih 50-60 Kg dengan cara mengigit dengan kekuatan gigi, tentu
untuk mengangkat dhadak merak membutuhan kekuatan ekstra, salah satu dengan
berdoa mengunakan mantra sebagai berikut ini.
Bahasa Mantra Aji Singo Barong
Ibu bumi bopo kuoso
Sukmo loyo sukmo mrayang roh sing ora ketompo
Sukmo durgo sukmo kasandang durgo kekuatan
angkoro
Dayamu dayaku nyawiji ing jati ngarang
Syang-syang suzuh maji'ngo neng jiwo rogoku
mlebuo
yahu...yahu....yahu...!!!
Artinya:
Ibu bumi bapak kuasa
Sukma sukma bergentayangan yang tidak diterima
Sukma durgo sukma kesandang durgo kekutan
angkoro
Dayamu dayaku jadi satu seperti Pohon Jati Tua
Syang-syang suzung masuklah kedalam jiwa
ragaku.
Yahu..yahu..yahu..!!!
Artinya:
Ibu bumi bapak kuasa
Sukma sukma bergentayangan yang tidak diterima
Sukma durgo sukma kesandang durgo kekutan
angkoro
Dayamu dayaku jadi satu seperti Pohon Jati Tua
Syang-syang suzung masuklah kedalam jiwa
ragaku.
Yahu..yahu..yahu..!!!
Aspek-Aspek Bahasa Non Verbal Dalam Ritual
Warok Ponorogo
Aspek-aspek non verbal berupa perlengkapan sesaji memiliki
perbedaan antara ritual satu dengan yang lainnya. Hal ini terkait tujuan yang ingin
di capai serta maksut tertentu dalam setiap ritual. Sebagai contoh aspek bahasa
non verbal (sesaji) sebelum pertunjukan memiliki perbedaan dengan bahasa non
verbal ketika mewisuda warok kehormatan. Adapun aspek bahasa non verbal dalam ritual
yang berkaitan dengan kesenian reyog yang dilakukan oleh Warok sebagai berikut
ini.
Teks tersebut, merupakan peninggalan dari Almarhum Warok Kasni
Gunopati yang di simpan oleh muridnya
1. Sotren Sebelum Pagelaran (Pra Acara)
1) Kembang telon
Kembang Telon terdiri dari tiga macam bunga yaitu kanthil, kenanga
dan mawar. Ketiga jenis bunga tersebut memiliki persepsi arti simbolis sebagai
berikut ini. Pertama, bunga kanthil supaya Penonton Reyog kinthil atau
mengikuti dan menikmati pagelaran reyog pada waktu pentas. Kedua, bunga kenanga
di persepsikan dengan kenangan atau teringat, yaitu teringat keindahan
kesenian reyog yang dipentaskan. Ketiga bunga mawar sebagai simbol dari
wewangi, menarik hati dan memiliki daya pikat. Kembang mawar sebagai persepsi
agar para penonton tertarik dan tepesona dengan keindahan oleh karena itu hendaknya
keindahan tersebut dikabarkan sebagai mana wangi bunga yang menyebar disekelilingnya
sehingga keindahan reyog bisa dinikmati bersama.
2) Kopi bubuk paitan
Kopi Pahit atau Wedang pait merupakan simbol untuk
mengingatkan manusia supaya jangan takut menghadapi pahit getirnya kehidupan.
Karena pahit getirnya kehidupan itu hanya sementara, sebagaimana ada pahit ada
manis, ada petang maka esok ada terang. Semuanya berputar sebagaimana roda
berputar cakramanunggaling. Kopi Pahit meskipun rasanya pahit agar manusia
dapat mengambil hikmah dibalik kepahitan tersebut, karena adakalanya Pahit itu
obat, sedangkan manis itu racun. Ekpresi dari kopi pahit inilah agar kita
selalu mengahadapi segala permasalahan hidup dengan sabar. Kopi pahit secara
filosofi merupakan perwujudan dari kerasnya kehidupan dimana harus ‘disiram’
dengan air panas tetapi bisa mewarnai air tersebut dan justru memberikan
keharuman dan kenikmatan kepada orang lain. 3) Minyak wangi
Minyak wangi merupakan sebagai pelengkap dari salah satu uborampe
yakni kemenyan, minyak wangi ini dipersepsikan sebagai bentuk kesegaran,
keharuman yang identik dengan kebaikan yang diharapkan mampu menular disekitar.
Kebaikan ini harus dilakukan dimanapun dan kapanpun kita berada sehingga
semerbak kebaikan bisa dirasakan oleh orang lain layaknya aroma minyak wangi
yang dapat dinikmati disekelilingnya
4) Parem
Parem merupakan ekspresi dari
kata marem, yang diharapkan seluruh komponon yang terlibat dalam
pagelaran reyog perasaanya menjadi marem (Puas) menikmati pertunjukan
reyog.
5) Sego kokoh
Sego Kokoh merupakan
sebagai simbol agar mengingatkan manusia agar tidak membuang sisa makanan,
alangkah baiknya dihabiskan hingga tidak tersisa yang melambangkan kesyukuran
kepada tuhan yang memberi rezeki kepada umat manusia. Sego kokoh ini
secara tidak langsung menyiratkan bahwa menjadi manusia agar menjadi manusia
yang bermanfaat, sejelekjelek orang pasti ada manfaatnya, yang kadangkala orang
bisa berubah berbuat baik. Dupo Ratus
atau mengunakan Rokok grendho Rokok Grendo yang terbuat dari klobot Dupo ratus
batangan dengan panjang sekitar 40 cm ini dibakar akan mengeluarkan asap yang
mempunyai aroma yang harum. Pada saat ritual berlangsung dupo diayunayunkan disertai
doa permohonan kepada tuhan. Dupo sebagai bentuk simbol pemujaan kepada Tuhan
asap dari dupo yang tengah mengepul itulah yang menghantarkan permohonan
manusia kepada tuhan. Peran dupo ini bisa digantikan dengan rokok grendo, namun
seiring langkanya rokok grendo maka digantikan dengan Dupo ratus.
b) Bahasa nonverbal Sebelum Pagelaran dimulai
1) Pisang Raja Temen Setangkep
Pisang Raja
Pisang raja dalam prosesi ritual sebelum pagelaran pentas
merupakan sebagai simbol dari berbagai karakter manusia yang berbagai
macam–macam. Hal ini dikiaskan sebagai bentuk keberagaman dalam kerukunan dan
kedekatan satu sama lain sebagaimana bentuk Pisang yang saling berdekatan namun
tetap dalam satu tangkep. Pisang raja temen juga memiliki arti
simbolik sebagai perwujudan penyerahan diri terhadap Tuhan Yang
Maha Kuasa, penyerahan
tersebut sebagai bukti kecintaan kepada Tuhan maka harus
diwujudkan dengan perbuatan baik yang di ridhoi Tuhan. Artinya, dalam setiap
perjalanan hidup manusia harus menjalin hubungan baik kepada Tuhan, kepada manusia
maupun kepada sesama ciptaan Tuhan. Pandangan inilah, yang merupakan salah satu
kebijaksanaan hidup masyarakat Jawa yang mengandung kearifan lokal (local genius)
yaitu pentingnya menjaga harmoni, menjaga keseimbangan dan menjaga keselarasan
hidup. Harmoni, seimbang, dan selaras menjaga hubungan dirinya dengan tuhan,
sesama manusia dan dengan alam.
Selain hal tersebut, pisang raja setangkep memiliki makna khas
Sebagai simbol orang berdoa yang menyatukan rasa dengan rasa tuhan. Agar doanya
dikabulkan seperti doanya para Raja.
2) Air putih
Air putih atau banyu bening merupakan salah satu sumber
kehidupan, air putih mengekpresikan bahwasanya dalam menjalani kehidupan agar
selalu berada pada sifat bening
atau kesucian. Sifat tersebut hendaknya tercermin dalam pola
perilaku manusia yang harus dilandasai niat tulus suci karena Tuhan. Disamping
mempunyai makna yang tersirat yaitu mengatahuia asal usul bibit manusia dari bapak.
3) Air Asem (Parem)
Kembang Parem
merupakan mengekspresi dari kata marem, yang diharapkan seluruh komponon
yang terlibat dalam pagelaran reyog perasaanya menjadi marem (Puas) menikmati
pertunjukan reyog. Air parem juga sebegai simbol dari asal usul manusia dari
ibu.
4) Kembang Parem (Boreh)
Kembang parem secara arti
dan maksut memiliki kesamaan dengan air parem, namun berbeda bentuk. Jika Air
Asem dibuat dari buah Asam, sedangkan kembang Parem dibuat dari kembang
Jambe. Kembang parem ini sebagai simbol Bersatunya bibit ayah dan
ibu.
5) Kopi Pait
Kopi Pahit atau Wedang pait merupakan simbol untuk
mengingatkan manusia supaya jangan takut menghadapi pahit getirnya kehidupan.
Karena pahit getirnya kehidupan itu hanya sementara, sebagaimana ada pahit ada
manis, ada petang maka esok ada terang. Semuanya berputar sebagaimana roda
berputar. Kopi Pahit meskipun rasanya pahit agar manusia dapat mengambil hikmah
dibalik kepahitan tersebut, karena adakalanya Pahit itu obat, sedangkan manis
itu racun. Ekpresi dari kopi pahit inilah agar kita selalu mengahadapi segala
permasalahan hidup dengan sabar. Kopi pahit secara filosofi merupakan
perwujudan dari kerasnya kehidupan dimana harus ‘disiram’ dengan air panas
tetapi bisa mewarnai air tersebut dan justru memberikan keharuman dan kenikmatan
kepada orang lain.
6) Sego kokoh
Sego Kokoh merupakan
sebagai simbol agar mengingatkan manusia agar tidak membuang sisa makanan,
alangkah baiknya dihabiskan hingga tidak tersisa yang melambangkan kesyukuran
kepada tuhan yang memberi rezeki kepada umat manusia. Sego kokoh ini
secara tidak langsung menyiratkan bahwa menjadi manusia agar menjadi manusia
yang bermanfaat, sejelekjelek orang pasti ada manfaatnya, yang kadangkala orang
bisa berubah berbuat baik.
7) Lawe (tali)
Lawe atau tali sebagai
simbol pengikat seluruh keinginan dan maksud tujuan supaya terkabulkan oleh
Tuhan. Tali ini merupakan sebuah ekpresi dimana tali memiliki peran sebagai
mengingat dan pengikat kepada jalan yang lurus. Tali memiliki tiga warna yaitu
putih, merah dan hitam, yang merupakan simbol gambaran manusia
yang terdiri dari tiga unsur sukmo, nyowo, dan rogo yang menjadi
satu.
8) Kemenyan
Kemenyan merupakan
simbol dari taline Iman, uribing cahya kumoro, kukuse ngambang swargo,
ingkang nampi dzat Moho Kuwaos. (sebagai tali pengikat keimanan, nyalanya
diharapkan sebagai cahaya kumara, asapkan diharapkan sebagai bau-bauan surga dan
agar dapat diterima oleh Tuhan Yang Maha Kuasa.
Dari maksud diatas dapat dipahami bahwa membakar kemenyan dalam
prosesi ritual sebelum pagelaran bukan ritual yang melanggar agama, yang
mungkin sebagian orang menggap ritual pembakaran kemenyan sebagai perbuatan
yang menyalahi aturan agama. Pada jaman Nabi pembakaran kemenyan sering
diganti dengan bau-bauan harum, yang dinyatakan sebagai hal yang disukai Tuhan.
Baik kemenyan maupun wangiwangian intinya sama yakni untuk mendekatkan
diri pada Tuhan.
9) Minyak wangi (misik/serimpi/javaron)
Minyak wangi merupakan sebagai pelengkap dari salah satu uborampe
yakni kemenyan, minyak wangi ini dipersepsikan sebagai bentuk kesegaran,
keharuman yang identik dengan kebaikan yang diharapkan mampu menular disekitar.
Kebaikan ini harus dilakukan dimanapun dan kapanpun kita berada sehingga
semerbak kebaikan bisa dirasakan oleh orang lain layaknya aroma minyak wangi
yang dapat dinikmati disekelilingnya
10) Dupo Ratus
Dupo ratus batangan dengan panjang sekitar 40 cm ini dibakar akan
mengeluarkan asap yang mempunyai aroma yang harum. Pada saat ritual berlangsung
dupo diayunayunkan disertai doa permohonan kepada tuhan. Dupo sebagai bentuk
simbol pemujaan kepada Tuhan asap dari dupo yang tengah mengepul itulah yang
menghantarkan permohonan manusia kepada tuhan. Peran dupo ini bisa digantikan
dengan rokok grendo, namun seiring langkanya rokok grendo maka digantikan
dengan Dupo ratus.
11) Cok bakal
Cok Bakal merupakan
perlengkapan sesaji yang terdiri dari kembang setaman, kemiri, daun sirih
digulung, bumbu dapur dan sebutir telur yang semuanya dimasukan kedalam takir atau
daun pisang yang dibentuk menyerupai mangkok. Cok bakal merupakan simbol bentuk
pengorbanan atau persembahan kepada Tuhan dan roh para leluhur Dari beberapa uborampe
tersebut memiliki makna simbolis yaitu telur Jawa yang merupakan simbol
dari cakra menggiling (perputaran hidup) dimana kehidupan ini berputar
sebagaiman telur ayam yang menjadi cikal bakal ayam kemudian mati dan seterusnya.
Aspek yang lain yang terapat dalam cok bakal yaitu daun sirih yang merupakan
salah satu unsur untuk membuat Kinang sebagai wujud persembahan kesenangan
nenek moyang, sedangkan bumbu dapur merupakan sebagai ekpresi kemakmuran dalam
rumah. Terakhir kemiri sebagai simbol dari kata iri, yang mengingatkan hidup
jangan iri satu sama lain.
12) Kembang telon
Kembang telon yang
terdiri dari tiga macam bunga yaitu kanthil, kenanga dan mawar. Ketiga jenis
bunga tersebut memiliki persepsi arti simbolis sebagai berikut ini. Pertama,
bunga kanthil supaya Penonton Reyog kinthil atau mengikuti dan menikmati
pagelaran reyog pada waktu pentas. Kedua, bunga kenanga di persepsikan dengan kenangan
atau teringat, yaitu teringat keindahan kesenian reyog yang dipentaskan. Ketiga
bunga mawar sebagai simbol dari wewangi, menarik hati dan memiliki daya pikat.
Kembang mawar sebagai persepsi agar
para penonton tertarik dan tepesona dengan keindahan oleh karena
itu hendaknya keindahan tersebut dikabarkan sebagai mana wangi bunga yang
menyebar disekelilingnya sehingga keindahan reyog bisa dinikmati bersama.
13) Kambil Gundul
Kambil gundul yang menyerupai
bentuk kepala manusia memeliki arti bahwasanya kepala manusia tempat otak
berada, manusia hendaknya harus berfikir sebelum melangkah dan berfikir untuk
menebar kebaikan atar sesama. Jika dikaitkan dengan tahapan dalam ilmu Agama,
dalam buah kelapa terdiri dari empat lapis yaitu serabut, batok, kelapa dan air
kelapa yang merupakan simbol dari ilmu syariat, tarekat, hakekat, makrifat.
Penutup
Kesenian
Reyog merupakan seni yang memiliki keunikan dan kekhasan tersendiri berawal
dari cerita asal usulnya, perkembangan serta pelestariannya. Terlepas dari hal
tersebut perlu disadari bahwa dalam seni Reyog, dalam hal ini adalah semua
piranti-pirantinya memiliki simbol, makna, dan karakter tersendiri. Mengenai
perkembangannya seni Reyog telah merambah pada beberapa model yairu reyog
obyokan, reyog festival, reyog santri, dan reyog pelajar ata mahasiswa.
Terlepas dari beberapa komunitas tersebut, satu hal yang perlu untuk selalu
dijaga adalah tat aturan yang pakem dalam memainkan reyog.
Daftar Pustaka
C.A.
Van Peursen, 1998, “Strategi Kebudayaan”, Penerbit Kanisius, Yogjakarta.
Clifford Geertz,
1989, “Abangan, Santri, Priyayi Dalam Masyarakat Jawa”, Penerbit
Pustaka
Jaya, Jakarta.
Koentjaraningrat,
1994, “Kebudayaan Jawa”, Penerbit Balai Pustaka, Jakarta.
Jusuf Harsono dan Slamet Santoso,
2005, “Dinamika Perubahan Struktur Sosial Para Warok Ponorogo ( studi Kasus
: Mobilitas Sosial Vertikal – Horisontal Para Warok di Kabipaten Ponorogo)”,
Fenomena Jurnal Ilmiah Ilmu Sosial – Humaniora, Vol 2. No 1, Januari 2005, ISSN
1693-8038.
Sidi,
Galzaba. 1962. Masjid Pusat Ibadah dan Kebudayaan Islam. Djakarta:
Pustaka Antara.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar