DALIHAN
NA TOLU
Tugas ini
disusun untuk memenuhi tugas Ujian Akhir Semester
Mata Kuliah
Etnolinguistik Jawa
Dosen Pembina:
Dr. Inyo Yos Fernandez
Oleh:
Husniah
Ramadhani Pulungan
NIM
T111608004
PROGRAM STUDI LINGUISTIK
PASCASARJANA
UNIVERSITAS SEBELAS MARET
2017
DAFTAR
ISI
DAFTAR
ISI................................................................................................. i
DAFTAR
GAMBAR.................................................................................... ii
ABSTRAK .................................................................................................... 1
A. PENDAHULUAN
.................................................................................. 1
B. PEMBAHASAN
..................................................................................... 3
1. Istilah Dalihan
na Tolu ....................................................................... 3
2. Peran Dalihan na
Tolu........................................................................ 6
3. Refleksi Budaya Dalihan
na Tolu ....................................................... 11
4. Data Leksikon Dalihan na Tolu .......................................................... 24
C. SIMPULAN............................................................................................. 32
DAFTAR
PUSTAKA .................................................................................. 34
DAFTAR
GAMBAR
Gambar
1. Dalihan na Tolu ........................................................................... 3
Dalihan
Natolu, Sistem Kekerabatan Angkola-Mandailing
(Kajian
Etnolinguistik)
Oleh:
Husniah Ramadhani Pulungan
Abstrak
Sistem kekerabatan masyarakat Angkola-Mandailing itu sama dengan
sengan subsuku Batak lainnya, yaitu memegang erat Dalihan na Tolu, Mora,
Kahanggi, Anakboru dalam bermasyarakat. Falsafah yang sudah diwariskan
turun-temurun ini telah menjadi norma tidak tertulis yang tetap dijaga dan
dilestarikan. Tulisan kali ini memaparkan Dalihan na Tolu mulai dari
maknanya, peranannya, refleksi budayanya, sampai dengan data leksikon yang
ditemukan sangat kaya dan sangat menarik untuk dianalisis lebih mendalam. Dari
bahasa terdeskripsikanlah suatu budaya yang luhur. Suku Batak (termasuk
Angkola-Mandailing) pada umumnya sangat menjaga hubungan kekeluargaan dengan martarombo,
menelusuri asal-usul, menjaga tutur, dan sangat santun dalam menjaga
kekerabatan. Dengan demikian, tulisan ini akan menambah bangunan teoretis dari
kajian etnolinguistik sebagai warisan budaya negara yang sangat perlu untuk
dilestarikan.
Kata kunci: Dalihan
na Tolu, Sintem kekerabatan, Angkola-Mandailing, Etnolinguistik
A.
Pendahuluan
Masyarakat Batak pada umumnya memegang sistem kekerabatan Dalihan
na Tolu, termasuk juga dengan masyarakat Angkola-Mandailing yang wilayahnya
juga sangat berdekatan. Berdasarkan penelitian Harahap (2004:34) telah
ditemukan bahwa nilai kekerabatan bagi masyarakat Angkola-Mandailing sebesar
201 atau 35,59% dari 568 angka frekuensi. Analisis yang dilakukan Harahap
adalah dengan menggunakan kata-kata atau istilah yang mengandung nilai budaya
kekerabatan yang disusun menurut aturan frekuensi.
Pada umumnya, kerabat terdiri dari keluarga batih (ayah, ibu, dan
anak-anak), kakek, nenek, saudara ayah, dan saudara ibu. Namun pada sebenarnya
anggota kerabat orang Angkola-Mandailing lebih luas daripada kekerabatan yang
diikat oleh hubungan darah. Kemungkinan besar, kekerabatan sejenis ini terjadi
karena adanya sistem kekerabatan Dalihan na Tolu yang dapat membuka
hubungan kekerabatan dengan keluarga lain di luar ikatan darah karena
terjadinya pernikahan.
Kekerabatan seperti ini tidak hanya terbatas pada ikatan pernikahan
dengan orang Angkola-Mandailing saja. Namun, pada kenyataannya perkawinan
dengan suku bangsa lain juga dapat membuka hubungan kekerabatan yang dijabarkan
sesuai dengan Dalihan na Tolu. Dengan demikian, setiap orang
Angkola-Mandailing adalah keluarga besar, baik disebabkan oleh ikatan darah,
ikatan perkawinan, maupun ikatan marga yang dapat ditelusuri dengan martarombo
silsilah marga.
Tulisan kali ini akan memaparkan Dalihan na Tolu sebagai
sistem kekerabatan masyarakat Angkola-Mandailing yang merupakan salah satu
nilai budaya yang masih dilestarikan sampai sekarang. Hasil pemaparan ini akan
menambah bangunan teoretis kajian etnolinguistik khususnya budaya masyarakat
Angkola-Mandailing. Adapun hal-hal yang akan dipaparkan nanti berupa, istilah,
peran, data leksikon, dan refleksi budaya masyarakat Angkola-Mandailing yang
tercermin dari Dalihan na Tolu.
B.
Pembahasan
Berikut akan dideskripsikan hal-hal yang berkaitan dengan Dalihan
na Tolu yang akan membuka wawasan budaya nusantara dan menjadi salah satu
kekayaan bangsa.
1. Istilah Dalihan Natolu
Istilah Dalihan
na Tolu menurut Managor (1995:79-81) merupakan struktur sosial masyarakat Batak, termasuk
Angkola-Mandailing, yang terdiri dari tiga kelompok yang disebut Dalihan na
Tolu yang berarti tiga tungku. Tiang tungku tiga dianggap cukup mantap dan
kuat untuk meletakkan panci atau alat-alat memasak lainnya di atasnya.
Gambar 1. Dalihan
na Tolu
Hal ini berarti
bahwa yang dimaksud menurut Ompunta Narobian untuk membangun kehidupan
itu perlu tiga kelompok yang satu sama lain topang-menopang, yaitu: Kahanggi,
Anakboru, dan Mora.
Kahanggi adalah satu kelompok seketurunan atau semarga. Kalau ada yang
berlainan marga, karena pareban dan pamere dimasukkan ke dalamnya
yang disebut kelompok kahanggi pareban. Anakboru adalah kelompok lain
marga yang mengambil anak kita (perempuan), saudara kita (perempuan), dan
saudara bapak kita (perempuan), dan sebagainya. Dapat juga dikatakan bahwa anakboru
adalah semua keluarga dari pihak yang mengambil boru dari pihak kita.
Sedangkan mora adalah kelompok lain marga yang memberi boru kepada
pihak kita sekahanggi, atau pihak saudara laki-laki dari parumaen
(menantu), istri dari ibu. Jelasnya, mora adalah pihak yang memberi boru
kepada pihak kita.
Adapun istilah partuturon
dalam Dalihan na Tolu dapat dilihat sebagai berikut.
a. Kahanggi
terdiri dari: anak, saudara laki-laki, bapak, uda, amangtua, dan
lain-lain.
b. Anakboru
terdiri dari: semua kelompok bere, lae, amangboru, dan sebagainya.
c. Mora
terdiri dari: semua kelompok tunggane, tulang, dan seterusnya.
Sebetulnya
masih ada dua kelompok lagi, yakni pisang raut dan mora ni
mora.
d. Pisangraut adalah anakboru dari anakboru kita.
e. Mora ni Mora adalah keluarga tempat
pengambilan boru dari mora kita.
Hanya saja
karena unsur dari Dalihan na Tolu itu kahanggi, anakboru, mora terus
berputar, berotasi, dan berganti-ganti, maka pisangraut berulang kembali, jika
tidak kahanggi tersebut bisa menjadi mora kita. Demikian pula
halnya dengan mora ni mora, bisa kahanggi atau anakboru
kita, sehingga pisangraut digabung dalam kelompok pihak anakboru
dan mora ni mora ke dalam pihak mora. Karena itu Dalihan na
Tolu tetap terpelihara.
Selanjutnya,
Alam (1977:4-5) menjelaskan susunan masyarakat dalam Dalihan na Tolu yaitu:
a. Dimulai dari
satu keluarga menjadi suku (marga).
b. Dimulai dari
satu keluarga menjadi satu hasuhuton (satohapan/sahatobangon).
c. Dimulai dari
satu keluarga menjadi satu pangupaan (sapangupaan).
d. Dimulai dari
satu keluarga menjadi satu kampung terus menjadi satu kampung-luat-daerah
(disebut kuria setelah Belanda datang).
Hubungan adat
dihubungkan dengan mengutamakan rasa kekeluargaan sesuai dengan pertalian Dalihan
na Tolu, erat dengan renggangnya hubungan anggota masyarakat itu ditentukan
dari hubungan kekeluargaan dengan sesame anggota masyarakat. Kemudian, semua
anggota masyarakat adat berdasarkan hubungan darah, sehingga hak kemargaan
dengan hak kewarisan didasarkan pada eratnya hubungan darah Bapak. Dengan
demikian, yang mengatur peradatan dimulai dari Raja yang menjadi uluan
(pimpinan), Orang Kaya yang menjadi sekretaris dan pengelpasi
hata (juru pengantar kata), Harajaon yang menjadi wakil keturunan
raja-raja, Hatobangon yang menjadi wakil anggota masyarakat adat ni
kampung, dan hulubalang yang menjadi penjaga atau pengawal untuk
keamanan masyarakat kampung.
2. Peran Dalihan Natolu
Masih menurut Managor
(1995: 81-85), Ompunta Narobian menganggap Daliha na Tolu lebih
mantap dari Dalihan na Lima. Supaya mantap, ketiga dalihan
(tungku) itu harus sama tinggi. Demikian juga dengan unsur Dalihan na Tolu
juga harus sama besar dan sama tinggi. Mora tidak lebih besar atau lebih
tinggi dari anakboru. Kahanggi tidak lebih besar dan lebih tinggi
dari anakboru dan mora. Dewasa ini banyak orang menganggap mora
lebih tinggi dari anakboru. Hal ini disebabkan kurangnya pemahaman arti
sesungguhnya dari adat yang ditinggalkan Ompunta Narobian. Namun bisa
juga karena salah mengartikan pepatah yang mengikat ketiga unsur dalam Dalihan
na Tolu. Pepatah itu akan dipaparkan sebagai berikut.
“Hormat Marmora, elek maranakboru, dan manatmanat markahanggi.”
Penjelasan dari
pepatah di atas, terdiri dari:
a. Hormat Marmora
Perkataan hormat
diterjemahkan dengan arti hormat dalam kamus. Seorang bawahan harus menghormati
atasannya. Hormat kepada atasan boleh, misalnya kita angkat tangan, memberi
salam, dan sebagainya. Jika dibuat seperti itu terhadap mora dalam
menerjemahkan hormat marmora, maka hal ini sangat janggal/tidak tepat.
Pengertian hormat marmora lebih cenderung pada pengertian bersopan
santun terhadap mora. Kita tidak boleh berbicara sembarangan terhadap mora.
Kalimat-kalimat harus diatur dengan baik, tidak menyinggung, tidak menimbulkan
marah, dan tidak boleh menghina mora. Apalagi kesalahannya tidak boleh
dicari-cari.
Mengenai hubungan
antara anakboru terhadap mora, ada pepatah yang mendidik
seseorang sebagai berikut.
Mataniari na so
gakgahon
Liang na so tungkiron
Dapdap na so dahapon
Pepatah di atas berarti anakboru tidak boleh melawan moranya.
Jika dilanggar akan menimbulkan kekacauan dalam rumah tangga. Sebab siapapun
orangnya akan sayang kepada orangtuanya. Mora adalah orangtua dari
istri, sehingga itu berarti menyakiti istri. Lebih baik kita membesarkan
mereka, mora (orangtua istri) supaya timbul kasih sayang istri kepada
kita. Untuk menimbulkan kasih sayang itulah yang diajarkan Ompunta Narobian
maka ditinggalkannya warisan pepatah tersebut kepada keturunannya.
Dengan demikian,
menghormati mora berarti usaha menimbulkan kasih sayang dalam rumah
tangga sendiri, selanjutnya akan menimbulkan kerukunan dan kebahagiaan dalam
perkawinan. Jika kita tidak menghormati mora, Ompunta Narobian
mengatakan:
Lambang eme dohot sir ape burburon
Pepatah ini berarti rezeki menjauh maka akan timbul hal-hal
percekcokan dalam rumah tangga yang tidak diketahui sebab musababnya, karena
sedikit saja salah sudah menjadi besar.
b. Elek maranakboru
Elek maranakboru
artinya elek dan laok di sini tidak sama dengan membujuk apalagi
merayu, tetapi lebih cenderung pada kepada bijaksana. Bijaksana terhadap anakboru
itulah pengertian yang paling mengena walaupun masih terasa kurang pas. Bahasa
Angkola-Mandailing lebih kaya dari bahasa Indonesia, karena itu banyak leksikon
yang tidak bisa diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia. Sebab, jika salah
menerjemahkan, maka hubungan mora dan anakboru sekarang ini
menjadi frustrasi. Anakboru merasa lebih rendah dari mora dan mora
merasa lebih tinggi dari anakborunya sehingga seenaknya saja
menyuruh anakborunya.
Ompunta Narobian
telah meninggalkan ajaran tentang sopan santun dan tugas anakboru terhadap
mora yaitu:
Tukkot di na
landit
Sulu-sulu di na
golap
Sihorus na lobi
Sitamba na hurang
Dengan
berpedoman pada pepatah:
Manaek ulu
dohot do supping manaek
Maksudnya
adalah sopan santun dan tugas terhadap mora di atas dilaksanakan setulus
hati. Anakboru menjadi tongkat kepada mora kalau mora dalam
bahaya. Anakboru menjadi pelita kalau mora dalam keadaan susah
dan siluluton. Sewaktu horja siluluton maupun horja
siriaon, anakboru menyingsingkan lengan baju agar horja terlaksana
baik supaya mora jangan malu. Malu mora harus dirasakan anakboru
juga malunya. Kalau umpamanya ada kekurangan biaya horja anakboru harus berani
menanggulanginya. Sebaliknya, kalau ada kelebihan ataupun keuntungan membela mora
tersebut adalah merupakan bagian dari anakboru.
Mora harus tahu semua tugas anakboru tersebut, sehingga bagaimana
membalas tugas dari anakboru itulah yang perlu dibalas oleh mora.
Kebijaksanaan membalas inilah yang dimaksud elek maranakboru. Jangan
sampai anakboru kesal karena sudah habis-habisan membela mora, tetapi
tetap tidak mendapat tanggapan dari mora, atau dianggap tidak berarti.
Sebaliknya, anakboru tidak boleh mengharapkan upah atau imbalan dari
karyanya membela mora. Memang tidak pantas mengharapkan upah dan imbalan
seperti itu, sebab upah dan imbalan bersangkutan dengan bisnis, yang segala
sesuatunya telah dibicarakan terlebih dahulu.
Sedang tugas
membesarkan mora datang dari hati yang tulus ikhlas untuk mencari kasih
sayang dari istri dan pihak mora. Kasih sayang yang dicari anakboru
harus dibayar dengan kasih sayang. Kebaikan hati harus dibayar dengan kebaikan
hati. Dengan demikian, barulah tercipta hubungan yang diharapkan Ompunta
Narobian. Kasih sayang mencari kasih sayang, mengikat kekeluargaan. Holong
manjalak holong, holong manjalak domu. Ikatan kekeluargaan antara anakboru
dan mora tercipta.
c. Manatmanat
markahanggi
Manatmanat artinya berhati-hati. Berhati-hatilah terhadap saudara kita
laki-laki. Bukan berhati-hati untuk dihindari, tetapi berhati-hati dalam
hubungan jangan sampai timbul percekcokan.
Pira manuk do na
pasitik.
Artinya adalah karena kita hidup berdekatan sehari-hari dan
berkomunikasi terus-menerus, pasti akan
akan terjadi perbedaan pendapat yang menimbulkan perkelahian. Masalah yang
besar dengan kahanggi harus diperkecil dan yang kecil harus dihilangkan.
Sifat maaf-memaafkan harus dipertebal dengan kahanggi. Pepatah mengatakan:
Na markahanggi songon
tampulon aek.
Artinya adalah yang berkahanggi, walaupun berkelahi,
dipotong, atau dipisahkan akan tetap bersatu, seperti air yang dipotong.
Begitulah hubungan antara anakboru, mora, dan kahanggi dalam
Dalihan na Tolu tersebut. Satu sama lain saling mengikat dengan tugas
dan kewajiban yang berbeda-beda. Tetapi semuanya menjurus menciptakan kasih
sayang. Kasih sayang yang mengikat kekeluargaan pada unsur kelompok Dalihan na Tolu tersebut.
3. Refleksi Budaya Dalihan na Tolu
Sekilas telah disinggung bahwa masyarakat Angkola-Mandailing sangat
suka martarombo. Selain itu mengetahui seseorang itu harus dipanggil
dengan tuturan apa, posisinya dalam Dalihan na Tolu, juga untuk
mengetahui marganya apa. Di samping ikatan perkawinan, Dalihan na Tolu juga
tidak terlepas dari marga. Agar menambah pemahaman mengenai refleksi budaya Dalihan
na Tolu ini, maka berikut akan dipaparkan secara terperinci.
a. Marga
Managor (1995:
86-91) mengemukakan bahwa marga adalah pengelompokan masyarakat Batak (dalam
hal ini Angkola-Mandailing) yang bertujuan untuk mengatur perkawinan. Hal ini
dilakukan agar keturunan itu bertambah baik. Ompunta Narobian juga
ternyata ahli di bidang ilmu genetika. Ahli genetika dunia yang terkenal adalah
Gregori Mendel, orang Israel. Kebenaran teorinya telah diakui ahli-ahli dunia.
Masyarakat Angkola-Mandailing, ribuan tahun yang lalu, sebelum teori Mendel
muncul telah melaksanakannya dalam perkawinan. Untuk menghindarkan agar jangan
terjadi perkawinan seketurunan, mereka membuat masyarakat berkelompok dalam
marga. Satu keturunan sekelompok marga hingga berkelompok-kelompok.
Adat masyarakat
Angkola-Mandailing yang patrilineal berdasarkan garis keturunan ayah, berperan
mengatur pengelompokan ini. Kemudian, Patik-Patik ni Paradaton melarang
tidak boleh kawin satu kelompok marga. Sebab kawin dengan satu kelompok marga
berarti kawin dengan satu keturunan. Apabila terjadi kawin seketurunan yang
dikenal dengan istilah kawin semarga, maka orang itu melanggar Patik ni
paradaton. Orang itu harus dikenakan sanksi hokum, diusir dari kampong atau
memotong kerbau untuk menjamu penduduk kampong tersebut. Sesudah itu, masalah
kawin semarga tadi dianggap selesai.
Keputusan
sanksi hukum yang diambil ditentukan oleh sidang adat terlebih dahulu. Pangkancing
Pamoldas ni Huta itulah yang menjadi anggota sidang adat yang dibuat,
seperti: Namora Natoras/Hatobangon, Suhu Adat/Ahli Adat, Orang Kaya, dan
Raja ni Huta. Merekalah yang menentukan berat ringannya hukuman. Bisa
saja terjadi sanksi hukum terhadap suatu kesalahan seperti pelanggaran kawin
semarga, berberda, walaupun di kampung itu juga. Umpamanya hukuman waktu yang
lalu, orang yang melakukan pelanggaran diusir dari kampung. Kemudian, kesalahan
yang sama cukup dengan memotong kerbau dan mengakui telah berbuat salah sewaktu
makan bersama. Keputusan tergantung dari anggota yang hadir pada sidang adat
saat itu. Anggota sidang adat yang hadir boleh berubah-ubah/berganti-ganti asal
dia diakui sebagai mewakili Hatobangon, Orang kaya, Raja ni Huta, dan
lain-lain. Keputusan sidang adat yang berbeda inipun tidak salah menurut adat.
Sebab keputusan tertinggi adalah hasil musyawarah. Keputusan boleh berubah-ubah
seperti bingkai induri dan rotan bisa bengkok sedikit-sedikit. Karena
yang diutamakan adalah kedamaian yang terbit-adat.
Persoalan marga
perlu mendapat perhatian yang serius dari sekarang karena permasalahannya sudah
terlampau besar. Pantas dipecah supaya orang-orang agar jangan melanggar adat
kawin semarga. Tiap marga sudah lebih dari tujuh generasi belum dipecah.
Walaupun sudah terpecah menjadi beberapa ranting/cabang, tetapi belum ada horja
kesepakatan resmi boleh kawin-mengawini. Misalnya:
1)
Hasibuan
berpecah menjadi Hasibuan
Botung
Hasibuan
Harayan
Hasibuan
Binongar
Hasibuan
Dasopang
2)
Harahap
berpecah menjadi Harahap
Sidangkal
Harahap
Mompang
3) Siregar berpecah menjadi Siregar
Salak
Siregar
Pahu
Siregar
Siagian
Siregar
Sormin
Siregar
Dongoran
Siregar
Baumi
Ritonga
Dan
lain-lain
4) Lubis berpecah menjadi Lubis
si Langkitang
Lubis
si Baitang
5) Nasution berpecah menjadi Nasution
Sibaroar
Nasution
Borotan
Nasution
Padang Garugur
Nasution
Jambu
Nasution
Manggis
Nasution
Lancat
Nasution
Joring
Nasution
Tanga Hambeng
Nasution
Mangintir
6. Rangkuti berpecah menjadi Rangkuti
Parinduri
7. Dan sebagainya.
Marga-marga tersebut sudah berpecah umumnya di
atas tujuh generasi. Tujuh sundut suada mara, jadi sudah boleh kawin
mengawini. Menurut hukum Mendel juga sudah boleh, karena sudah banyak
bercampur. Saran Manigor alangkah baiknya kalau diadakan sidang adat secara
menyeluruh untuk memutuskan secara resmi setiap ranting tersebut sudah boleh
kawin mengawini. Tujuan utamanya supaya orang jangan melanggar adat; merusak
adat yang disebut kawin semarga. Hal ini hanya sekedar saran Manigor demi
memelihara adat ni Ompunta Narobian yang begitu baik, maka jangan
dirusak-rusak. Adat Batak (dalam hal ini
Angkola-Mandailing) menggugah timbulnya kasih sayang sebagai fitrah manusia.
Hanya dengan kasih sayang maka kehidupan ini dapat terpelihara.
b. Marga Menunjukkan Identitas
Marga menunjukkan beberapa identitas seseorang, hal ini akan
dijelaskan sebagai berikut.
1)
Identitas
Keturunan
Umumnya marga
bisa menjadi penunjuk identitas, misalnya jika disebut marga Hasibuan maka
tidak diragukan lagi mereka mereka yang bermarga Hasibuan satu keturunan. Satu
kelompok satu keturunan. Di sini, marga berfungsi sebagai identitas suatu
kelompok seasal-usul seketurunan.
Ajaran Hapantunon
yang diwariskan Ompunta Narobian menyatakan bahwa tidak sopan
menyebut nama seseorang kalau dia lebih tua atau pangkatnya lebih tinggi. Karena
itu, setiap orang Angkola-Mandailing merasa tersinggung apabila seseorang yang
lebih muda dari dia memanggil namanya di depan orang banyak. Anak yang
memanggil nama orang yang lebih tua dari dia itupun ditegur dan dituduh tidak
mengetahui sopan santun, tidak mengetahui adat. Dalam Hapantunon telah
ada istilah tutur untuk memanggil seseorang yaitu: abang, angkang, amangboru,
tulang, dan sebagainya.
Pada partuturon
inipun ada tingkatannya, ada aturan pemakaiannya. Misalnya bere dan amangboru
itu sama, tetapi kepada yang lebih tua atau orang yang dihormati harus dipakai amangboru.
Begitulah tutur yang digunakan dalam masyarakat Angkola-Mandailing. Sayangnya,
pada saat bergaul dengan orang luat lain suku, mereka tidak terbiasa dengan
martutur, sehingga orang Angkola-Mandailing yang biasa merantau untuk
menghindarkan perasaan tersinggung tersebut menyembunyikan namanya dan
menonjolkan marga. Seperti penulis yang bernama Ir. L. P. Hasibuan, identitas
dirinya adalah Lompo Pangihutan disingkat dengan L. P. saja dan yang
ditonjolkan marganya, yaitu Hasibuan.
2)
Identitas Asal
Kampung
Untuk mengenal
kampung asal; marga juga dipakai sebagai pengelompokan dari kampung tersebut
sekaligus pengelompokan seketurunan, misalnya:
a) Lumbantobing
berasal dari kampung yang terletak di pinggir tebing di daerah Silindung.
b) Hutagaol
berasal dari kampung yang banyak pisang (gaol ‘pisang’).
c) Hutajulu
berasal dari kampung sebelah hulu sungai, dan sebagainya.
3)
Identitas Nenek
Moyang
Untuk mengenang nenek moyang yang dianggap bertuah, mereka memakai
marga dari nenek moyang tersebut. Misalnya marga Hasibuan, nenek moyang mereka
bernama Raja Hasibuan.
4)
Identitas
Mengenang Tuah Nenek Moyang
Nasution berasal dari perkataan na sakti on artinya orang
yang bertuah ini, sehingga untuk mengenang nenek moyang bertuah itu mereka
memakai marga nasution dengan harapan tuah nenek-moyang sampai kepada
keturunannya.
5)
Identitas
Mengenang Kesetiaan
Parmata Sapihak
adalah nenek moyang kita marga Daulae. Ibu Parmata
Sapihak dan istrinya meurut cerita marga Hasibuan adalah namboru dan
saudara perempuan Ompu Soduguron. Ompu Soduguron adalah nenek moyang
marga Hasibuan yang datang mencari tanah ke Tapanuli Selatan dari Tapanuli
Utara, bersama-sama dengan Parmata Sapihak. Jadi, Parmata Sapihak dan
Ompu Soduguron berlae bertunggane karena mereka berdua
memimpin rombongan yang mendapat daerah subur di Barumun. Karena itu, Ompu
Soduguron menyuruh laenya Parmata Sapihak mendirikan kerajaan
di sebelah hilir sungai Barumun. Mengingat perkembangan manusia, maka
dimintalah Parmata Sapihak mengambil tanah itu jauh ke hilir, dalam
bahasa Batak Dao Lae. Kemudian, Parmata Sapihak mengambil tanah
di sebelah hilir, teteapi kemudian pindah ke Lubuk Simarbuaya dekat Lubuk
Botung tempat tungganenya Ompu Soduguron. Begitu ceritanya yang
tertinggal, sebagai kenangan adalah Dao Lae menjadi marga Daulae.
Keturunan Parmata
Sapihak yang tertinggal di tanah Batak Utara ataupun di Lobu Batara Guru
membuat marga mereka Matondang. Hal ini karena kampung mereka bernama Matondang.
Ada juga yang membuat marganya Batubara, berasal kata Datu Dara,sebab
Datu Dara Datu Bonggur Niaji. Mereka lebih terkesan akan kedatuan nenek
moyang mereka itu, maka dibuatlah marga mereka menjadi marga Batubara.
Jadi Matondang, Batubara, dan Daulae berasal dari satu
keturunan Ompu Parmata Sapihak. Cuma bedanya kalau marga Daulae berarti
keturunan Ompu Parmata Sapihak yang sudah pernah tinggal di daerah
Barumun, yang nenek moyangnya sempat dibawa Ompu Parmata Sapihak ke
Barumun.
Demikian
riwayat timbulnya asal nama marga tersebut, namun maksud dan tujuan utama
adalah untuk memperbaiki bibit keturunan sehubungan dengan ilmu genetika.
Karena itu refleksi budaya Dalihan na Tolu yang tercermin dari bahasa
masyarakat Angkola-Mandailing sangat bernilai luhur dan sangat penting untuk
dilestarikan.
c. Nilai Budaya
Adapun nilai
budaya yang terkandung dalam kekerabatan Dalihan na Tolu menurut Harahap
(2004:35) adalah:
1)
Lungun = rindu
2)
Holong = kasih sayang
3)
Anak = anak laki-laki
4)
Boru = anak perempuan
5)
Sahata saoloan = seia sekata
6)
Marsisarian = tolong-menolong
7)
Sobar = sabar; tabah
8)
Mora = Unsur Dalihan na Tolu pihak
pengambil istri
9)
Anak boru = Unsur Dalihan na Tolu pihak pengambil istri
10)
Inang = ibu
11)
Namboru = Saudara perempuan ayah; ibu suami
12)
Tulang = saudara laki-laki ibu; ayah istri
13)
Anak ni namboru
= putra saudara perempuan ayah
14)
Boru ni tulang = putri saudara laki-laki ibu
15)
Amang = ayah
16)
Babere = Anak saudara perempuan; menantu laki-laki
17)
Martandang = bertandang; pergaulan muda-mudi
18)
Marbagas = menikah
19)
Pamrih
20)
Na toras = ayah dan ibu (orangtua)
21)
Na poso/Nau uli
bulung = muda mudi
22)
Marga/tutur = panggilan kekerabatan
23)
Pantis = diplomatis
24)
Kahanggi = unsur Dalihan na Tolu pihak ego
25)
Pisang rahut = unsur Dalihan na Tolu, anak boru dari anak boru
26)
Ompung =kakek; nenek
27)
Pahompu = cucu
28)
Hatobangon = cerdik pandai; tokoh masyarakat
29)
Sirang = cerai, berpisah
Dalam pergaulan sehari-hari, baik dalam kalangan kerabat maupun
dengan masyarakat pada umumnya, orang Angkola-Mandailing memiliki tiga gaya
bicara yang khas sebagai ciri khas bagi wilayah tempat tinggalnya. Orang
Mandailing dikenal bergaya bicara pantis, berbicara lemah lembut dan
lantunan lagu kalimat yang merdu membujuk. Mereka berbicara dengan gaya yang
diplomatis, kadang-kadang tidak langsung pada pokok masalah. Secara ekstrim
orang luar Mandailing memberi kesan terhadap gaya bicara ini sukar ditangkap
maknanya, kurang tegas. Untuk mengatakan “tidak” misalnya, dinyatakan dengan
penjelasan-penjelasan yang menggambarkan makna “tidak” itu. Nada suara mereka
rendah ketika berbicara, tidak lantang. Keadaan ini mungkin disebabkan lembah
Mandailing yang subur, banyak ditumbuhi pohon, sehingga tidak perlu bersuara
keras ketika sedang berbicara.
Sementara itu, orang Angkola bergaya bicara laok, cepat
akrab dengan menggunakan tutur kekerabatan, terus-terang, cepat lebur dalam
citra kebersamaan. Berbeda dengan langgam bicara orang Mandailing yang
mengucapkan semua huruf setiap kata yang diucapkannya, orang Angkola tidak
demikian. Sebagai contoh, orang Angkola melafaskan huruf sengau yang diikuti
huruf mati berubah menjadi dua huruf mati, misalnya: angkang, nantulang,
ompung, namboru, amangtua, uncok masing-masing dilafaskannya menjadi: akkang,
nattulang, oppugn, nabboru, amattua, uccok. Bahkan dalam tulisan, orang
Angkola menuliskan kata-kata serupa itu sesuai dengan lafas mereka. Volume
suara orang Angkola lebih besar dibandingkan dengan suara orang Mandailing,
karena lingkungan Angkola lebih terbuka, berangin, bergunung-gunung.
Gaya berbicara ketiga adalah purpur yang dimiliki orang
Padang Bolak Raya, wilayah dataran tinggi, bergunung, berangin dan padang yang
luas. Volume suara mereka lebih besar dari volume suara orang Angkola. Mereka
berbicara lantang, tegas, dan terbuka. Suasana Padang Bolak Raya itu sebagian
digambarkan di dalam ungkapan ini:
Padang Bolak na manyalese, na tubuan balangka dohot game-game.
Sora ni haba-haba markusesek, angkon marsijouan do anso tarbege.
Mereka
suka berbicara tentang hal-hal yang hebat, humor, dan anekdot. Sebagaimana halnya
dengan orang Angkola, orang Padang Bolak Raya terus ke Barumun Raya cepat akrab
melalui partuturon yang langsung menentukan hubungan kekerabatan.
Tiga langgam
bicara ini, pantis, laok, dan purpur, merupakan ciri khas orang
Angkola-Mandailing yang memperkaya khazanah nilai kekerabatan di kalangan
mereka. Wilayah Mandailing dipisahkan oleh dinding alam gugus Bukit Barisan
dengan wilayah Angkola, Padang Bolak Raya, dan Barumun Raya. Streotip timbul di
kalanan mereka karena kurangnya frekuensi hubungan di antara mereka dari
wilayah yang berbeda itu. Streotip itu bukanlah hal yang serius karena biasanya
hanya sekedar cerita-cerita humor dan anekdot.
Dua unsur utama
nilai kekerabatan, lungun dan holong, merupakan bukti adanya
ikatan kekeluargaan yang kuat di antara para kerabat dari wilayah yang luas
itu. Lungun dan holong ini merupakan modal utama untuk memelihara
kestabilan dan kehangatan hubungan kekerabatan di kalangan orang Angkola-Mandailing.
Ada
kecenderungan kalangan terpelajar dan elit masyarakat Angkola mencari calon
istri ke Mandailing. Hal ini didorong oleh penampilan gadis-gadis Mandailing yang lemah lembut, alim, dan
keibuan. Menurut mereka sifat-sifat itu sangat penting dalam membina dan
mendidik anak-anak serta menimbulkan suasana nyaman di dalam keluarga.
Anak, baik
laki-laki maupun perempuan merupakan harta yang paling mahal bagi orang
Angkola-Mandailing. Apabila dua orang setengah baya bertemu setelah berpisah
dalam jangka waktu yang lama, atau pada perkenalan pertama, maka dalam dialog
pertama mereka terdengar saling bertanya tentang anak-anak mereka. Bila mereka sudah berusia
lanjut, maka pertanyaan dan cerita di kalangan mereka adalah tentang cucu.
Selanjutnya,
berikut adalah beberapa ungkapan tradisional tentang anak dan boru.
Bargot na marijuk
Singkoru
di roba-roba
Sai
tubu nian anak na bisuk
Dohot
boru na marroha
Ditalpok
dangka ni singkoru
Ditampul
dangka ni simartulan
Dung
adong anak dohot boru
Sai
martamba ma sinadongan
Martinjak
di Angkola
Ganop bingkas
mangonai
Na
ringgas nian on sikola
Tu
dongan na pogos marpanaili
Sai
mardoter, mardotur asa mardotor
Sai
gabe mester, insinyur, sanga doctor
Na
marguna tu bangso dohot Negara
Marguna
tu koum sisolkot dohot agama
Laklak
dohot singkoru
Sira
di abal-abal
Anak
dohot boru
I do
harta na bonggal
Lima ungkapan itu memberi gambaran betapa orang Angkola-Mandailing
memandang anak sebagai harta termahal. Harta kekayaan diidam-idamkan setelah
memiliki putra dan putri. Dengan perkataan lain, seorang yang kaya raya tetapi
tidak mempunyai anak, dalam pandangan orang Angkola-Mandailing orang yang
memiliki kekayaan melimpah itu adalah orang miskin. Anak yang diidam-idamkan
adalah anak yang beragama, berilmu, arif, penuh pengertian, suka menolong,
berguna bagi nusa, bangsa, dan agama. Untuk mencapai idaman itu orangtua
Angkola-Mandailing bekerja keras walau hidup bersakit-sakit supaya anak-anaknya
bersekolah.
4. Data Leksikon Dalihan na Tolu
Data leksikon yang
akan dipaparkan kali ini di antaranya data leksikon yang telah diteliti oleh
Harahap (2004:34-39) yang akan dikemukakan sebagai berikut.
Istilah kekerabatan/Dalihan na Tolu (data leksikon)
merupakan jalur penghubung yang menguatkan ikatan kekerabatan orang
Angkola-Mandailing. Puluhan istilah kekerabatan orang Angkola-Mandailing yang
telah dianalisis oleh Harahap, yaitu:
1)
Amang adalah tutur anak laki-laki dan perempuan. Amang juga boleh
diucapkan kepada seorang tua laki-laki pada saat berkenalan sebelum martarombo.
Misalnya, “Ahado marga ni amang?” artinya “Apa marga Bapak?”.
2)
Amang boru adalah suami dari saudara perempuan ayah kita. Amang boru juga
tutur perempuan yang sudah menikah kepada ayah suaminya, mertua laki-laki.
Saudara laki-laki dari perempuan yang sudah menikah itu pun juga menyapa mertua
laki-laki saudara perempuannya itu dengan amang boru.
3)
Amang menek adalah tutur seorang ibu kepada anak laki-laki dari anak perempuan
dari anak perempuannya.
4)
Amang mulak adalah ayah dari kakek kita dari pihak ayah dengan perkataan lain,
ayah dari ayah dari ayah kita, atau kakek dari ayah kita.
5)
Amang na Poso adalah tutur perempuan kepada anak laki-laki dari saudara
laki-lakinya.
6)
Amang na Poso
Mulak adalah sapaan perempuan kepada cucu
laki-laki dari anak laki-laki amang na poso.
7)
Amang Tobang adalah sapaan laki-laki dan perempuan kepada suami dari kakak ibu
mereka. Sapaan ini juga adalah sapaan kita kepada ayah dari kakek kita.
8)
Amang Tua adalah sapaan kepada abang ayah kita.
9)
Amang Uda adalah tutur kepada adik ayah kita.
10)
Anak adalah sapaan bagi anak laki-laki.
11)
Anak Mulak adalah kebalikan amang mulak. Jadi, kita (laki-laki) adalah
anak mulak bagi ayah dari kakek kita dari pihak ayah.
12)
Anak Tobang adalah tutur kebalikan dari amang
tobang.
13)
Anggi adalah sapaan kepada saudara yang lebih muda sesame laki-laki atau
sesame perempuan. Anggi juga merupakan sapaan kakek atau nenek kepada
cucunya.
14)
Angkang adalah sapaan kepada saudara yang lebih tua sesame laki-laki atau
sesame perempuan. Tutur ini juga dipakai untuk menyapa istri angkang kita.
15)
Angkang Mulak adalah kata sapaan kita kepada anak perempuan dari kakek ayah kita.
16)
Apak Ketek adalah suami dari adik perempuan ibu kita. Tutur ini sama artinya
dengan amang menek.
17)
Apak Tuo adalah suami dari kakak ibu kita. Tutur ini juga merupakan istilah
kekerabatan Minangkabau yang sering diterjemahkan menjadi apak tobang. Apak
tuo juga termasuk di dalam kelompok kahanggi pareban dalam istilah
kekerabatan Dalihan na Tolu.
18)
Bayo adalah tutur timbal balik antara anakboru laki-laki dan mora
perempuan. Hubungan orang-orang yang terikat dengan jaringan kekerabatan ompung
bayo disebut juga na marbaso. Komunikasi antar na marbaso sangat
formal dan terbatas dengan pilihan kata-kata yang tepat dan jelas, sehingga
tidak dapat diartikan lain. Jika mereka berdialog, maka sapaan mereka timbal
balik adalah halak ompung. Tidak ada suasana bercanda di antara mereka.
Kadar rasa malu di antara merekapun sangat tinggi. Ketika mereka berdialog,
mereka saling menyapa dengan kata ompung atau halak ompung ialah
kata lain dari ompung bayo. Istilah kekerabatan bayo atau ompung
bayo yang berlaku secara timbal balik. Tetapi dalam dialog antara anakboru
perempuan dengan mora perempuan dalam pembicaraan tentang anakboru
laki-laki (suami dari anakboru perempuan itu), anakboru perempuan
menyebut suaminya sebagai bayo dari mora perempuan. Contohnya:
Kakak
kita : “Pandokkon ni bayomu inda
ro ia sadari on.”
Istri
kita : “Giot tudia lakna halak
ompung?”
Tokoh
bayo dan halak ompung pada dialog di atas adalah orang yang sama.
19)
Bere adalah sapaan seorang laki-laki kepada anak laki-laki dan anak
perempuan dari saudara perempuannya Tutur ini juga diucapkan oleh mertua
laki-laki dan mertua perempuan kepada suami anak perempua mereka.
20)
Bere Mulak adalah tutur laki-laki kepada anak laki-laki dan anak perempuan
dari saudara perempuan kakeknya (ayah dari ayahnya). Tutur ini juga diucapkan
oleh seorang ibu kepada amang boru dari suaminya.
21)
Boru adalah istilah kekerabatan untuk anak perempuan.
22)
Boru Mulak adalah sapaan yang diucapkan oelh seorang perempuan dari saudara
perempuan kakeknya (ayah dari ayahnya).
23)
Boru Tulang adalah tutur yang diucapkan oleh laki-laki dan perempuan kepada
anak perempuan dari saudara laki-laki ibu mereka.
24)
Boru Tulang
Halalango adalah tutur seorang laki-laki
kepada anak perempuan dari anak laki-laki dari saudara laki-laki ibu dari
ibunya.
25)
Bou adalah sapaan kepada saudara perempuan ayah. Tutur ini juga
merupakan sapaan seorang ibu kepada ibunda suaminya. Istilah kekerabatan ini
merupakan bentuk singkat dari inang boru dan namboru. Artinya,
tokoh ini sesungguhnya adalah inang karena ia adalah saudara perempuan
ayah, tetapi juga sebagai boru karena ia adalah anak perempuan kakek
(ayah dari ayah).
26)
Bou Mulak adalah sapaan laki-laki kepada cucu perempuan dari anak laki-laki
dari saudara perempuan ayah kakek kita dari pihak ayah.
27)
Bujing adalah adik perempuan ibu.
28)
Eda adalah tutur timbal balik antara istri dan saudara perempuan
suaminya.
29)
Etek sama dengan bujing. Tutur ini merupakan pengaruh dari tutur
kekerabatan Minangkabau pada tutur kekerabatan Angkola-Mandailing.
30)
Hela adalah sapaan mertua laki-laki kepada suami anak perempuannya.
Bandingkan dengan bere.
31)
Iboto adalah tutur timbal balik antara saudara laki-laki dan saudara
perempuan ito.
32)
Iboto Mulak adalah tutur timbal balik antara kakek dari sebelah ayah dengan
anak perempuan dari anaknya yang laki-laki. Atau dengan perkataan lain, antara
kakek dan cucu perempuan (anak perempuan dari anak laki-laki).
33)
Iboto Pamere adalah tutur timbal balik antara saudara sepupu kandung, yaitu
anak laki-laki dan anak perempuan dari
dua atau lebih ibu yang bersaudara kandung.
34)
Inang adalah tutur anak laki-laki kepada ibunya dan tutur timbal balik
antara ibu dan anak perempuannya. Tutur ini juga diucapkan secara timbal balik
antara seorang istri dan saudara perempuan dari ayah suaminya.
35)
Inang Boru sama dengan Bou.
36)
Inang Boru
Mulak sama dengan Bou Mulak.
37)
Inang Bujing sama dengan Nambujing dan Etek.
38)
Inang Mulak adalah tutur amang boru kepada menantu perempuan dan tutur
timbal balik antara namboru suami dan istrinya, sama dengan Inang.
39)
Inang Tobang sering disingkat menjadi tobang adalah sapaan anak laki-laki dan perempuan kepada kakak
perempuan ibu mereka. Sapaan yang sama kepada nenek ibu mereka (ibu dari ibu
dari ibu).
40)
Inang Tua adalah tutur kepada istri amangtua, biasa juga disingkat
menjadi mantua.
41)
Inang Tulang biasanya disingkat menjadi nantulang, sapaan kepada istri
dari saudara laki-laki ibu (laki-laki dan perempuan), dan ibu dari istri.
42)
Inang Tulang
Mulak biasanya disingkat menjadi nantulang
mulak ialah tutur amang boru suami kepada istri suami tersebut, atau
tutur kita (laki-laki dan perempuan)
kepada istri dari cucu laki-laki dari saudara laki-laki ibu kita.
43)
Inang Uda biasa disingkat menjadi nanguda ialah tutur kepada istri
dari adik laki-laki.
44)
Ipar Uda adalah tutur kepada saudara laki-laki istrinya, sama dengan tunggane.
45)
Kahanggi adalah kerabat semarga dalam Dalihan na Tolu.
46)
Lae adalah tutur laki-laki kepada suami dari saudara perempuannya,
kebalikan dari sapaan ipar.
47)
Mora adalah seluruh saudara kandung laki-laki kerabat istri yaitu
saudara laki-laki, ayah, paman, kakeknya, atau kerabat semarga dari istri. Mora
adalah satu di antara tiga unsur Dalihan na Tolu.
48)
Namboru lihat bou.
49)
Namboru Mulak lihat bou mulak.
50)
Nanguda adalah istri dari adik laki-laki ayah.
51)
Nantulang adalah sapaan kepada istri saudara laki-laki itu.
52)
Nantulang Mulak
adalah sapaan amang boru kepada istri dari amang na poso.
53)
Ompung adalah kakek dan nenek yaitu orangtua ayah dan ibu. Ompung
laki-laki sering disebut ompung halaklahi sedangkan ompung perempuan
disebut ompung dadaboru atau ompung boru. Adapula yang menyebut ompung halaklahi sebagai
ompung godang dan ompung dadaboru sebagao ompung menek artinya
ompung besar dan ompung kecil. Dalam kehidupan sehari-hari ada
yang menyebut ompung halaklahi hanya dengan ompung dan ompung
dadaboru sebagai nenek. Cukup menarik diungkapkan suatu kebiasaan yang
tidak membedakan gender para ompung dengan menyapa keduanya dalam dialog
sebagai nenek dengan membedakan keduanya menjadi nenek godang atau nenek
tuan untuk ompung halaklahi dan nenek menek untuk ompung
dadaboru. Sebenarnya di dalam jaringan kekeluargaan Dalihan na Tolu ada
perbedaan posisi ompung dari pihak ayah dan ompung dari pihak
ibu. Ompung dari pihak ibu termasuk di dalam kelompok mora, sedangkan
ompung dari pihak ayah termasuk dalam kelompok kahanggi. Itu
sebabnya orangtua ayah yaitu kakek dan nenek disebut ompung suhut. Ada
lagi sapaan ompung dongan ialah
sapaan seorang laki-laki kepada anak perempuan saudara perempuan ayahnya dan
sebaliknya, sapaan seorang perempuan kepada anak laki-laki dari saudara
laki-laki ibunya. Ada lagi sapaan ompung mulak ialah sapaan kepada kakek
dari kakek dari pihak ayah. Sapaan ompung mulak juga berlaku antara
laki-laki keturunan pisang rahut dan keturunan mora ni mora dalam
kekerabatan Dalihan na Tolu. Banyaknya sapaan yang memakai kata ompung
memberi isyarat bahwa tokoh ompung di dalam tatanan masyarakat. Dalihan na
Tolu memegang berbagai peranan penting.
54)
Ompung boru sama dengan ompung.
55)
Ompung dongan sama dengan ompung.
56)
Ompung
halaklahi sama dengan ompung.
57)
Ompung mulak sama dengan ompung.
58)
Ompung suhut sama dengan ompung.
59)
Pahompu adalah cucu.
60)
Pahompu dongan adalah cucu dari ompung dongan.
61)
Pahompu mulak sama dengan ompung mulak.
62)
Pareban adalah tutur kerabat sesame laki-laki yang istrinya bersaudara
kandung.
63)
Pisang rahut adalah anak boru dari anak boru.
64)
Tulang adalah sapaan anak laki-laki dan perempuan kepada saudara laki-laki ibu mereka. Sapaan ini juga
berlaku bagi menantu laki-laki kepada mertua laki-laki. Ada istilah yang sama
maknanya dengan tulang ialah mamak. Sapaan ini merupakan adopsi
dari istilah kekerabatan Minangkabau.
65)
Tulang mulak adalah sapaan laki-laki dan perempuan kepada tulang kakeknya.
66)
Tulang na Poso adalah sapaan amang boru kepada cucu laki-laki tulangnya.
67)
Tunggane adalah saudara laki-laki istri.
C. Simpulan
Berdasarkan
pemaparan di atas, maka dapat disimpulkan bahwa masyarakat Batak pada umumnya
memegang sistem kekerabatan Dalihan na Tolu, termasuk juga dengan
masyarakat Angkola-Mandailing yang wilayahnya juga sangat berdekatan.
Kekerabatan sejenis ini terjadi karena adanya sistem kekerabatan Dalihan na
Tolu yang dapat membuka hubungan kekerabatan dengan keluarga lain di luar
ikatan darah karena terjadinya pernikahan. Adapun istilah partuturon
dalam Dalihan na Tolu terdiri dari: Kahanggi (anak, saudara
laki-laki, bapak, uda, amangtua, dan lain-lain), Anakboru (semua
kelompok bere, lae, amangboru, dan sebagainya), Mora (semua
kelompok tunggane, tulang, dan seterusnya). Sebetulnya masih ada dua
kelompok lagi, yakni pisang raut dan mora ni mora. Pisangraut
adalah anakboru dari anakboru kita. Mora ni Mora
adalah keluarga tempat pengambilan boru dari mora kita. Tujuan
utama memahami Dalihan na Tolu supaya orang jangan melanggar adat;
merusak adat yang salah satunya disebut dengan kawin semarga. Hal ini dilakukan
demi memelihara adat ni Ompunta Narobian yang begitu baik, maka jangan dirusak-rusak.
Karena adat Batak (dalam hal ini Angkola-Mandailing) menggugah timbulnya kasih
sayang sebagai fitrah manusia. Hanya dengan kasih sayang maka kehidupan ini
dapat terpelihara. Di samping itu, dengan mengetahui asal nama marga untuk
memperbaiki bibit keturunan sehubungan dengan ilmu genetika. Karena itu
refleksi budaya Dalihan na Tolu yang tercermin dari bahasa masyarakat
Angkola-Mandailing sangat bernilai luhur dan sangat penting untuk dilestarikan.
Dengan demikian, data leksikon yang ditemukan dalam nilai budaya Dalihan na
Tolu menjadi warisan normatif yang
menjadi kekayaan budaya nusantara dan dapat membuat kehidupan yang lebih baik
bagi orang Angkola-Mandailing, khususnya, dan menjadi wawasan bagi orang suku
di luar Angkola-Mandailing pada umumnya. Semoga bermanfaat bagi kebaikan
seluruh suku di wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia.
DAFTAR PUSTAKA
Harahap, Basyral Hamidi. 2004. Siala Sampagul. Pemerintah
Kota Padangsidimpuan: Padangsidimpuan.
Managor, Sutan. 1995. Pastak-Pastak ni Paradaton Masyarakat
Tapanuli Selatan. CV. Media Medan: Medan.
Alam, Sutan
Tinggibarani Perkasa. 1977. Burangir na Hombang. Padangsidimpuan.
Sumber dari
Website:
https://www.google.co.id/search?q=gambar+dalihan+natolu&safe=active&espv=2&source=lnms&tbm=isch&sa=X&ved=0ahUKEwjJjY6K7onTAhWMqY8KHcN7APgQ_AUIBigB&biw=1366&bih=662#imgrc=caGWIz7eY6u79M:
diakses pada tanggal 4 April 2017 pukul 10.37 WIB.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar