Mitology Orang Oirata Tercermin pada
keunikan dalam berbahasa
(studi pada sebuah pemukiman di
Pulau Kisar)
Pendahuluan
Etnolinguistik terbentuk dari gabungan kata etnologi dan linguistik,
yang lahir karena adanya penggabungan antara pendekatan yang biasa dilakukan
oleh ahli etnologi (kini: antropologi budaya) dengan pendekatan linguistik.
Nama lain untuk menyebut istilah etnolinguistik adalah antropo linguistik atau
linguistik antropologi (Duranti, 1997:2).
Etnolinguistik merupakan cabang ilmu linguistik yang
mempelajari struktur bahasa berdasarkan cara pandang dan budaya yang dimiliki
masyarakat. Sebagaimana yang dikemukakan oleh Humboldt bahwa perbedaan persepsi
kognitif dan perbedaan pandangan dunia dari suatu masyarakat dapat dilihat dari
bahasanya. Dikatakan bahwa each language…contains a characteristics
worldview (Wierzbicka, 1992: 3). Dalam pandangan etnolinguistik,
terdapat keterkaitan antara bahasa dengan pandangan dunia penuturnya. Sementara
itu, menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, etnolinguistik merupakan cabang
linguistik yang menyelidiki hubungan antara bahasa dan masyarakat pedesaan atau
masyarakat yang belum mempunyai tulisan.
Etnolinguistik menelaah bahasa bukan hanya dari
struktursemata,tapi lebih pada fungsi dan pemakaiannya dalam konteks situasi
sosial budaya. Sementara menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, etnolinguistik
merupakan cabang linguistik yang menyelidiki hubungan antara bahasa dan
masyarakat pedesaan atau masyarakat yang belum mempunyai tulisan. Menurut
pendapat Wilhelm von Humboldt, bahwa perbedaan
persepsi kognitif dan perbedaan pandangan dunia dari suatu masyarakat
dapat dilihat dari bahasanya. Dalam pandangan etnolinguistik, terdapat
keterkaitan antara bahasa dengan pandangan dunia penuturnya.
Menurut Harimurti Kridalaksana (1983:42),
etnolinguistik adalah (1) cabanglinguistik yang menyelidiki hubungan antara
bahasa dan masyarakat pedesaan atau masyarakat yang belum mempunyai tulisan,
bidang ini juga disebut linguistik antropologi (2) cabang linguistik antropologi
yang menyelidiki hubungan bahasa dan sikap kebahasawanterhadap bahasa, salah
satu aspek etnolinguistik yang sangat menonjol ialah masalah
relavitas bahasa. Relativitas bahasa adalah salah satu pandangan
bahwa bahasa seseorang menentukan pandangan dunianya melalui ketegori
gramatikal dan klasifikasi semantik yang ada dalam bahasa itu dan yang dikreasi
bersama kebudayaan (Harimurti Kridalaksana, 1983:145). Sedangkan menurut Wakit
Abdullah (2013:10), etnolinguistik adalah jenis linguistik yang menaruh perhatian
terhadap dimensi bahasa (kosakata, frasa, klausa, wacana, unit-unit lingual
lainnya) dalam dimensi sosial dan budaya (seperti upacara ritual, peristiwa
budaya, folklor dan lainnya) yang lebih luas untuk memajukan dan mempertahankan
praktik-praktik budayadan struktur sosial masyarakat.
Putra (1997) dalam makalah Temu Ilmiah Bahasa
dan Sastra berjudul Etnolinguistik: Beberapa Bentuk Kajian menjelaskan
bahwa etnolinguistik secara etimologis terbentuk dari kata etnologi dan
linguistik. Etnologi merupakan ilmu tentang unsur atau masalah kebudayaan suku
bangsa dan masyarakat penduduk suatu daerah diseluruh dunia secara komparatif
dengan tujuan mendapatkan pengertian tentang sejarah dan proses evolusi serta
penyebaran kebudayaan umat manusia di muka bumi (KBBI, 2008:383). Kemudian
linguistik memiliki pengertian telaah ilmiah mengenai bahasa manusia (Martinet,
1987:19 dalam Chaer, 2007:1-2). Jadi, etnolinguistik adalah studi tentang
proses terbentuknya kebudayaan dan keterkaitannya dengan bahasa (Putra, 1997:1).
Sejalan dengan pendapat tersebut, Duranti (1997:2)
mendeskripsikan etnolinguistik sebagai te study of language as a
cultural resource and speaking as a cultural practice, artinya bahwa
etnolinguistik merupakan studi tentang bahasa sebagai sumber budaya dan
berbahasa sebagai praktik budaya. Maksudnya, bahwa bahasa dan budaya memiliki
keterkaitan satu sama lain karena untuk memahami budaya harus mengerti
bahasanya terlebih dahulu dan untuk mengerti bahasa maka harus paham tentang
budayanya. Ini merupakan wujud kesinergian antara ilmu sosial dan humaniora.
Mendukung pendapat Putra (1997) dan Duranti (1997),
Foley (2001:5) juga menjelaskan bahwa antropological linguistics is a
search for te meanings in linguistic practices witin wider cultural practices. Dalam
pernyataan ini Foley mengatakan linguistik antropologi atau yang dikenal juga
dengan etnolinguistik adalah ilmu yang mengkaji makna dalam praktik kebahasaan
dengan praktik budaya yang lebih luas. Artinya, bahwa etnolinguistik membahas
tentang keterkaitan antara bahasa dan budaya suatu masyarakat dimana suatu
bahasa akan muncul dari sebuah kebudayaan atau kebiasaan masyarakat.
Selain itu, Foley juga mendeskripsikan bahwa antropological
linguistics views language trough te prism of te core antropological concept,
culture, and, as such, seeks to uncover te meaning behind te use, misuse or
non-use of language, its different forms, registers and styles (Foley,
2001:3), maksudnya bahwa etnolinguistik memandang bahasa melalui sudut pandang
konsep antropologi yang berupa budaya sehingga kajian etnolinguistik dapat
mengungkap makna dibalik penggunaan, penyalahgunaan ataupun bukan
penyalahgunaan bahasa, bentuk yang berbeda dari suatu bahasa, register, dan
gaya bahasa.
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa
etnolinguistik secara garis besar mengkaji tentang hubungan antara bahasa dan
kebudayaan suatu masyarakat atau suku bangsa. Artinya, etnologi/antropologi
memberi sumbangan bagi linguistik dan linguistik juga memberi sumbangan bagi
etnologi/antropologi seperti penjelasan dalam Putra sebagai berikut.
a. Dari Linguistik
untuk Etnologi. Suatu kajian linguistik sangat berarti bagi etnologi, karena
untuk dapat mengetahui lebih dalam tentang kebudayaan suatu masyarakat, maka
seorang peneliti harus memahami pengetahuan dari masyarakat tersebut. Lebih
jauh lagi pengetahuan suatu masyarakat tersimpan dalam bahasa yang digunakan.
Oleh karena itu, untuk dapat memahami perilaku suatu kelompok masyarakat maka
harus mempelajari bahasanya terlebih dahulu; sebab bahasa berkaitan erat dengan
pandangan hidup, cara memandang kenyataan, struktur pemikiran, dan perubahan
dalam masyarakat.
b. Dari Etnologi
untuk Linguistik. Kajian etnologi juga memberikan sumbangsih kepada linguistik,
yaitu bahwa untuk memahami bahasa yang digunakan oleh suatu masyarakat, seorang
penelitipun harus berbekal antropologi atau etnologi. Sebab kebudayaan terkait
erat dengan sejarah bahasa, peta bahasa, dan makna bahasa (1997:4-10).
Berdasarkan penjelasan tersebut maka dapat dilihat
bahwa linguistik dan etnologi ternyata saling terkait dan tidak terpisah satu
sama lain, sehingga di Indonesia yang memiliki kekayaan budaya melimpah dengan
bahasa yang beragam seharusnya membuat studi tentang etnolinguistik menjadi
penting. Hal ini dimaksudkan untuk mengetahui bagaimana keunikan-keunikan
bahasa pada setiap budaya dan bagaimana pandangan hidup masyarakat penganut
budaya yang ada di Indonesia.
Foley (2001: 2) dalam bukunya yang berjudul Antropological
Lingusitics An Introduction memberi definisi antropologi linguistik
atau etnolinguistik sebagai antropological linguistics is tat sub-field
of linguistics which is concerned wit te place of language in its wider social
and cultural context, its role and forging and sustaining cultural practices
and social structures. linguistik antropologi adalah sub-bidang linguistik
yang menaruh perhatian terhadap posisi bahasa dalam konteks sosial budaya yang
lebih luas untuk memajukan dan mempertahankan praktek-praktek budaya dan
struktur sosial.
Hymes dalam Duranti (2007: 2) menyimpulkan bahwa etnolinguistics
is te study of speech and language witin te context of antropology etnolinguistik
adalah ilmu yang mempelajari tuturan dan bahasa yang dikaitkan dengan konteks
antropologi. Ilic (2004: 1) dalam artikel internasionalnya mengemukakan
: Language might influence and be influenced by culture, and what can
be found out about a particular culture by studying its language by providing
an overview of te relationship between te study of language and te study of
culture. Bahasa mungkin memengaruhi dan dipengaruhi budaya, dan apa yang
dapat ditemukan pada bagian budaya dapat dipelajari menggunakan bahasanya
dengan menyediakan pandangan hubungan antara studi bahasa dan budaya.
Pernyataan Ilic di atas dapat disimpulkan bahwa bahasa
menjadi salah satu produk budaya yang dapat memengaruhi dan dipengaruhi oleh
budaya itu sendiri. Selain itu, bahasa juga dianggap prevoir budaya, maksudnya
adalah bahwa bahasa itu selalu akan menjadi penanda bagi kehadiran budaya dan
masyarakat yang menjadi wadahnya. Bahasa, budaya dan masyarakat, selalu saling
berkaitan, dan seakan-akan selalu harus hadir bersamaan (Rahardi, 2009, 7).
Kaelan (2002: 9) juga menyatakan bahwa bahasa sebagai suatu yang khas milik
manusia tidak hanya merupakan simbol belaka melainkan merupakan media
pengembang pikiran manusia terutama dalam mengungkapkan realitas segala sesuatu
seperti budaya.
Menurut Haugen dalam Aron, (2007: 10) menyatakan bahwa
etnolinguistik merupakan satu kajian dari sepuluh kajian ekologi bahasa yang
sudah mapan. Haugen mengartikan bahwa etnolinguistik atau linguistik
antropologi atau linguistik kultural membedah pilih-memilih penggunaan bahasa,
cara dan pola pikir dalam kaitan dengan pola penggunaan bahasa, bahasa-bahasa
ritual, dan kreasi wacana.
Penelitian semacam ini menimbulkan adanya hubungan
timbal balik yang menguntungkan antara disiplin etnologi dengan disiplin
linguistik. Kedua disiplin ilmu tersebut saling menyumbangkan keuntungannya
satu sama lain. Putra (1997: 4-9) menyatakan sumbangan linguistik untuk etnologi
tergolong banyak. Hal ini dikarenakan bahasa dianggap menjadi salah satu hasil
kebudayaan yang mampu membedah suatu budaya masyarakat. Adapun sumbangan
lingustik untuk etnologi seperti memberi penggambaran pandangan hidup suatu
masyarakat, memberi gambaran mengenai masyarakat dalam memandang suatu
kenyataan, memberi penggambaran suatu struktur pemikiran, menggambarkan
perubahan-perubahan yang terjadi dalam masyarakat. Adapun sumbangan etnologi
untuk linguistik seperti Kebudayaan dan Sejarah Bahasa, Kebudayaan dan Peta
Bahasa, dan Kebudayaan dan Makna Bahasa.
Di samping itu, kajian etnolinguistik perlu dijelaskan
pula tentang pengertian semantik leksikal. Hal ini sejalan dengan ungkapan
Wakit (2014: 19). Makna leksikal secara mikrolinguistik dalam rangka makrolinguistik
sebagai alat untuk memerikan ekspresi lingual dan deskripsi makna dalam
hubungannya dengan penyebutuan waktu, tempat, komunitas, sistem kekerabatan,
kebiasaan etnik, kepercayaan, etika, estetika, dan adat istiadat yang mengarah
pada penjelasan tentang sistem pengetahuan terkait pola pikir, pandangan hidup,
dan pandangan terhadap dunia dari masyarakat tertentu yang dicermatinya.
Wakit juga menambahkan bahwa orientasi terpenting
dalam kajian etnolinguistik sangat membutuhkan pemahaman tentang semantik
kultural (cultural semantics), yaitu makna yang dimiliki bahasa sesuai
dengan konteks budaya penuturnya (Subroto dalam Wakit, 2014: 20). Pentingnya
pemahaman tentang semantik kultural dalam kajian etnolinguistik yaitu sebagai
alat untuk menyoroti berbagai produk budaya yang terekam dalam perilaku verbal
maupun nonverbal suatu masyarakat.
Indonesia memiliki beraneka ragam suku,m agama, ras,
dan bahasa. Salah satu etnis tersebut adalah Oirata. Dalam makalah ini
dikemukakan tentang mitologi dan bahasa oirata.
PEMBAHASAN
A. Selayang
pandang perihal Suku Oirata di Pukau kisar
1. Sejarah Singkat tentang Oirata
Oirata
berasal dari dua kata, yakni: oir yang artinya ‘air’ dan riata yang
artinya ‘keruh’. Jadi, Oirata berarti ‘air keruh’. Nama Oirata itu diberikan oleh masyarakat
penduduk di sekitarnya yang sebagian besar berbahasa Meher (lebih dikenal
masyarakat luas sebagai bahasa Kisar). Artinya, kata Oirata itu sendiri bukan berasal dari
bahasa Oirata, melainkan berasal dari bahasa Meher. Masyarakat Meher memberi
nama Oirata
tersebut
berdasarkan fakta bahwa di tempat asal Suku Oirata terdapat dua sumur tua yang
konon ceritanya merupakan sumber mata air bagi masyarakat di sekitarnya. Dua
sumur tua itu letaknya berdampingan, satu sumur sebelah selatan berair jernih
yang sampai sekarang masih berfungsi dengan baik dan sumur lainnya terletak
tidak jauh (} 1,5 m) di sebelah utaranya berair sangat keruh dan diyakini oleh
masyarakat di sana mengandung racun sehingga tidak seOrang pun yang berani
memanfaatkan air yang bersumber dari sumur tersebut (lihat lampiran foto-1).
Sebelum
nama Oirata diberikan oleh Orang Meher, desa tersebut bernama negeri Manheri ‘bukit sebelah timur’ dan Mauhara ‘bukit sebelah barat’ sebagai tempat
asal leluhur Suku Oirata. Letaknya di bagian selatan Pulau Kisar. Di antara
kedua bukit Manheri dan Mauhara terdapat sebuah ngarai kecil atau lembah di
antara dua jurang bertebing terjal. Di lembah itulah terdapat dua sumur tua
yang telah dijelaskan di atas. Di
sebelah barat bukit Mauhara itu terdapat Pantai Kisar tempat pertama kali Belanda berlabuh yang
kemudian menjadi nama pulau itu.
Kalau
kita tengok kembali histOiratais tentang asal usul bahasa oirata yang kono
diawali oleh suatu marga yang terdiri atas beberapa keluarga bermukim di Pulau
We’ra dan We’ro. Kedua pulau itu terletak di sebelah selatan Pulau Damer,
kecamatan Pulau-Pulau Terselatan, Maluku Tenggara Barat. Kedua pulau itu juga
dikenal dengan nama Pulau Terbang Utara dan Terbang Selatan.Penghuni kedua
pulau itu senantiasa mencukupi hidupnya dengan cara bertani dan nelayan. Akan
tetapi, mereka tidak dapat bertahan hidup lebih lama karena tidak ada sumber
air (bersih) sebagai sumber kehidupan di kedua pulau itu. Mereka memutuskan
untuk mencari pemumukiman yang baru. Berangkatlah mereka, meninggalkan kedua
pulau itu secara berombongan dengan beberapa perahu kecil. Mereka berlayar
berhari-hari mengikuti arah gelombang dan tiupan angin. Dalam pelayaran itu,
mereka tiba-tiba disapu badai dengan gelombang besar. Mereka tidak mampu lagi
bertahan, perahu terbalik dan rombongan kocar-kacir. Singkatnya, sebagian dari
mereka terdampar di ujung timur Pulau Timor (konon keturunannya hingga kini
berada di Lautem daerah pesisir timur laut Timor Leste), sebagian terbawa arus
ke arah barat yang hingga kini tidak diketahui nasibnya, dan sebagian lagi
terdampar di pantai selatan Pulau Karang yang sekarang bernama Pulau Kisar.
Disebut Pulau Karang karena memang pulau itu berdiri di atas batu karang,
dikelilingi batu karang terjal, dan dari kejauhan pulau itu terlihat memutih
seperti kapur terutama pada siang hari.
Konon
ceritanya, kelompok yang terdampar di Pulau Karang itu yang kemudian
disebut-sebut sebagai keluarga Nampitu Ratu ‘sebuah keluarga dengan tujuh anak
laki-laki’.
Mereka
terdampar di sebuah pantai kecil yang diberi nama Wilkaulu Sere. Kata wilkaulu ‘tiba dengan selamat’ dan sere ‘pantai’. Jadi, wilkaulu sere berarti ‘pantai sebagai tempat tiba
dengan selamat’ yang selanjutnya dikenal dengan Wilkaulsere. Keluarga itu memilih tempat bermukim
di atas pantai itu yang diberi nama Ili Kesi. Dalam bahasa Oirata, ili ‘tempat berbatu besar’ dan kesi ‘tetap kuat, tidak mudah goyang’.
Mulailah mereka hidup di tempat yang baru dengan pola kehidupan lama, bertani,
nelayan, dan berburu. Ketujuh anaknya sering membantu ayahnya berburu berjalan
mengelilingi pulau yang konon belum ada penghuni yang lainnya. Suatu ketika,
Sang Ayah memperoleh firasat bahwa suatu saat akan
terjadi gelombang laut dahsyat yang
akan menerpa Pulau Karang itu. Karena merasa dirinya sudah tua dan tidak mampu
berlayar, dia menyuruh anak-anaknya untuk menyeberang menyelamatkan diri ke
selatan menuju uma
lapai. Dalam
bahasa Oirata, uma
‘pulau
atau tanah’ dan lapai
‘besar’. Uma lapai artinya ‘pulau yang kelihatannya
besar’ yang terlihat dari Pulau Karang tempat mereka berada. Berangkatlah
keenam anaknya menuju uma lapai yang tidak lain adalah Pulau Timor. SeOrang saudaranya yang
bungsu tidak turut dalam rombongan itu dengan alasan tidak tega dan ingin
menjaga ayahnya yang sudah tua hidup di hutan belantara seOrang diri. Tidak
beberapa lama memang terjadilah peristiwa yang tidak diinginkan itu. Orang
Oirata menyebutnya dengan lulunpitu ‘gelombang tujuh lapis’menghantam Pulau Karang itu dan memporakporandakan
seluruh daratan yang ada. Kedua ayah dan anak itu selamat dan tidak lama
berselang keenam anaknya juga kembali dari pengungsian dengan selamat. Keluarga
itu berkumpul kembali melakukan aktivitas seperti sediakala. Waktu berjalan
cepat, ayah tujuh anak itu makin tua dan tidak mampu lagi berjalan jauh, maka
anaknyalah menggantikan tugas Sang Ayah untuk berkeliling pulau, berburu dan
mencari nafkah untuk keluarga mereka. Tampaknya, gelombang lalunpitu itu tidak terjadi sekali itu saja. Orang
tua itu kembali mendapat firasat akan terjadi gelombang yang sama. Orang tua
itu kembali menyuruh semua anaknya mengungsi ke Pulau Timor. Ketujuh anaknya
menginginkan orangtuanya turut serta dalam pengungsian itu. Akan tetapi, Sang
Ayah tetap bertahan dengan pertimbangan sudah amat tua yang justru akan membuat
repot dan dapat membahayakan pelayaran anak-anaknya. Dengan tawar-menawar yang
amat alot, akhirnya terjadi kesepakatan yang sama, keenam bersaudara itu dengan
sangat terpaksa dan rasa iba harus meninggalkan ayah dan adik bungsunya di
Pulau Karang yang mungkin saja bahaya dapat menimpanya. Seperti halnya
gelombang lalunlapai
yang
pertama, gelombang lalunpitu
kedua ini
pun menghancurleburkan seluruh dataran yang ada di Pulau Karang itu, dan bahkan
gelombang tersebut lebih dahsyat dari sebelumnya. Semua daratan tergenang air
laut sampai beberapa lama dan kedua ayah dan anak itu hanya bisa bertahan di
atas bukit Ili Kesi. Selama beberapa bagian daratan tergenang air laut, Orang tua
itu tidak mampu mencari makan. Untuk dapat bertahan hidup, anak bungsunya yang
bernama Ratu
Usara tetap
setia mencarikan makanan kesukaan orang tuanya berupa hihiyotowa leura. Dalam bahasa Oirata, hihi ‘kambing’, yotowa ‘sejenis domba kecil berbulu tebal,
binatang khas pulau itu’, dan leura‘daging’. Jadi, hihiyotowa leura berarti ‘daging kambing domba khas
pulau itu’ yang menjadi makanan kesukaan Orang tuanya dan merupakan bentuk
sesajian terpenting dalam setiap persembahan untuk memohon kepada leluhurnya
demi keselamatan keluarga terutama keenam anak dan cucunya yang sedang
mengungsi ke pulau seberang. Demikianlah aktivitas rutin mereka sampai beberapa
lama sembari menunggu dengan sabar dan penuh harap kembalinya keenam anaknya
dari pengungsian.
Sementara
itu, keenam anak bersama keluarga yang mengungsi di Pulau Timor telah berlayar
kembali menuju Pulau Karang. Akan tetapi, di tengah laut mereka terbawa arus,
akibat angin barat yang berhembus dengan kencangnya. Akhirnya, mereka terpaksa
mendarat di Pulau Letti dan tinggal di sana sampai beberapa tahun lamanya.
Kerinduan akan ayah dan adik serta kekhawatiran akan keselamatn mereka semakin
berkecamuk di hati keluarga itu mendOirataong untuk secapatnya kembali ke Pulau
Karang. Setelah bersepakat, beberapa Orang dari keluarga itu berangkat terlebih
dahulu dan yang lainnya segera menyusulnya. Setibanya di Pulau Karang, mereka
bergegas menuju Ili Kesi tempat Orangtua dan saudara bungsunya tinggal. Dengan
perasaan galau dan khawatir, mereka mencari jejak kedua Orang yang dicintainya.
Akan tetapi, di sana tidak ditemukan tandatanda kehidupan mereka. Rupanya kedua
ayah dan adik bungsunya telah lama meninggalkan Ili Kesi. Lalu mereka menyebar,
mencarinya ke seluruh pelosok hingga beberapa hari. Atas bantuan anjing, kedua
ayah dan anak itu ditemukan di bukit sebelah barat tidak jauh dari Ili Kesi
dalam keadaan sekarat dan sangat menyedihkan. Sang Ayah terbaring kaku,
suaranya terbata-bata, tidak jelas, dan hampir tidak terdengar. Anak bungsunya
duduk di sampingnya dalam keadaan membatu dan telah tidak bernyawa lagi. Mereka
sangat sedih menyaksikan keadaan kedua Orang yang sangat dicintainya dan sangat
menyesal atas keterlambatannya tiba di Pulau Karang itu. Sang Ayah meminta
salah seOrang dari mereka mendekatkan telinganya, lalu berpesan tentang tiga
hal. (1) “Terimalah setiap pendatang
lain di pulau ini sebagai saudara kandung dan hiduplah bersama-sama dalam suka
dan duka.” (2). “Janganlah tinggalkan lagi pulau ini karena keadaan telah nOiratamal.”
(3) “Sajikanlah hidangan hihiyotowa leura pada suatu waktu tertentu.”
Setelah
mendengar pesan Orang tuanya yang telah dianggapnya sebagai perjanjian wajib
untuk dilaksanakan oleh anak cucunya, mereka segera mencari hihi yotowa ke daratan untuk segera dijadikan
persembahan. Akan tetapi setelah tiba di daratan, betapa kaget mereka karena
yang terlihat di sana hanyalah hamparan ipi-la ‘ulat’ memenuhi seluruh padang
rumput yang ada di depannya. Mereka segera bergegas kembali menemui ayahnya dan
menyampaikan kejadian aneh itu. Sang Ayah berpesan agar mereka bersabar selama
seminggu, setelah itu ipi-lala ‘ulat-ulat’ itu akan berubah menjadi hihiyotowawa ‘banyak kambing domba’ di tempat
itu. Setelah seminggu berselang, pergilah mereka ke tempat ulat-ulat itu. Aneh
tapi nyata, tempat tersebut dipenuhi dengan hihiyotowawa yang sedang sibuk merumput.
Segeralah mereka mengam. Tidak lama berselang setelah persembahan usai, Orangtua
itu mengembuskan nafas sembari melafaskan “… yotowa, …yotowa…” dan itulah nafasnya yang terakhir.
Jenazah kedua Orang yang dicintainya itu lalu dikubur dalam bentuk la’u ‘tumpukan batu bersegi’ yang
selanjutnya dipakai sebagai tempat persembahan oleh anak cucunya. Di sekitar
tempat la’u
itulah
ditetapkan sebagai tempat pemukiman mereka, tepatnya di bukit Manheri.
Selanjutnya,
bukit itulah dikenal sebagai negeri asal Suku Oirata sebelum pindah ke dataran
rendah sebelah utara. Tidak lama setelah itu, mereka bersepakat untuk memberi
nama pulau yang selama ini disebut Pulau Karang dengan nama Yotowa Uma ‘pulau kambing domba’ sesuai pesan
terakhir Orangtua yang mereka cintai. Akan tetapi, nama itu terus berubah.
Ketika puak yang lain datang dan menetap di bukit bagian utara pulau ini,
mereka memberi nama dengan Yotowawa-Daisuli. Yotowawa ‘banyak kambing domba’ dan Daisuli ‘bukit tinggi’ yang terletak di
bagian utara pulau ini.
2. Letak Desa Oirata di Pulau Kisar
Desa
Oirata terletak di Pulau Kisar dan merupakan dua desa dari sembilandesa yang
ada di Pulau Kisar. Pulau Kisar merupakan pulau kecil yang jauh terpencil dari
gugusan kepulauan Maluku yang pernah dijuluki “Provinsi Seribu Pulau”. Pulau
ini tepatnya berada di wilayah Kecamatan Pulau-Pulau Terselatan, Kabupaten
Maluku Tenggara Barat. Kecamatan Pulau-Pulau Terselatan ini terdiri atas dua
pulau, yakni Pulau Kisar dan Pulau Romang. Pulau Kisar merupakan pusat
pemerintahan Kecamatan Pulau-Pulau Terselatan dengan ibu kota Wonreli. Kata Wonreli berasal dari bahasa Meher, yaitu
kata wo’Oirata
dan ili (wo’Oirata-ili). Wo’Oirata
artinya
‘gunung’ atau ‘bukit’ dan ili artinya ‘negeri’ atau ‘desa’. Jadi, wo’Oirata-ili berarti ‘negeri di kaki bukit’ yang
sekarang popular menjadi Wonreli. Desa ini dipilih oleh Belanda sebagai pusat
pemerintahan di Pulau Kisar.
Letaknya lebih kurang satu kilometer dari Pantai Nama. Pantai Nama merupakan pantai tempat berlabuhnya
Belanda yang kedua setelah Pantai Kihar. Pantai Nama diambil dari bahasa Meher dengan nama
lengkap here
namayulu. Here ‘pantai’,
namayulu
‘kepala’
atau ‘hulu dari daratan sebagai pertemuan antara daratan dengan lautan’.
Sekarang pantai itu sering disingkat penyebutannya dengan Pantai Nama.Di Pantai Nama, Belanda membangun
dermaga kecil sebagai tempat berlabuhnya kapal-kapal yang singgah di pulau itu.
Pantai Nama merupakan salah satu pintu masuk yang berada di sebelah barat Pulau
Kisar dan kapal-kapal hanya dapat berlabuh pada musim angin timur. Pintu masuk
sebagai alternatif kedua ke Pulau Kisar adalah Pantai Jawalang yang letaknya di bagian timur pulau
itu dan hanya terjadi pada musim angin barat. Kapal-kapal yang berlabuh di
pantai ini terpaksa mengapung di tengah laut karena tidak ada dermaga di pantai
ini. Para penumpang terpaksa harus dianggkut dengan menggunakan perahu kecil
atau sampan yang merapat di lambung kapal. Jadi, ada dua pintu masuk ke Pulau
Kisar, yakni Pantai Nama dan Pantai Jawalang. Pada musim angin barat yaitu
sekitar bulan November-April, kapal-kapal berlabuh di Pantai Jawalang karena di
bagian barat angin sangat kencang dan kapal-kapal hanya bisa berlabuh di pantai
sebelah timur. Sebaliknya, pada musim angin timur yakni pada bulan Mei-Oktober,
pintu masuk melalui Pantai Nama karena di pantai sebelah timur angin besar dan
kapal-kapal hanya bisa berlabuh di sebelah barat. Sebagaimana telah disinggung
sepintas di atas, bahwa Pulau Kisar terdiri atas sembilan desa, yaitu 1)
Wonreli, 2) LekloOirata, 3) Kota Lama, 4) Abusur, 5) Oirata Barat, 6) Oirata
Timur, 7) Lebelau, 8) Purpura, dan 9) Nomaha. Luas wilayah Pulau Kisar
seluruhnya adalah 117,07 km2 termasuk Desa Oirata Barat seluas 3,25 km2 dan
Desa Oirata Timur seluas 5,26 km2. Wilayah tersebut dihubungkan dengn jalan
raya sepanjang 143 km yang terdiri dari jalan beraspal sepanjang 53 km, jalan dengan kondisi
pasir-batu (sirtu) sepanjang 25 km, dan jalan dengan kondisi masih tanah
sepanjang 65 km. Jumlah penduduk Pulau Kisar sebanyak 12.151 jiwa.
B. Mitologi Orang Oirata Di Pulai Kisar
Pada
mulanya, langit (Maukou) dan bumi (Huimau) adalah satu. [Tidak ada terang. Ada
empat (4) burung: Rajawali, merpati, burung pemakan biji rerumputan dan
"magpie". Atas permintaan burung "magpie", Pencipta
menciptakan pertukaran siang dan malam], Langit dan bumi mendapatkan seorang
anak laki-laki bernama, Wadlau yang mencabut satu tulang rusuknya untuk
dirubahnya menjadi seorang perempuan. Keturunan mereka ada 6 jin/iblis
laki-laki (para raksasa supranatural) dan dua anak manusia, seorang laki-laki
bernama: Tatilu dan seorang anak perempuan, bernama : Laltilu. Keenam
jin itu memisahkan langit dan bumi, memisahkan darat dari air sehingga
membentuk 4 pulau [Wertutun Werwain, Timor, Wetar dan Roma], 2 burung di udara
dan ular di dunia. Tatilu melompat kepada orang-orang langit, yakni Lakluana dan
Lailuana yang telah mencuri emasnya dan menikahi putri mereka. Dari pernikahan
itu, dia memperoleh anak 4 perempuan dan 2 lakilaki.[Peristiwa ini terjadi di
Surga/langit. Setelah itu, Tatilu turun ke sebuah iumah bertingkat tujuh dalam
rumah utama langit, dimana dia menikahi saudara perempuannya vang bernama:
Laltilu. Ketika anak mereka [ 4 laki-laki dan 1 perempuan ] bertumbuh dewasa,
Pencipta menyuruh mereka memilih antara Timur (yakni tanah air mereka,
yang ditandai dengan kain di pinggang)dan Barat (Eropa, yakni barang-barang
yang berbau Eropa ). Anak laki-laki
tertua dan anak yang sesudah dia, memilih Barat dan, setelah
pengembaraan panjang, mereka akhirnya tiba di Inggris terlebih dahulu kemudian
Belanda. Kedua anak laki-laki yang paling muda memilih Timur, tertua pergi
ke Timor dan termuda ke Kisar).
Merekaberlayar ke Kisar menggunakan satu dari tingkatan [rumah di] langit itu
sebagai perahu. Dalam perjalanan, satu dari saudara itu yang bernama: Lerelai
berubah menjadi batu saat dia menyelam ke dalam air untuk melepaskan
jangkar/sauh yang tertambat. Di Kisar Pencipta menyuruh mereka kembali. Mereka
kehilangan satu orang laki-laki dan satu orang perempuan yang melompat ke dalam
air dan mati karena keletihan, serta berubah menjadi ikan paus. Sisa dua orang
lakilaki dan satu orang perempuan terdampar. Laki-laki tertua bernama Ratu
Pitu Ratu, dan perempuan, Rawiru berenang ke Timor, menikah dan tinggal di
sana. Laki-laki termuda bernama Nami Pitu Ratu membuat sebuah perahu dari busa
air laut dan berlayar ke Kisar. Di tempat-tempat tertentu di Kisar, dia
menemukan ciri-ciri saudara tertuanya. Dia menikah dengan seorang perempuan,
namanya Rueru, yang dikirim oleh Pencipta dalam sebuah rumah bertingkat tujuh.
Dia mendapatkan 7 anak Perempuan dan 7 anak laki-laki. Anak bungsu bernama:
Usara Wesara, menemukan sebuah perahu yang penuh muatan di Ilikesi. tteenam
kakak laki-lakinya, bersama dengan 2 saudarinya berlayar memakai perahu
ini mengunjungi Timor untuk membeli sirih dan pinang. Di saat kembali ke Kisar,
mereka dihadang oleh angin musim Barat dan terdampar di Wertutun Werwain: tanah
gading dan emas. Ketika mereka meninggalkan pulau itu, mereka mengambil pasir
sebagai kenang-kenangan dan pasir ini ditemukan benar-benar menjadi emas. Lalu
mereka pergi ke Serwaru Tutukei di pulau Leti untuk bersatu/bersahabat. Mereka
berteman dengan pemilik pulau itu, yakni: Reilaumali dan Wilaumali. Mereka
meminta tukang emas yakni Totonaka Lewenkoho mengambil dan memperlakukan emas
dengan cara-cara yang patut. Saat mereka [sampai sekarang disebut : Lewenmali
dan Asamali] tinggal di Leti, pulau itu dikunjungi oleh ratu dari pohon langit,
yakni: Rupitali Wanoro. Enam penguasa [pemimpin] Leti yang pergi menjemput
pengunjung itu tidak dapat menarik perahunya; maka Lewenmali dan Asamali
melakukannya untuk mereka dan memperkenalkan Rupitali Wanoro sebagai keluarga
[kenalan] mereka. Rupitali Wanoro mengajar mereka sebuah ritual [permainan
`hela rotan] dan menyuruh mereka kembali ke tanah asalnya, Kisar. Ketika mereka
tiba di sana, mereka menemukan bahwa ayah dan adik bungsu mereka, yang telah
tinggal bersama mereka, sudah berubah menjadi batu karang, kecuali hanya wajah
ayah mereka yang masih dapat bicara. Ketika mencari makanan, mereka menemukan
seekor kerbau, tapi ayah mereka bilang pada mereka bahwa daging kerbau itu
hanya digunakan untuk ritual tertentu saja. Kemudian mereka menemukan
kambing-kambing, yang sebelumnya adalah ulat-ulat dan pergi ke Lakor untuk
mencari tahu [menanyakan] apakah daging
itu dapat dimakan. Di Lakor, mereka berteman dengan Wurkeliau dan Lolkeliau
yang mereka ajarkan bagaimana mendapatkan anak. Ketika perempuan, Wurkeliau
hamil, dibuat pesta dan saat ini Lewenmali dan Asamali mengenal [makan] daging
kambing. Mereka kembali ke Kisar dan menemukan bahwa, selama mereka tidak ada,
wajah bapak mereka juga sudah berubah menjadi karang. Pulau itu dalam bahaya
tsunami. Pulau itu sudah tergantung [terapung] namun Lewenmali dan Asamali
berhasil menariknya dengan sebuah permainan ritual yang telah mereka pelajari
dari Rupitali Wonara dan ritual itu bermanfaat bagi kemakmuran manusia dan
binatang.
Saudari
tertua (?) dari Lewenmali dan Asamali,
namanya : Masamere, berkenalan dengan Mamere (pelangi) yang kemudian menjadi
pencintanya. Mereka berdua bertemu
secara rahasia, namun dikhiar.ati oleh seorang perempuan tua.
Saudara-saudara dari gadis itu mencegat dan membunuh Mamere dan memotongnya
menjadi beberapa bagian. Ketika saudari mereka datang ke tempat pertemuan itu,
dia melihat apa yang telah terjadi dan menemukan beberapa pedang. Dia lalu
membawa semuanya itu ke rumah dan memakainya sebagai mahar [mas kawin], lalu
diberikan kepada mempelai wanita yakni istri-istri dari saudara tuanya itu.
Sebagai balasannya, dia menyuruh mereka menebang/memotong pohon untuknya.
Ketika dia memiliki tumpukan kayu yang besar, dia membakar dirinya sendiri
sampai mati, dan bersama asap, membumbung ke langit dan dia menjadi pelangi
perempuan yang dihiasi asap/abu.
Saudari
[adik] perempuannya, bernama: Haulaloho disembunyikan dan saudara bungsunya
bernama: Kaskoi disuruh untuk mengawasinya.! Namun, dia dikcanjunp
oleh seorang laki-laki bernama: Noihidai yang masuk melalui jendela. Dia
menjadi hamil dan ketika saudara-saudaranya mengetahuinya, mereka memutuskan
untuk membunuhnya. Dia diselamatkan oleh saudara bungsunya bernaxna: Kaskoi,
yang menyembunyikannya dalam sebuah lobang di tanah dan memberinya jangkrik dan
belalang sebagai makartan. Dia melahirkan seorang anak perempuan bernama:
Surihi, dan dia membujuk seekor ayam jantan agar pergi dan menjemput ayah dari
anak itu. Ayam jantan itu pergi ke desa Noihidai di langit/angkasa dan berkokok
menyanipaikan pesannya. Noihidai turun ke bumi dengan orang-orangnya membawa
pakaian untuk ibu dan anaknya, lalu mengangkat mereka ke dunia yang lebih tinggi.
Suatu hari, anaknya Surihi, menemukan sebuah anak panah yang dilepaskan, yang
oleh Hualaloho dikenal sebagai anak panah milik Kaskoi. Kaskoi telah kehilangan
anak panahnya, diberikan kekuatan untuk melompat ke dunia yang lebih tiriggi,
di mana dia tiba di pintu masuk desa Noihidai. Dia dikenal oleh saudarinya yang
membawanya ke rumah, namun, karena dia takut pada suaminya, menyembunyikannya
[Kaskoi] di dalam sebuali kandang babi. Ketika suaminya, Noihidai datang dan
menemukan apa yang telah terjadi, memarahi [mencela] istrinya dan memperlakukan
Kaskoi sebagai seorang tamu terhormat. Ketika Kaskoi kembali ke bumi dengan
banyak makanan enak, saudara-saudaranya merebut/merampoknya dan memaksa dia
untuk menceritakan dimana dia sebelumnya berada. Sekarang mereka ingin
mengunjungi saudarinya dan menawarkan kepadanya bagian kekayaannya berupa emas
dari Wertutun Werwain. Bersama Kaskoi sebagai penunjuk jalan, mereka
tiba di rumah Hualaloho. Mereka diterima dengan caci-maki dan penghinaan,
sedangkan Kaskoi diperlakukan dengan penuh hormat dan penghargaan. Ketika
mereka akan berangkat, Noihidai dan istrinya memberikan kepadanya sebuah pedang
keramat, tombak keramat, ribuan lonceng [yang berbunyi] dan ternak [lembu/sapi]
yang unggul. Kakak kakaknya menerima sapi yang patah kakinya dan buta matanya.
Ketika Kaskoi, ternak dan pengikut-pengikutnya berjalan di depan dan mencapai
bumi, dia dengan pedang keramat memotong pohon rotan yang mereka pakai untuk
turun ke bumi, sehingga langit dan saudara-saudaranya melambung jauh ke atas
sana.
Kaskoi
menikahi istri-istri dari abang-abangnya dan mendapatkan 4 orang anak: 2
perempuan dan 2 laki-laki. Yang perempuan bernama Unaslai dan Daraslai. Mereka
menikah dengan 2 laki-laki orang Wetar bernama : Tetikai dan Mauara. Yang 2
orang laki-laki bernama: Horokoko dan Laiwahan, menikah dengan Romolewen dan
Wakalewen. Ketika Horokoko pergi mengunjungi saudaranya di Wetar, Laiwahan
mengambil Romolewen menjadi istri kedua. Sepulangnya ke rumah, Horokoko
membunuh Laiwahan. Romolewenpun bunuh diri dengan melompat ke dalam sebuah
lobang yang telah dibuatnya dengan sarana supra-natural. Dia dan Laiwahan
menjadi kepiting/ketam.
Suatu
malam, pulau Kisar dikunjungi oleh Deliaman, dan Pajaman. Lewenmali dan
Asamali menanyakan darimana mereka datang, tetapi mereka berpura-pura bahwa
mereka tidak datang dari mana-mana dan mereka sudah tinggal di sana seumur
hidupnya. Ketika mereka diuji, mereka mengetahui bahwa Lewenmali dan Asamali
adalah tuan tanah di situ. Karena mereka meminta kepada Lewenmali dan Asamali
untuk tinggal di situ, mereka diberikan sebuah desa bernama Jotojaum. Desa
mereka sendiri adalah Horna-Werna. Kemudian, mereka bersepakat membagi tanah
itu menjadi dua bagian yang sama besarnya. Bagian Timur milik Lewenmali dan
Asamali, sedangkan bagian Barat menjadi milik Deliaman dan Pajaman.
Pemuda-pemudi dari kedua desa itu tidak boleh berkawinan [kawinmawin],karena
bahasa mereka berbeda. Desa Lewenmali dan Asamali [Herna-Wema] merupakan desa
ganda, biasanya disebut desa Timur Barat.[Kemudian Pencipta memberikan sebuah
signal bagi mereka untuk boleh kawin-mawin, namun mereka masih tidak mengikuti
dan itu tetap terbawa sampai sekarang ini. Mungkin saja akan berubah di hari
depan, namun kesulitan utamanya terletak pada banyak/besarnya pemberian saat
nikah [mas kawin] yang dituntut oleh orang-orang Jotojaum.
Penguasa
Roma: Tutupei Hakapei dan Huh Hoko mengunjungi Dai Ahus [Kei]. Tutukei menikah
dengan seorang perempuan Kei bernama: Wuriesi dan setelah membayar mas kawin,
memboyongnya ke Roma. Di sana Tutukei meninggal dan istrinya "disalahgunakan"
oleh laki-laki di desa itu. Dia mengirim pesan kepada ke 7 sauda:-anya
di Kei yang kemudian berlayar ke Roma. Sebelum mereka tiba di sana, Roma telah
dikunjungi oleh dua orang bangsawan dari 3otojaum: Nori dan Hakar, yang juga
sedang dalam perjalanan ke Kei. Atas permintaan Wuruesi, dia mengikuti kedua
orang bangsawan tersebut. Akan tetapi, ketika melihat kekayaan Wuruesi, mereka
memboyongnya kembali ke Jotojaum dan merampok emas-emasnya. Dari emas itu, mereka
mengambil 2 potong besar, memajangnva pada jendela-jendela loteng rumah itu di
bagian timur dan barat. Ketika saudara-saudara Wuruesi tiba di Roma dan
mendengar kepergian saudari mereka dengan orang-orang Jotojaum, mereka pun
berlayar ke Kisar dan mereka mengenal dua potongan emas milik Wuruesi, satu di
Timur dan satu di Barat. Mereka pulang ke rumah dan memohon kepada Pencipta
agar mengizinkan mereka menarik/menyatukan beberapa pulau lain dan memperluas
wilayah mereka sendiri dengan cara itu. Sang Pencipta setuju, namun melarang
mereka untuk tidak mencampuri urusan kedua pulau kecil di tengah, yakni Roma
dan Kisar. Mereka tidak keberatan dengan larangan ini dan mencoba meluputkan
kedua pulau ini. Usaha mereka gagal dan semua perahu-perahu mereka yang lain
tersebar sana-sini dan hancur, kecuali satu, yang pergi dan tidak
kelihatan/kedengaran lagi.
Dengan
usaha-usaha yang dilakukan oleh orang-orang Kei, pulau Kisar bergoncang dan
kebanjiran/dilanda tsunami. Lewenmali dan Asamali melarikan diri dan berlayar menuju
ke arah Timor. Adik laki-laki mereka: Kaskoi, mengetahui bahwa mereka telah
pergi dan berlayar ke Timor, dia membawa serta semua harta miliknya dan dimuat
pada seekor kerbau yang dia pakai sebagai perahu. Dia [Kaskoi] mendarat di
Urualauten. Dia mendirikan sebuah rumah bertingkat 7, dan bebas menanam tanaman
Raisere Wakasare. Dia menggunakan sirih dan pinang mereka, memakan buahnya dan
menghitamkan dirinya sendiri. Namun, dia bersahabat dengan pemiliknya, yang
membawa dia ke rumr'thnya sebagai seorang tamu. Anak-anak gadis di rumah itu
tidak menyukai orang hitam dan menolak melakukan sesuatu terhadapnya, kecuali
gadis paling muda, yang melayani dia dan bahkan tidur dengan dia. Keesokan
harinya, setelah mandi dan berdandan, kedua gadis yang lebih tua itu cemburu
pada adik bungsu mereka dan mencoba sekuat tenaga mengambil hati
pengunjung itu. Namun, mereka tidak berhasil. Lalu, keduanya menikah dan
mendapat 7 putri dan 7 putra.
Ketika
anak-anaknya sudah cukup dewasa, mereka bekerja di ladang bersama-sama dengan
paman mereka. Awalnya, semuanya berjalan baik-baik saja. Namun, kemudian mereka
bertengkar dengan paman mereka dan pindah ke bagian tengah pulau itu. Di
sana, mereka tinggal di daerah Roson Wadumura. Di sini mereka bertengkar satu
dengan yang lain, dan abang-abangnya: Lailere dan Tadlai mengusir
saudara-saudaranya: Maanunu dan Nunlau yang melarikan diri ke Ilmeti Watmeti.
Di sini, mereka bertemu dengan orang-orang Leware Masopon, bersahabat dan
menjadi orang-orang kepercayaan [dapat menjadi kreditor]. Ketika si berhutang
belum atau menunda pembayaran, Maanunu dan Nunlau mencuri anak mereka. Kejadian
ini ketahuan, anak diselamatkan oleh orangtuanya, Maanunu dan Nunlau dikepung
di Ilmeti Watmeti. Karena takut pada kekuatan musuh yang lebih besar, mereka
melangkah turun melewati akar pohon beringin [pohon keramat di tengah desa] dan
diarahkan ke Irauru Wasairi oleh burung "Eleula Patkula" dan kemudian
ke sebuah sumber air di dalam gua dengan anjing mereka: Wilriun Ilhira. Namun
tempat mata air ini tidak cocok untuk memelihara ternak, sehingga mereka
bepergian terus sampai tiba di Ilwati Laitani. Di sana mereka bertemu dengan
Raileki dan Lakiliha dan tahu dari mereka bahwa abang-abang mereka: Lewenmali
dan Asamali ada di Resresi Jalrasi, dan bahwa ada perang. Mereka pergi sampai
ke Resresi Jalrasi dan keduanya dikenal oleh Lewenmali dan Asamali sebagai adik
mereka. Keempat bersaudara itu tinggal bersama dan memberikan saudari-saudari
mereka menikah dengan tuan tanah: Unaslai dan Daraslai. Saudari-saudarinya Lewenmali
dan Asamali menikah dengan Maakai dan Wun'kai; Lelisulai dan Watasulai.
Saudari-saudarinya Maanunu dan Nunlau menikah dengan Kikmuni dan Maamuni.
Suatu
hari, Maamuni menuntut istri dan keluarganya dengan menuduh ipni--iparnya
[brothers in-law] telah melakukan praktek santet. Keempat perempuan itu malu
dan pergi mengadu pada Lewenmali dan Asamali. Keempat perempuan itu disuruh
meninggalkan suami-suami mereka dan
menantang mereka untuk bertarung demi nama saudara-saudara mereka.
Pertarungan terjadi dan keempat suami itu ditakhlukkan dan dibunuh. Ketika
sedang mengejar musuh, keempat saudara itu bertemu dengan Reilaumali dan
Wilaumali yang sedang mencari teman mereka yakni: Harakati dan Maamau. Ketika
mereka sedang makan bersama di Resresi Jalrasi, air di sana ternyata berminyak
dan berbau busuk karena banyak mayat dari musuh-musuh yang dibunuh. Karena itu,
Reilaumali dan Wilaumali bersepakat untuk kembali ke Kisar dan akan diikuti
kemudian oleh yang lainnya. Sejak saat itu, Reilaumali dan Wilaumali menyebut
keturunan Lewenmali, Asamali, Maanunu dan Nunlau sebagai: OIRIATA atau OIRIAKA
yang berarti "AIR BUSUK"/ "AIR TIDAK BAIK" dan orang di
Kisar mengikutinya dan menyebut desa
Timur Barat: Oiriata, Oirata.
Di
dalam perjalanan ke Kisar, Lewenmali dan Asamali singgah di Tutukei, Serwaru,
di Leti yakni tempat yang masih ditinggali [dihuni] oleh Reilaumali dan
Wilaumali. Pada saat yang sama, desa ini dikunjungi oleh Meheloi dan
Lewensimara: kaum bangsawan dari Liuleli Dailora, di Timor yang menginginkan
satu kepala manusia untuk merayakan pesta makan daging babi. Mereka meminta
agar Reilaumali dan Wilaumali membawa kepada mereka satu kepala manusia dari
Wursere Walusere di Timor yang telah mereka klaim. 'Reilaumali dan Wilaumali
meneruskan pesan itu kepada Lewenhali dan Asamali yang bersedia menurutinya
[menyanggupinya].
Mereka berlayar ke Timor, bersahabat dengan tuan tanah Wursere Walusere bernama
: Lekitou Wonlewen. Saat tuan tanah ini tertidur, dia dibunuh dan diambil
kepalanya oleh Lewenhali dan Asamali. Ketika mereka tiba di Tutukei Serwaru,
mereka diundang oleh Meheloi dan Lewensimara untuk bersama-sama pergi ke
Liuleli Dailoro. Di sana mereka ditawarkan emas untuk ditukar dengan kepala
manusia itu, namun mereka menolaknya. Mereka ditawari gadis-gadis cantik, tapi
mereka tetap menolak. Akhirnya seorang perempuan tua mengerti bahwa mereka
butuh tanah. Maka, mereka ditawari tanah dan mereka menerimanya.
Mereka
tinggal di tanah yang baru mereka peroleh. Namun saudara-saudara muda terlibat
dalam persoalan karena cara cabul yang dimainkan oleh Maranunu kepada scorang
perempuan. Lalu, mereka berlayar ke Kisar yang mereka kenal sebagai tanah
:IsaVasli mereka. Kemudian mereka berlayar kembali ke Liuleli Dailoro dan
menceritakan kepada saudara-saudara mereka [yaitu : Lewenmali dan Asamali]
tentang penemuan tanah itu. Bersama-sama mereka pergi ke Kisar dan
saudara-saudara tua dan muda berpisah dan mengembara ke arah yang berlawanan.
Ketika mereka bertemu satu sama lain sesudahnya, mereka saling takut satu sama
lain dan menetap di tempat-tempat yang berbeda. Saudarasaudara yang muda,
setelah diusir dari Dautunu oleh orang-orang Irara, pergi ke Ilikesi dan tinggal di sana. Setelah lewatnya sekian
generasi, keturunan dari semua saudara-saudara tinggal rukun bersama di
Horna-Werna.
Pada
suatu hari, mereka dikunjungi oleh 10 suku asing yang terpesona dengan aroma
dari pohon langit. Tuan tanah membagi mereka ke dalam tiga kelompok. Mereka
yang bahasa dan
kebiasaan/adat-istiadatnya berbeda dengan mereka, harus meninggalkan
pulau itu. Mereka yang bahasa dan gaya
bicara hanya sedi:cit berbeda, mereka dikirim ke bagian barat pulau itu. Mereka
yang tidak berbeda, alias sama, baik dalam bahasa maupun cara bicaranya
diizinkan untuk tinggal dan hidup bersama-sama dengan mereka. Namun, seperti
telah dipikirkan oleh Lewenmali dan Asamali bahwa tidak baik kalau mereka hanya
satu kelompok/golongan saja, maka mereka terbagi dalam 3 kelompok: MARNA, WUHUR
dan keturunan paling muda yang menetapkan peraturan sebagai pedoman dalam
bertingkah laku satu terhadap yang lain.
Pada akhirnya, PERU SAHAAN/KOMPENI [Hollanders]
datang melakukan kontrak I kerja sama dengan mereka. Ketua suku,
HORSAIR, hadir dengan barang-barang perakmenghiasi kepalanya, sebuah bendera, dan
sebuah kontrak/sewa tanah. Iparnya, MUTASAIR, yang bertindak sebagai
penerjemah, menerima di kepalanya sebuah tanduk kerbau. Karena HORSAIR sejak
dahulu telah menjadi pemimpin ritual/seremoni, maka sekarang dia juga memiliki
semua barang dan bendera. Rumah Resiara Taluara dipakai untuk memerintah desa
[di bagian Barat] yang lebih rendah dan rumah MUTASAIR dipergunakan untuk
memerintah desa [di bagian Timur] yang lebih tinggi ****
C.
Analisis Mitologi Oirata
Jan Petrus
Benjamin De Josselin de Jong, Profesor of Ethnology di Leiden University,
melakukan perjalanan melalui Indonesia timur dari Februari 1933 sampai Februari
1934. Ia mengunjungi Buru, Wetan, Moa, Wetar dan Kisar, mengumpulkan informasi
linguistik dan etnografi yang akan membantu dalam perencanaan masa depan
penelitian. Setelah hanya waktu yang terbatas, ia menghabiskan hari-harinya di
Kisar mempelajari bahasa masyarakat Oirata dan merekam mitos asal mereka. Dalam
berikutnya 1.937 publikasi Oirata, Penyelesaian Timor pada Kisar, ia hanya
termasuk analisis etnologis singkat dari organisasi sosial mereka. Zaman
pra-kolonial Kisar. legenda setempat mengatakan pulau ini pertama kali dijajah
oleh imigran dari daratan Timor, serta Sermata dan Moa. Namun gerakan ini
mungkin berhubungan dengan migrasi lebih relatif baru.
Buku yang
cukup tua, lebih tua dari ilmu yang paling tua di muka bumi ini, Ilmu Filsafat.
Nyatanya buku Mitologi Oirata jauh lebih tua. Mitologi orang Oirata menjadi
sajian klasik namun kontemporer di era sekarang di zaman Linguistics dan
Ethnolinguistics telah menjadi trend. Sebuah nama disebutkan oleh Mr. De
Jong yaitu Wadlau. Diceritakan bahwa
Wadlau adalah the first man in the world. Sebuah konsep yang sangat purba yang
menjadi inspirasi dari berbagai mitos, legenda bahkan fabel. Awalnya Adam
diturunkan di muka bumi bersama ibu Hawa (Eve) dari syurga Tuhan (Eden). Adanya
konsep langit dan bumi atau laut yang masih berkaitan dan terasa dekat juga
mengilhami mitos-mitos di Kisar. Sebuah epos klasik yang cukup terkenal dari
Sulawesi adalah I Lagaligo, dimana memasukkan konsep kedekatan antara syurga
dan dunia, juga lautan. Manusia dalam epos terpanjang di dunia ini juga sempat
melakukan hubungan komunikasi dan perkaitan dengan para penghuni syurga. Mirip
dengan konsep awal manusia di muka bumi.
Wadlau
mencabut tulang rusuk dan menjadikannya sebagai makhluk yang dinamakan wanita.
Hal ini bahkan disampaikan oleh Rasulullah Muhammad SAW, lahir pada 571 Masehi. Bahwa Wanita diciptakan dari tulang rusuk
laki-laki. (Hadits Riwayat Muslim). Maka konsep-konsep mitologi kuno memang
banyak terisnpirasi dari sejarah, agama dan budaya, kitab-kitab Tuhan, Kisah
Rasul dan sebagainya. Adanya
burung-burung seperti Rajawali, Merpati, Pemakan Biji, dan Magpie mengingatkan
saya kepada kisah Nabi Musa SAW yang lahir beberapa tahun sebelum Masehi. Musa
mendapatkan wahyu untuk menggunakan burung-burung pemakan biji untuk
membuktikan keberadaan Tuhannya.
Angka tujuh
ternyata cukup lama diyakini oleh manusia sebagai angka sacral. Hal ini bisa
dipahami terutama pada Mitologi Oirata, angka tujuh disebutkan sebagai
tingkatan. Sehingga sangat dipercaya bahwa tujuh juga adalah salah satu konsep
dari adanya Creator atau Tuhan yang menciptakan tujuh lapis langit. Pernikahan
antar saudara juga menghiasi Mitologi Oirata yang terinspirasi dari pernikahan
putra-putri Nabi Adam (the first Man). Beliau mendapatkan wahyu untuk
menikahkan putra putrinya yaitu Kabil, Habil, Iklima dan Lubuda. Keempatnya
menjadi dua pasangan pernikahan. Di dalam Mitologi Oirata terdapat nama-nama
pasangan pernikahan yaitu Tatilu dan Laltilu kemudia Lakluama dan Lailuana.
Keempatnya adalah masih bersaudara.
Adanya
tragedi seperti berubahnya makhluk menjadi arca atau batu juga terjadi dalam
Mitologi ini. Hal ini mungkin menginspirasi legenda-legenda menarik di Padang
Pariaman dimana seorang ibu dengan mudahnya mengutuk putranya menjadi batu. Di
cerita lain di Mitologi Oirata, ada pula yang berubah menjadi ikan Paus di
lautan. Dari sinilah berawal kisah
bahasa Non Austronesia yaitu saat Ratu Pitu Ratu dan Rawiru berenang ke
Timor. Adanya sirih dan pinang di Timor
yang memancing mereka untuk datang disana dan membeli untuk keperluan makan
sirih, dan upacara adat. Di dalam epos I
Lagaligo, disebutkan juga bahwa sirih dan pinang adalah media pernikahan.
Beberapa
nama tempat seperti Wertutun, Wadumura, Watmeti, Wasairi dan Werwain sangat
erat kaitannya dengan adanya air atau sungai dalam cerita rakyat Buru. We atau
wae berarti air. Seperti Ci (Sunda), Aeng (Madura), dan Ira (Oirata). Setiap
tempat yang namanya diawali dengan “we” berarti terdapat air disana. Air dalam
konsep masyarakat Buru adalah sungai. Kemudian disebutkan pula adanya tanah Gading dan emas dalam Mitologi Oirata.
Tanah Gading ini mirip sekali namanya dengan pemeran Epos Terpanjang I Lagaligo
yaitu Sawerigading. Sedang emas juga telah ditemukan di Kisar dibuktikan dalam
Mitologi Oirata terdapat kata emas, yang dipakai sebagai alat tukar dan
pernikahan. Pada Epos I Lagaligo, emas bahkan menjadi alas tidur yang dipakai
oleh We Tenriabeng, pemeran kedua dalam epos tersebut.
Dan rupanya
rotan sudah ada sejak lama, disebutkan dalam Mitologi Oirata salah satu manfaat
rotan adalah dipakai untuk permainan. Pada masyarakat Buru bahkan rotan ada
lagunya yaitu Hela Rotane yang artinya Tarik Rotan. Dalam Mitologi Oirata
disebut hela rotan juga. Rota diceritakan pula dipakai sebagai alat untuk turun
mencapai bumi. Hal ini karena rotan tumbuh memanjang cukup tinggi. Tumbuhan
rotan memang menjulur-julur ke atas bergayut pohon-pohon besar. Sehingga untuk
memanen rotan yaitu dengan cara ditarik ke bawah dan diambil / dipotong mana
yang diperlukan. Kadang bagi para penjelajah yang mereka mengandalkan rotan
karena buluh-buluhnya berisi air yang bisa diminum. Pada mitologi ini disebut
hewan seperti kambing dan kerbau dimana kerbau dalam hal ini tidak boleh
dikonsumsi karena dianggap hewan suci yang dipergunakan untuk ritual. Hal ini
bisa dilihat pada masyarakat India, Bali dan Toraja. Di Toraja, kerbau sangat disakralkan
dan menjadikan simbol material.
Orang-orang
Jotojaum dalam Mitologi ini disebutkan kesulitan membayar uang penikahan karena
tuntutannya yang cukup tinggi. Hal seperti ini juga terjadi pada masyarakat
Sulawesi Selatan, ini sangat meresahkan
masyarakat Sulawesi Selatan yang memiliki adat “Uang Panaik” secara turun
temurun. Sehingga banyak keluh kesah anak-anak muda di zaman sekarang yang
mengatakan sulit menikah karena uang “Panaik”. Bagi wanita alumni S1 uang
panaiknya 200juta, S2-300juta dan S3-400juta. Maka yang terjadi adalah mereka
semua pada berbondong-bondong lari ke Jawa untuk menikah denga wanita Jawa yang
notabene uang pernikahannya hanya 25juta.
Salah satu
kesalahan kecil, namun mungkin berakibat fatal bagi masyarakat Aceh adalah
mereka tidak belajar sejarah. Beberapa puisi-puisi kuno ditulis yang
menggambarkan adanya bencana tsunami saat itu. Tsunami yang terjadi bisa
memberikan petunjuk agar lebih waspada ke depannya karena sebenarnya bencana
tsunami bisa diketahui sebelumnya. Yaitu karena bencana ini terjadi periodik
dan karena bisa dilihat dari fenomena-fenomena fisik. Tsunami juga disebut
dalam Mitologi Oirata. Dan harapannya adalah sudah pasti agar bisa dengan cepat menghindari apabila
akan terjadi tsunami, karena sudah pernah terjadi sebelumnya.
Kita tidak
tahu kapan dan bagaimana manusia modern pertama mencapai Kisar namun ada
kemungkinan bahwa mereka adalah bagian dari migrasi Melanesia dari Asia
Tenggara (Sundaland) ke benua Sahul melalui Kepulauan Sunda sekitar 60 hingga
40.000 tahun yang lalu. Beberapa jasad mereka 42.000 tahun telah digali dari
gua-gua di Timor Timur. Atau mereka bisa saja orang Papua yang meninggalkan
semenanjung bomberai Papua Barat 6.000 tahun yang lalu dan mencapai East Timor
sekitar 4,500-4,000-tahun-lalu ke arah
barat-migrasi. Sejak saat itu Kisar menerima gelombang kedua imigran berbahasa
Austronesia, mungkin dari Sulawesi. Bahasa Kisaric diucapkan di Kisar dan Roma
termasuk dalam kelompok Timor bahasa, yang ahli bahasa Geoffrey Hull dan
rekan-rekannya percaya terkait erat dengan orang-orang dari Sulawesi Selatan
Timur - lebih khusus dari pulau-pulau Muna, Buna dan Tukang Besi. Prekursor
dari Kemak, Tokode, Idate dan Mambai dialek, diucapkan di barat dan tengah
Timor Timur, mungkin berasal dari Muna dan Kepulauan Buton, sedangkan Tetum,
Galoli dan disebut keluarga Kawamina dialek (Naueti, Waimaha, Kairui , dan
Midiki), diucapkan di tengah dan timur Timor Timur, mungkin awalnya bermigrasi
dari Tukung Besi Kepulauan untuk Wetar dan dari sana ke Selatan Kepulauan Barat
dan Timor. Sementara bahasa Austronesia mungkin telah tiba di Sulawesi Utara
sekitar 4.000 tahun yang lalu, mereka tidak tampaknya telah mencapai Kisar dan
Timor sampai sangat jauh kemudian - abad kesebelas . Masyarakat Kisar membedakan antara asli dan
populasi migran, yang terakhir menggunakan narasi tradisional untuk menentukan
tempat dan fungsi mereka dalam masyarakat pulau. Keluarga di kedua komunitas
etno-linguistik dikelompokkan ke dalam klan yang dikategorikan ke dalam empat
kelompok asal:
Klan yang nenek moyangnya yang asli (pribumi) ke Kisar
Klan yang berasal dari Pulau Timor
Klan yang berasal dari Kepulauan Kei (Maluku Tenggara)
Klan yang berasal dari Luang Island (central Maluku Barat Daya).
Klan adat umumnya diakui sebagai pemilik tanah tradisional dalam setiap kelompok etno-linguistik mereka sendiri. Klan imigran yang dikenal sebagai 'perahu-pemilik'. Klan biasanya dibagi menjadi empat jalur semi-independen keturunan, yang disebut rumah
Klan kerajaan Hihileli-Halono berbasis di Wonreli memiliki status tertinggi di pulau dan memberikan kepala semua klan yang Meher berbahasa. Ini mungkin mengapa Belanda diinstal kepala suku Pakar dari klan Hihileli sebagai raja atau 'raja' dari Kisar Pulau di 1665. Dia kemudian dibaptis sebagai Cornelis Bakker. Setiap klan berisi satu atau lebih rumah klan yang mewakili garis keturunan yang ada di dalam klan itu. Dalam Kisarese cerita rakyat clan biasanya disebut dengan nama rumah klan yang paling penting.
Klan yang nenek moyangnya yang asli (pribumi) ke Kisar
Klan yang berasal dari Pulau Timor
Klan yang berasal dari Kepulauan Kei (Maluku Tenggara)
Klan yang berasal dari Luang Island (central Maluku Barat Daya).
Klan adat umumnya diakui sebagai pemilik tanah tradisional dalam setiap kelompok etno-linguistik mereka sendiri. Klan imigran yang dikenal sebagai 'perahu-pemilik'. Klan biasanya dibagi menjadi empat jalur semi-independen keturunan, yang disebut rumah
Klan kerajaan Hihileli-Halono berbasis di Wonreli memiliki status tertinggi di pulau dan memberikan kepala semua klan yang Meher berbahasa. Ini mungkin mengapa Belanda diinstal kepala suku Pakar dari klan Hihileli sebagai raja atau 'raja' dari Kisar Pulau di 1665. Dia kemudian dibaptis sebagai Cornelis Bakker. Setiap klan berisi satu atau lebih rumah klan yang mewakili garis keturunan yang ada di dalam klan itu. Dalam Kisarese cerita rakyat clan biasanya disebut dengan nama rumah klan yang paling penting.
Di wilayah
Meher berbahasa, klan dikelompokkan ke dalam domain yang diatur oleh seorang
kepala klan tunggal (marna), yang dibantu oleh klan bangsawan sekutu (wuhru,
alternatif wuhur atau bur). Klan yang tersisa adalah jelata (anan, alternatif
Stam) dan membentuk sebagian besar masyarakat . Beberapa marga biasa berasal
dari budak (alias atau Akaa) yang baik ditangkap selama perang suku atau
dibeli. Ada dua puluh klan mulia dan klan biasa dan tiga klan hamba terdiri
dari mantan budak .
Populasi
mestizo dari Kota Lama yang secara lokal disebut sebagai Walada (Belanda)
adalah salah satu pengecualian dan tidak dikelompokkan ke dalam klan. kota
mereka bukan domain tradisional, melainkan ketergantungan Wonreli .
Di desa-desa
Oirata berbahasa populasi dibagi menjadi tujuh klan dikenal sebagai pãda atau
soa: Hano'o, Selewaku, Pamodo, Hunlori, Audoro, Ira Ara dan Asatupa.
Keanggotaan berdasarkan keturunan patrilineal. Masing-masing dari tujuh marga
ini dibagi menjadi sejumlah rumah atau garis keturunan yang dikenal sebagai
kodo, masing-masing milik salah satu dari tiga marna atau sosial tingkat: ratu
atau bangsawan, yang Rurin kaka (kakak) atau keturunan ratu yang telah menikah
bawah, dan Rurin yang no'o-no'o (adik) jelata dan mantan budak (ata). Dengan
demikian terbesar Hano'o klan memiliki enam garis keturunan ratu, empat Rurin
kaka garis keturunan dan 14 Rurin garis keturunan no'o-no'o. Ada 101 garis
keturunan secara total.
Di masa
lalu, pernikahan antara klan adalah asimetris, mengikuti tradisi dari connubium
melingkar yang luas dipraktekkan di seluruh Indonesia Timur. Pada saat yang
sama, pernikahan di Kisar hanya bisa terjadi antara klan dari status yang sama
seperti adat Dan Upacara Perkawinan
daerah adalah Maluku. Pernikahan itu biasanya patrilineal dengan pengantin
wanita bergerak ke desa suaminya. Seperti di banyak daerah lain di Indonesia
timur, preferensi itu untuk seorang pemuda untuk menikahi putri saudara ibunya.
Ini jelas masalah untuk putusan klan
Hihileli masyarakat berbahasa Meher. Hal
itu diselesaikan dengan cara sistem patrilineal aliansi asimetris tetap
menghubungkan tiga klan bangsawan (dasarnya garis keturunan) dari Kisar, Leti
dan Moa. Keluarga Kisar akan mengirim
anak perempuan mereka untuk menikah ke dalam keluarga Norimarna yang berkuasa
di Leti. Keluarga Norimarna akan menikahi putri mereka ke keluarga Pooroe
berkuasa di Moa, dan keluarga Pooroe akan menikahi putri mereka ke keluarga
Bakker yang berkuasa di Kisar. Pada Kisar mas kawin yang terdiri dari emas
dalam bentuk anting-anting, atau bulan emas dan piring, bersama dengan pedang
dan tekstil (de Jong dan van Dijk 1995, 120).
Bagi Kissar tukang emas memiliki
peran penting selama berabad-abad, membentuk perhiasan emas bagi Belanda atau penguasa emas Inggris. Mereka
juga menempa pedang (klewangs) dari benda-benda yang diimpor dari besi. Juga kombinasi serupa emas, pedang dan
tekstil yang diperlukan untuk penyelesaian denda adat mengenai pelanggaran
kasta pernikahan, perzinahan, kawin lari, kehamilan di luar nikah, pencurian, dll.
OIRATA atau OIRIAKA YANG BERARTI air busuk atau air yang tidak baik
sesungguhnya adalah salah. Saat ini Oirata menjadi lebih dikenal karena
bahasanya yang unik di dunia. Sehingga air yang busuk itu menjadi wangi dan memancar.
D. Ulasan
Singkat tentang Bahasa Oirata
Bahasa
Oirata adalah bahasa yang dipakai sebagai alat komunikasi Suku Oirata. Bahasa Oirata
hanya memiliki tradisi lisan dan tidak mememiliki tradisi tulis. Artinya,
bahasa Oirata tidak memiliki huruf tertentu seperti bahasa Jawa dengan huruf
Jawa, bahasa Bali dengan huruf Bali, dan lain-lain. Bahasa Oirata memiliki beberapa
ciri umum sebagai berikut.
1)
Ciri Fonologis
(a) Bunyi akhir vokal (bahasa vokalis)
Ciri
umum bahasa Oirata yang paling menonjol dibandingkan dengan bahasa bahasa yang
lain di sekitarnya adalah semua kata berakhir dengan bunyi vokal. Dengan kata
lain, bahasa Oirata termasuk bahasa vokalis. Beberapa contoh kata bahasa Oirata
di antaranya iyahure
‘mengeram’,
somone
‘mengangkat’,
ira
eme ‘mengambil
air’, hahulu
‘mentimun’,
ilikua
(ilkua) ‘ketiak’,
hOiratae
‘kenyang’,
maina
‘keras’,
dan lain-lain.
Jika
dalam suatu percakapan ditemukan kata yang berakhir dengan konsonan, dapat
dipastikan bahwa kata itu adalah berasal dari kosakata bahasa lain atau
kosakata pinjaman. Berikut beberapa kata pinjaman yang ditemukan dalam bahasa Oirata,
di antaranya berasal dari bahasa Meher: aur ‘kapur’, kukis ‘kue’, kawar ‘atap rumah’, hair ‘bendera’, lo’Oirata ‘pedang’, dan kimur ‘timur’. Kosakata Oirata yang
berasal dari bahasa lain seperti bahasa Romang: adur ‘tikus besar’, bahasa Indonesia: kartas ‘kertas’, kapal ‘kapal’, yampatan ‘jembatan’, gong ‘gong’, dan lain-lain. Kita harus
cermat terhadap kosakata pinjaman dalam bahasa Oirata. Kosakata pinjaman dari
bahasa lain pada umumnya diadaptasikan ke dalam pengucapan bahasa Oirata. Jika
kosakata pinjaman itu berakhir dengan konsonan, kata tersebut akan diperlakukan
dengan tiga cara. Cara pertama, konsonan akhir tersebut akan diperlakukan
seperti apa adanya (tidak diubah). Cara kedua, konsonan akhir tersebut akan
dihilangkan, terutama bunyi dOirataso-velar dan glottal. Contoh yang ditemukan di antaranya
dalam bahasa Indonesia: tuak > tua ‘tuak’, susah > susa ‘susah’, salah > sala ‘salah’, penuh > penu ‘penuh’. Cara ketiga, pada kata tersebut
akan ditambahkan dengan vokal pada akhir kata. Vokal akhir yang ditambahkan itu
biasanya akan disesuaikan dengan vokal pada suku kata sebelumnya. Di antara
kata yang ditemukan dalam bahasa Indonesia: kamar >kamara ‘kamar’, dapur > đapuru ‘dapur’, rakit > rakiti ‘rakit’, sabit > sabiti ‘sabit’, dan lain-lain.
Dalam
hal pengadaptasian kosakata lain sebagai pinjaman ke dalam bahasa Oirata,
selain dengan cara dibiarkan, penghilangan konsonan akhir, atau penambahan
vokal akhir juga dilakukan penyesuaian dengan bunyi-bunyi yang ada dalam bahasa
Oirata. Sebagai contoh, bahasa Oirata tidak memiliki bunyi konsonan /b/, /g/,
/j/, /c/, /d/, dan bunyi vokal /∂/. Jika dalam kosakata pinjaman mengandung
unsur bunyi tersebut, maka bunyi-bunyi tersebut akan diganti dengan bunyi
terdekat yang ada dalam bahasa Oirata. Beberapa contoh yang ditemukan di
antaranya dalam bahasa Indonesia: budi > pudi ‘budi’, bata > pata ‘bata’, besar > pesara ‘besar’, gambir > kamir ‘gambir’, gasing > kasin ‘gasing’, rugi > ruki ‘rugi’, jala > đala ‘jala’, jaring > đari ‘jaring’, jembatan > yampatana ‘jembatan’, cina > sina ‘cina’, cita > kita ‘kain cita’, cui > kui ‘burung dara’, kuda > kuđa ‘kuda’, kerbau > karho ‘kerbau’, kertas > kartasa ‘kertas’, remas > ramasu ‘remas’, periksa > pĕrĕksĕ ‘periksa’, lemari > limara
‘lemari’, dan lain-lain. Pola
adaptasi bunyi pinjaman yang diselaraskan dengan bunyi yang ada dalam bahasa
Oirata: /b/ > /p/, /g/ > /k/, /j/ > /y/ dan /đ/, /c/ > /s/ dan /k/,
dan /∂/ > /i, ĕ, a/.
Berkaitan
dengan bahasa vokalis, banyak Orang yang berspekulasi bahwa eksestensi bahasa
itu berkaitan dengan letak geografis pemakainya. Hal itu juga terjadi pada
bahasa Oirata pada masa lalu. Sebelum Suku Oirata menempati desa sekarang ini,
mereka tinggal di atas bukit bagian selatan pulau itu. Mereka tinggal berjauhan,
bahkan mereka tinggal di atas dua bukit, sebagian di negeri Manheri ‘bukit sebelah timur’ dan sebagian
lagi tinggal di negeri Mauhara ‘bukit sebelah barat’ sebagai tempat asal leluhur Suku
Oirata. Di antara kedua bukit Manheri dan Mauhara terdapat sebuah ngarai atau lembah di antara dua jurang
bertebing terjal. Belum lagi di musim gelombang besar, suara ombak memecah
daratan membuat suasana menjadi lebih bising. Kondisi letak geografis pada masa
silam seperti ini diyakini oleh para tokoh masyarakat Suku Oirata memberi andil
bagi dominannya pemakaian bunyi vokal terutama pada kosakata akhir. Untuk
memperlancar komunikasi, Suku Oirata sering menggunakan bunyi vokal belakang
panjang /Ō/ dengan tekanan dari dalam yang kuat untuk memanggil orang pada
jarak tertentu.
Selain
itu juga sering digunakan bunyi gabungan KV atau suku kata dengan bunyi vokal
tinggi depan panjang pada akhir suku /kī/ dengan tekanan suara melengking.
Bunyi-bunyi tersebut sampai sekarang masih kerap digunakan. Jika bunyi-bunyi
itu tidak cukup kuat dipakai sebagai alat komunikasi akibat jarak atau suara
debur ombak, Suku Oirata sering menggunakan tauria ‘kerang besar’ dengan cara meniupnya
kuat-kuat. Tauria
biasanya
dipakai sebagai alat komunikasi umum, misalnya untuk berkumpul atau tanda
penting lainnya. Yang jelas kondisi geografis negeri asal Suku Oirata seperti
itu cukup memberi andil
besar bagi penggunaan bunyi-bunyi
bersuara atau vokal pada akhir kata.
(b) Bunyi vokal akhir lemah
Bahasa
Oirata sebagaimana yang ada sekarang memiliki ciri bahwa bunyi bunyi vokal pada
akhir kata secara umum diucapkan dengan lemah disertai dengan nada menurun
terutama pada komunikasi dengan jarak dekat. Berikut ini contoh nada bunyi
dalam bahasa Oirata.
 ̄ \
a)
ante
‘saya’
 ̄ \
b)
auni
‘satu’
 ̄  ̄ \
c)
đođoli
‘sedikit’
 ̄  ̄ \
d)
Mara
o ‘Pergi
kah?’
Sebagai
akibat lemahnya bunyi-bunyi vokal pada akhir kata, maka sering bunyi vokal itu
tidak terdengar dan karena itulah vokal itu sering ditulis dalam kurung (…)
yang maksudnya kadang-kadang terdengar dan kadang-kadang dilesapkan seperti
pada beberapa contoh sebagai berikut.
a) sair(i) ‘bendera’
b) aun(i) ‘satu’
c) al(a) ‘perang’
d) il(i) ‘perangkap’
(c) Pelesapan bunyi dan pemendekan
suku kata
Bahasa Oirata juga memiliki
kecenderungan dalam bentuk pelesapan bunyi dan pemendekan suku kata.
Kecenderungan tersebut dapat dimungkinkan karena tiga faktor. Pertama,
berkaitan dengan bunyi vokal yang diucapkan lebih lemah pada akhir suku kedua
atau akhir kata sebagaimana telah disinggung pada bagian di atas. Kedua, faktOirata
kebiasaan berbicara cepat pada masyarakat Suku Oirata, sehingga memungkinkan
penggabungan dua kata menjadi satu kata. Ketiga, faktOirata lingkungan bahasa
yang terjadi di kawasan tersebut. Di sekitar bahasa Oirata seperti kawasan
masyarakat Ambon dan Nusa Tenggara Timur ada fenomena pemakaian bahasa yang
cenderung membuat lebih singkat dari biasanya. Berikut ini disajikan beberapa
contoh pemakaian bahasa Indonesia yang disingkat dan menjadi lebih pendek dari
yang seharusnya.
No.
Bentuk singkatan Bentuk
yang seharusnya
1. DOrang.
Dia
Orang.
2. Sapi
main bola. Saya
pergi main bola.
3.
Air sudekat. Air
sudah dekat.
4. Sutan
kecil. Susu
Tante kecil.
5. Ini
busa aja. Ini
buat saya saja!
Berdasarkan ketiga faktOirata di
atas diyakini dapat berimplikasi pada pelesapan bunyi serta berimplikasi pula
pada pemendekan suku kata bahasa Oirata. Berikut disajikan betuk-bentuk
pelesapan yang ditemukan.
No.
Bentuk yang seharusnya
Bentuk pelesapan
1.
ilihua
‘abu’ ilhua ’abu’
2. walihia ‘antin-anting’ walhia ‘anting-anting’
3. mumulai ihi ‘bunga pepaya’ mumlai ihi ‘bunga pepaya’
4. isame halu ‘menyesal’ isamhalu ‘menyesal’
5. hari Selasa ‘hari Selasa’ Harsalasa ‘hari Selasa’
6. ita ima ‘bersetubuh’ (manusia) itima ‘bersetubuh’ (manusia)
(d) Bunyi alternasi
Selain ciri-ciri di atas, bahasa Oirata
juga memiliki ciri lain dalam bentuk bunyi alternasi. Artinya, dalam bahasa Oirata
ada bunyi-bunyi tertentu dapat digantikan atau berubah menjadi bunyi lain dan
atau dapat saling mengantikan satu sama lain. Perubahan bunyi dalam bentuk
alternasi itu diyakini sebagai akibat proses sejarah dan perjalanan panjang
bahasa tersebut menjadi bahasa Oirata seperti sekarang ini. Berikut ini
disajikan beberapa bentuk bunyi alternasi yang ditemukan.
1.
/p/ ~ /h/
Bunyi /h/ sangat dominan dalam bahasa Oirata. Artinya kosa
kata dalam bahasa Oirata banyak mengandung bunyi /h/. Bunyi /h/ tersebut
ternyata cukup banyak beralternasi dengan bunyi /p/. Setelah ditelusuri bunyi
/h/ tersebut sangat besar kemungkinannya berasal dari /bunyi /p/. Berikut ini
disajikan beberapa contoh sekaligus bukti bentuk perubahan itu.
Contoh: a) itaresi ‘saling rebut’, pai ‘kerja’
itaremhai ‘saling berebut’
b) a’a ‘(di) atas’, pale ‘menyatu’
a’ahale ‘menyiapkan makanan’
(kebiasaan memasak dengan mencampur bahan menjadi satu)
c) ura ‘buka’, panu ‘depan/awal’, pate ‘musnah’
urahate panhate ‘membuat jadi berantakan, hancur
lebur’
d) Ratupaira ‘nama Orang dengan kasta Ratu di
masa lalu’
Latuhaira, Resihaira, Lelhaira, dan
Ratuhaira ‘nama
sekarang’
(Nama-nama tersebut sebagai penghOiratamatan terhadap leluhurnya)
2
/s/ ~ /h/
Bunyi /h/ juga beralternasi dengan bunyi /s/. Akan tetapi,
alternasi bunyi itu umumnya terjadi pada nama diri. Berikut ini disajikan
beberapa contoh nama diri pada masa sekarang yang dikaitkan dengan masa silam.
Contoh:
a) Nama diri SOiratau yang ditemukan pada masa lalu,
sekarang
diabadikan nama-nama seperti HOiratau, HOiratalai, dan HOiratawata.
b) Nama diri Saira yang ada pada masa lalu, sekarang ditemukan
dengan nama-nama
diri seperti Haira,
Hairma’u, Lelihaira,
Werhaira, dan Resihaira
c) Nama diri yang ada sekarang: Sara beralternasi dengan Hara,
Sarika beralternasi dengan Harika, dan Masa dengan Maha.
3
/t/ ~ /r/
Bunyi /t/ juga beralternasi dengan bunyi /r/. Berikut ini
disajikan beberapa contoh berdasarkan fakta bahasa yang ditemukan.
Contoh:
a) titimu
‘dOirataong’
iyaritimu ‘dOirataong lebih ke atas’
b) tapa ‘tusuk’
muđurapa ‘tusuk masukkan ke dalam’
4
/đ/ ~ /l/
Selain bunyi-bunyi di atas, berikut ini juga ditemukan bunyi
/đ/ beralternasi dengan bunyi /l/.
Contoh: a) /đapuru/ = /lapuru/ ‘dapur’
b) /đila/ = /lila/ ‘katak’
c) /Đailaru/ = /Lailaru/ ‘nama Orang’
5
/l/ ~ /r/
Bunyi /l/ juga ditemukan beralternasi dengan bunyi /r/ yang
dominan untuk nama Orang atau nama keturunan.
Contoh:
a) /Ratu
Paira/
= /Latu Paira/ ‘nama Orang’
b) /Ratusuai/ = /Latusuai/ ‘nama keturunan’
c) /Raihara/ = /Laihara/ ‘nama Orang’
2)
Ciri Morfologis
(a) Akhiran (sufiks)
Dalam bahasa Oirata terdapat dua
sufiks, yaitu -r(a)
dan -n(a) yang masing masing memiliki fungsi
dan makna berbeda-beda. Berikut ini kedua sufiks tersebut diuraikan dengan
beberapa contohnya.
1. Sufiks -r(a) . Bentuk asal sufik ini adalah -ra, tetapi sering direalisasikan dalam
bentuk -r
sebagai
akibat dari kecenderungan pelesapan vokal akhir kata pada bahasa itu. Sufiks -ra tidak berfungsi mengubah kelas kata.
Sufiks ini hanya berfungsi
membentuk makna ‘jamak’.
Berikut ini disajikan contoh yang
ditemukan.
No Bentuk asal Bentuk jadian
a. mara ‘pergi untuk seOrang’ marar(a) ‘pergi untuk Orang banyak’
b. mođo ‘anak’ mođOirata(a) ‘anak-anak’
c. rata ‘nenek moyang’ ratar(a) ‘nenek moyang semua’
d. na ‘ibu’ nara ‘ibu-ibu’
e. ha ‘bapak’ hara ‘bapak-bapak’
Catatan:
Sufiks -r(a) di atas secara eksplisit dapat dirunut
proses pembentukannya. Artinya, bentuk asal atau bentuk dasarnya dapat dikenali
sebagai sesuatu yang bermakna ‘tunggal dan setelah dilekati sufiks -r(a) makna bentukan tersebut menjadi
jamak. Berikut ini juga ditemukan bentukan yang berakhir dengan –ra atau -r dengan makna jamak. Akan tetapi,
bentukan itu tidak jelas bentuk dasarnya. Maksudnya, apakah bentukan itu
bersasal dari bentuk dasar yang
memperoleh sufiks -ra atau -r atau bentukan itu memang berakhir
dengan –ra
atau -r. Bentukan tersebut adalah sebagai
berikut.
Contoh:
ihar ‘anjing’ yang hidupnya berkelompok
iyar ‘jalan’ yang selalu bercabang-cabang
asir ‘garam’ yang berbutir-butir
uhur ‘lalat’ yang hidupnya berkelompok
keer ‘tangga’ dengan banyak anak
tangganya.
pupur mara ‘pergi bersama-sama’
pupur lalare ‘berjalan bersama-sama’
pupur pun mere ‘duduk kumpul bersama-sama’
pupur međe ‘makan bersama-sama’
2. Sufiks -n(a)
Bentuk asal sufiks ini adalah -na. Pada bahasa Oirata setiap vokal di
akhir kata selalu dilafalkan dengan sangat lemah, lebih-lebih jika kata itu
diucapkan dengan cepat, maka vokal itu akan dilesapkan. Sufiks -na dapat berfungsi membentuk kelas kata
benda dan memiliki makna ‘dibendakan’ atau ‘sesuatu yang seperti bentuk
dasarnya’.
Contoh:
Kelas
kata Bentuk dasar Bentuk
jadian (klas kata benda)
benda ru’u ‘bunyi’
ru’u-ru’un ‘bunyi-bunyian’
ili ‘pantat’ ilin ‘buritan perahu/kapal’
kerja ihile ‘terbang’
ihilen ‘yang terbang’ (burung, pesawat)
međe ‘makan’ međen ‘makanan’
ina ‘anyam’
inan anyaman’
iramara‘mencari air’ ira maran ‘pencari air’
lause ‘pelihara’ mođo lausana ‘anak peluharaan’
halampai‘kerja ladang’ halampain ‘peladang’
uste ‘bertanya’ usten ‘yang bertanya’
alamara ‘pergi perang’ almara-maran ‘tentara’
sifat ruri ‘kuat’
rurin ‘kekuatan’
ara ‘terang’ aran
‘yang menerangi’ (lampu, obOirata,
dll.)
hire ‘dusta, bohong’ hiren ‘pembohong’ atau ‘pendusta’
hanate ‘sakit’ hanatena ‘penyakitan’
Catatan:
Selain sufiks -n(a) sebagaimana memiliki fungsi dan makna
di atas, ditemukan pula -n(a) yang menyatakan ‘kepunyaan’ atau ‘nya’ dalam bahasa
Indonesia. Contoh: umu
‘mayat’, waya ‘air’> umun waya ‘airnya mayat’ tara ‘cabang’, ete ‘pohon’ >taran ete ‘cabangnya pohon’. Perhatikan juga
contoh di bawah ini.
1) semene ‘cadik/sayap perahu’, lapai ‘besar’
semen lapai ‘cadik besar’ > pelemahan /e/
2) taanauni ‘sepuluh’, kapa ‘delapan’
taan kapa ‘delapan puluh’
3) lalunu ‘gelombang’, pitu ‘tujuh’
lalunpitu ‘gelombang tujuh lapis’
4) laruni ‘lipan’, mimreke ‘merah’
larun mimreke ‘lipan merah’
Contoh-contoh di atas memperlihatkan
bahwa sufiks -n
memang
berasal dari -na
dan terjadi pelesapan vokal setelah
bergabung dengan kata berikutnya.
3. Akar kata
Bahasa Oirata sangat kaya dengan
akar kata (root). Secara leksikal bentuk tersebut
memiliki makna, tetapi tidak pernah berdiri sendiri. Artinya, dalam konteks
pemakaian bentuk itu selalu berpasangan dengan bentuk lainnya. Fakta bahasa
tersebut mungkin merupakan salah satu ciri dari bahasa Oirata sehingga dapat dikategOirataikan
sebagai bahasa majemuk. Beberapa contoh bentuk akar kata yang ditemukan dapat
disajikan sebagai berikut.
1) ani
Bentuk ani memiliki makna yang menyatakan
kepunyaan atau milik. Meskipun bentuk ani memiliki makna leksikal, tetapi bentuk tersebut selalu berpasangan
dengan bentuk lainnya. Dalam konteks pemakaian sehari-hari bentuk ani kadang-kadang muncul secara
eksplisit, tetapi juga dapat terjadi secara implisit. Meskipun implisit,
kehadirannya dapat dirasakan berdasarkan makna yang ditimbulkannya. Selain itu,
alasan ketidakhadirannya dapat dijelaskan secara sistematis. Untuk lebih
jelasnya di bawah ini diuraikan dengan beberapa contoh.
Contoh 1:
Berikut ini ditampilkan bentuk ani yang digunakan secara eksplisit. eta ani > etāni ‘kamu punya’ (‘milik kamu’ atau
‘milikmu’)
ante ani > antāni ‘saya punya’ (‘milik saya’)
inta ani > intāni ‘kami punya’ (‘milik kami’)
apta ani > aptāni ‘kita punya’ (‘milik kita’)
uweta ani > uwetāni ‘dia punya’ (‘milik dia’ atau
‘miliknya’’)
waita ani > waitāni ‘mereka punya’ (‘milik mereka’)
Contoh 1 di atas merupakan bentuk
konstruksi-1 yang dengan mudah dapat diamati kehadiran ani sebagai bentuk yang menyatakan
milik. Berikut ini juga ditemukan konstruksi-2 dari bentuk ani yang implisit tetapi tetap bermakna menyatakan
kepunyaan atau milik.
Contoh 2:
a) antuhurai ‘istri saya’
Kata antuhurai terdiri dari tiga bentuk (ante ‘saya’, ani ‘punya’, tuhurai‘istri’). Pada bentuk ante ani terjadi proses asimilasi regresif
menjadi antāni
tuhurai.
Tahap selanjutnya terjadi proses penghilangan di tengah kata (syncope) sehinggga menjadi bentukan antuhurai ‘saya punya istri’ (‘istri saya’).
b) anmođo tuhurai ‘anak perempuan saya’
Bentukan anmođo tuhurai terdiri atas empat bentuk asal (ante ‘saya’, ani ‘punya’, mođo ‘kecil’ dan tuhurai ‘perempuan’). Bentuk dasarnya adalah
ante
ani ‘saya
punya’ dan mođo
tuhurai ‘perempuan
kecil’ atau ‘anak perempuan’. Pada bentukan ante ani mođo terjadi proses syncope sehingga membentuk anmođo. Proses selanjutnya terbentuklah anmođo tuhurai yang berarti ‘saya punya anak perempuan’
(‘anak perempuan saya’). Kedua contoh yang disajikan di atas menunjukkan bahwa
konstruksi 2 terjadi proses syncope. Artinya, konstruksi-2 lebih singkat dibandingkan dengan
konstruksi-1. Selain itu, ditemukan juga konstruksi-3 yang lebih singkat dari
yang telah ada.
Contoh 3:
Berikut ini disajikan konstruksi-3
yang juga mengimplisitkan bentuk ani sebagai
akibat proses syncope.
ele (etāni ‘kamu punya’, le ‘rumah’) > ‘kamu punya rumah’
(‘rumahmu’)
ale (antāni ‘saya punya’, le ‘rumah’) > ‘saya punya rumah’
(‘rumah saya’)
ile (intāni ‘kami punya’, le ‘rumah’) > ‘saya punya rumah’
(‘rumah kami’)
aple (aptāni ‘kita punya’, le ‘rumah’) > ‘kita punya rumah’
(‘rumah kita’)
ule (uwetāni ‘dia punya’, le ‘rumah’) > ‘dia punya rumah’
(‘rumahnya’)
wale (waitāni ‘mereka punya’, le ‘rumah’) > (‘rumah mereka’).
2) ara
Bentuk
ara
memiliki
makna yang menyatakan ‘sesuatu yang berposisi rendah’ atau ‘di/ke bawah’. Dalam
beberapa konteks bentuk ara berpasangan dengan bentuk-bentuk tertentu sebagai berikut.
Contoh:
a) hutrau ‘lempar’ atau ‘buang’ > arahutrau ‘lempar/buang ke bawah’
b) kaure ‘pegang’ > arakaure ‘pegang pada bagian bawah’
c) ruale ‘tanam’(tiang) atau ‘tabcapkan’ > araruale ‘tancapkan di bawah’
d) noure ‘usir’ > aranoure ‘usir ke bawah’
e) ihile ‘terbang’ > aranihile ‘terbang menurun’
f) nasi ‘lihat’ > aranasi ‘tengok ke bawah’
g) kono ‘angkut/angkat’ atau ‘bawa’ > arakono ‘bawa ke bawah’
h) eme arakono ‘ambil bawa ke bawah’
3) ita
Bentuk ita memiliki makna ‘saling’. Bentuk ita juga dapat berpasangan dengan
beberapa bentuk seperti pada konstruksi berikut ini.
a) mi’e ‘cium’ > itami’e ‘saling cium’ atau ‘berciuman’
b) punu ‘muka’ > itampunu ‘saling pandang’ atau ‘berpandangan’
c) mire ‘duduk’ > itamire ‘duduk berdampingan’
d) ima ‘setubuh’ (manusia) > itanima ‘saling bersetubuh’
e) mese ‘setubuh’ (anjing) > itanamese ‘saling bersetubuh’
f) uđa ‘pukul’ > itauđa ‘saling pukul’ (pukul-pukulan)
g) serle ‘tukar’ >itaserle ‘saling tukar’ (tukar-menukar)
h) hati ‘pisah’ > itahati ‘saling berpisah’
4) iya
Bentuk iya memiliki makna yang menyatakan
‘sesuatu yang berposisi ke atas dan dibuat lebih di/ke atas lagi’. Di bawah ini
konteks pemakaiannya.
a) ihile ‘terbang’ > iyanihile ‘terbang ke atas lagi’
b) ho’e ‘tempat’ > iyaho’e ‘tempat di atas lagi’
c) kono ‘angkat’ atau ‘bawa’ > iyakono ‘angkat lebih ke atas’
d) mOiratae ‘letakkan’ > iyamOiratae ‘letakkan lebih di atas’
e) titimu ‘dOirataong’ > iyaritimu ‘dOirataong lebih ke atas’ (/t/ = /r/)
f) nare ‘tombak’ > iyanare ‘tombak ke atas lagi’
g) āni ‘ada’ > iyāni ‘ke ataskan lagi’
Catatan:
Selain
bentuk iya
sebagai
akar kata, ditemukan juga bentuk iya sebagai kata yang menyatakan ‘telapak’ kaki atau ‘telapak’
tangan. Contoh: iya
lapai ‘telapak
kaki’ dan lapai
‘besar’,
maksudnya ‘telapak kerbau’
5) međe
Bentuk međe memiliki makna ‘segala sesuatu yang
memang masih di bawah untuk menjadikan lebih tinggi’ Cermatilah bentukan
berikut ini.
Contoh:
a) kaure ‘angkat badan’ > međekaure ‘angkat badan agar tidak tenggelam’
b) name ‘ambil’ > međename ‘ambil dari tanah’
c) uare ‘lompat’ > međeuare ‘lompat dari bawah ke atas’
d) simu ‘lempar’ > međesimu ‘lempar dari bawah ke atas’
e) manđe ‘angguk’ > međemanđe ‘angguk ke atas’ atau ‘tengadah’
Catatan: Selain bentuk međe sebagai akar kata, ditemukan juga međe sebagai kata yang dapat berdiri
sendiri dengan makna ‘makan’ Contoh: đele međe ‘makan jagung’, međen ‘makanan’
6) pai
Bentuk pai memiliki makna ‘bekerja’, ‘aktif’,
‘melakukan’, dan ‘membuat’ seperti pada bentuk dasar yang dilekatinya. Bentuk pai dapat berposisi di depan kata yang
dilekatinya dan dapat pula di belakang kata yang dilekatinya. Berikut ini
disajikan beberapa konstruksi bentukan yang ditemukan. Contoh:
Posisi pai di depan kata yang dilekatinya.
a) kaki ‘luka’ > paikaki ‘melukai’
b) lapane ‘banyak’ > pailapane ‘memperbanyak’
c) tepu ‘patah’ (tentang tongkat) > paitepu ‘mematahkan’
d) laire ‘nyala’ (obOirata, lampu) > pailaire ‘menyalakan’ (obOirata, lampu)
Posisi pai di belakang kata yang dilekatinya.
a) ilaka ‘gasing’ > ilakapai ’bermain gasing’
b) hala ‘ladang’ > halampai ‘berladang’
c) kasu ‘hutang’ > kasunpai ‘berhutang
d) nelu ‘janji’ > nelunpai ‘berjanji’
e) waku ‘teriak’ >wakunpai ‘berteriak’
f) sala ‘berzina, dosa, dan salah’ >salampai ‘berzina, berdosa, bersalah’
g) ala ‘perang’ > alpai ‘berperang’
Catatan:
Di samping bentuk pai sebagai akar kata yang bermakna
aktif, ditemukan bentuk kata dasar yang memiliki suku pai, seperti lapai ‘besar’. Artinya, kata dasar lapai tidak berasal dari la dan pai.
7) muđu
Bentuk muđu memiliki makna ‘masuk’ atau ‘dalam’.
Berikut ini disajikan beberapa konstruksinya. Contoh:
a) a’a ‘di’ > muđua’a atau muđa’a ‘di dalam’
b) halese ‘berlabuh’ > muđuhalse ‘berlabuh masuk ke dalam’
c) tapa ‘tusuk’ > muđurapa ‘tusuk masukkan ke dalam’
d) ho’e ‘tempat’ > muđuho’e ‘masuk ke dalam tempat ruang sempit’
e) hutrau ‘buang’ > muđuhutrau ‘buang ke dalam’
f) iyalare ‘berjalan kaki’ > muđuyalare ‘berjalan kaki masuk ke dalam’
g) nate ‘berdiri’ > muđunate ‘berdiri di dalam’
h) kono ‘bawa’ > muđukono ‘bawa masuk ke dalam ruang luas’
i) name ‘ambil/terima’ > muđuname ‘terima di dalam’
8) ua
Bentuk ua memiliki makna yang menyatakan ‘di,
dari, atau ke bawah’. Berikut ini ditemukan beberapa pasangannya. Contoh:
a) suile ‘melangkah’ > uasuile ‘berjalan merunduk ke bawah’
b) kaure ‘jamah’ > uakaure ‘jamah dari bawah’
c) mOiratae ‘sembunyi’ > uamOiratae ‘sembunyikan di bawah sesuatu’
9) una
Bentuk una memiliki makna yang menyatakan
‘tempat yang jauh’. Berikut disajikan beberapa contoh konstruksi yang
ditemukan.
a) hutrau ‘lempar’ atau ‘buang’ > unahutrau ‘lempar jauh di sana’
b) mire ‘duduk’ > unamire ‘duduk jauh di sana’
c) lare ‘berjalan’ > unalare ‘berjalan jauh ke sana’
d) mara ‘pergi’ > unamara ‘pergi jauh ke sana’
e) na’aye ‘berenang’ > una’aye ‘berenang jauh ke sana’
10) ina
Bentuk ina memiliki makna yang menyatakan
‘tempat yang dekat’ atau ‘di/ke sini ’. Berikut disajikan beberapa contoh
konstruksi yang ditemukan. Contoh:
a) mire ‘duduk’ > inamire ‘duduk dekat sini’
b) ihile ‘terbang’ > inaihile ‘terbang mendekat’
c) nate ‘berdiri’ > inanate ‘berdiri dekat-dekat’
d) lare ‘berjalan’ > inalare ‘berjalan mendekat, datang mendekat’
11) utu
Bentuk utu memiliki makna yang menyatakan
‘lebih dulu, sebelum, dan menghalangi’. Berikut disajikan beberapa contoh
konstruksi yang ditemukan. Contoh:
a) raya ‘ingin meniduri pacar’ > utraya ‘mau meniduri pacar, tapi telah didahului oleh Orang lain’
b) nuhele ‘batu untuk meringankan tugas teman’
> utnuhele
‘mendahului
mengambil alih untuk meringankan tugas temannya’.
c) ruri ‘kuat’ > utruri ‘mengakui lebih dulu milik Orang
lain dengan kekuatan karena merasa dirinya yang memilikinya’.
d) hire ‘bohong atau dusta’ > uthire ‘merampas milik Orang lain dengan sengaja
membohonginya’.
e) kođo ‘kandang’ > utkođo ‘menyekat sebuah kandang menjadi dua
atau beberapa bilik’.
f) rau ‘letak, ruang’ > utrau ‘menghalangi jalan masuk seseOrang
dengan sesuatu benda’.
g) serkeđe ‘berhadapan’ > utserkeđe ‘serta merta menghalangi Orang yang sedang
berhadapan dengan sesuatu benda’.
4. Bentuk jamak
Bentuk jamak dalam bahasa Oirata
dinyatakan dengan empat cara. Keempat cara untuk menyatakan jamak itu terdiri
atas: reduplikasi, sufiks -r(a), penyebutan angka, dan pemajemukan. Berikut diuraikan
beberapa contohnya.
a) Reduplikasi
(1) le lapai ‘rumah besar’ > le-le lapai ‘rumah-rumah besar’
(2) mođOirataa ‘anak-anak’ > mođo- mođOirataa ‘anak-anak semua’
(3) nara ‘ibu-ibu’ > nara-ra ‘ibu-ibu semua’
(4) hara ‘bapak-bapak’ > hara-ra ‘bapak-bapak semua’
b) Sufiks -r(a)
(1) mođo ‘anak’ > mođOirataa ‘anak-anak’
(2) rat(a) ‘nenek moyang’ > ratara ‘nenek moyang semua’
(3) na ‘ibu’ > nara ‘ibu-ibu’
c) Penyebutan angka
(1) asa limi ‘ayam lima’ (lima ayam)
(2) hai taanauni ‘babi sepuluh’ (sepuluh babi)
(3) hihi ra’auni rianauni ‘kambing seratus sisa satu’ (seratus
satu kambing).
d) Pemajemukan
Bentuk jamak dengan cara pemajemukan
hanya dipakai dalam bahasa adat dan sangat jarang dipakai untuk kepentingan
sehari-hari. Bahasa ini biasanya digunakan untuk Orang dalam atau bahasa khusus
yang hanya diketahui oleh kalangan mereka. Di bawah ini beberapa
contoh pemakaiannya.
a) le ‘rumah (adat)’, natara ‘rumah’ > le-natara ‘semua rumah adat’
b) apupuru ‘kita-kita’, toutouru ‘semuanya’ > apupuru-toutouru ‘kita-kita sekalian’
e. Kata ulang
Kata ulang dalam bahasa Oirata
terdapat tiga bentuk, yakni kata ulang penuh dan kata ulang sebagian, dan kata
ulang semu.
1) Kata ulang penuh
Kata ulang penuh adalah kata yang
diulang secara utuh tanpa mengalami perubahan. Fungsi pengulangan kata tersebut
berimplikasi pada perubahan makna. Makna yang ditimbulkan akibat pengulangan
kata tersebut adalah menyatakan ‘berkali-kali’, ‘banyak’, atau ‘sangat’.
Berikut beberapa kata ulang penuh yang ditemukan.
Bentuk
dasar
Bentuk ulang
loi ‘guling’ loi-loi ‘guling-guling’
taya ‘tidur’ taya-taya ‘tidur-tiduran’
mete ‘lompat’ mete-mete ‘lompat-lompat’
rake ‘tengok’ rake-rake ‘tengak-tengok’
yoni ‘jauh’ yoni-yoni ‘jauh-jauh’
sa ‘daun jatuh’ sa-sa ‘banyak daun jatuh’
2) Kata ulang sebagian
Kata ulang sebagian adalah kata yang
pengulangannya dilakukan tidak penuh atau hanya sebagiannya diulang. Akan
tetapi, makna akibat pengulangan tersebut lebih variatif dibandingkan dengan
makna kata ulang penuh.
Bentuk
dasar Bentuk
ulang
taile ‘pelan’ tail-taile ’pelan-pelan’
sirkete ‘licin’ sir-sirkete ‘licin-licin’
kaisuile ‘belok’ kai-kaisuile ‘berbelok-belok’
iliare ‘putar’ iliar-iliare ‘berputar-putar’
lare ‘berjalan’ lalare ‘berjalan-jalan’
alamara ‘pergi perang’ almara-maran ‘tentara’
nohe ‘pagi-pagi’ nonohe ‘pagi-pagi buta’
maro ‘Orang’ mamaro ‘patung’
3) Kata ulang semu
Kata ulang semu adalah kata yang
bentuknya berulang. Akan tetapi, jika bentuk itu tidak diulang maka kata
tersebut tidak mempunyai makna. Kalaupun kata itu memiliki makna, maka maknanya
tidak berhubungan dengan jika kata tersebut diulang. Contoh: lua ‘kera’, tetapi lua-lua ‘lipas’asa ‘ayam’, tetapi as-asa (asa-sa) ‘kupu-kupu’.
Berikut beberapa contoh kata ulang
semu yang ditemukan dalam bahasa Oirata.
hoko-hoko ‘empedu’, hire-hire ‘berbohong’,
kara-kara ‘dahak’, Kele-kele ‘cincin’,
kira-kira ‘berpikir’, kiri-kiri (kir-kiri) ‘jamur’,
kita-kita ‘bendera kecil’ kui-kui ‘burung pipit’,
la’u-la’u ‘tempat tidur’, lua-lua ‘lipas’,
luku-luku ‘ngobrol’, mau-mau ‘kucing’,
no’o-no’o ‘tembuni’, rua-rua ‘pondok’,
sai-sai ‘paman dari ibu’, taya-taya ‘berbaring’,
tei-tei ‘upacara sakral’, tahi-tahi ‘kira-kira benar’, dan
wa’u-wa’u ‘ganteng’.
4) Kata Ulang berubah fonem
Kata ulang berubah fonem adalah kata
ulang yang mengalami perubahan pada beberapa fonemnya. Fungsi pengulangan
bentuk tersebut adalah untuk menyatakan ‘sangat’ atau ‘sekalian’. Bentuk ulang
berubah fonem ini biasanya hanya dipakai dalam bahasa adat atau bahasa dalam terutama pada upacara upacara sakral.
Berikut beberapa contoh yang ditemukan.
Bentuk
dasar Bentuk
ulang
laitara ‘kuno’, laitara-haitara ‘sangat kuno’
haupupuru ‘bapak-bapak’ naupupuru-haupupuru ‘bapak-bapak sekalian’
naupupuru ‘ibu-ibu’ naupupuru-urenpupuru ‘ibu-ibu sekalian’
rurinupupuru ‘adik-adik’ rurinupupuru-me’enupupuru ‘adik-adik sekalian’
5. Kata majemuk
Bahasa Oirata memiliki kecenderungan
memajemukkan setiap kata untuk memperjelas makna. Pada bahasa lain, umumnya
cukup dengan sebuah kata untuk menyatakan sebuah makna, kecuali memang sangat
diperlukan untuk itu. Berikut disajikan bebrapa contoh bentuk pemajemukan dalam
bahasa Oirata.
Bentuk
majemuk Makna
harfiah Maksudnya
ete lausana ‘bambu tumbuh’ ‘rebung’
wata losiri ‘rambut tongkat’ ‘jamur’
tua u’uraka ‘tuak mentah’ ‘tuak’
unut wirana (unutu wirana) ‘kepala terkelupas’ ‘botak’
ihar pulami ‘anjing kemaluan’ ‘kebiri’
(untuk anjing)
hai pulami ‘babi kemaluan’ ‘kebiri’
(untuk babi)
uma eru ‘tanah cakar’ ‘kais’
(untuk ayam)
uma kaure ‘tanah gali’ ‘gali’
(untuk manusia)
walin waye ‘telinganya pindah’ ‘mengelak’
iya nare ‘kaki tahan napas’ ‘melompat’
ina wetke (ina wetike) ‘mata bercabang’ ‘kedip’
isa wawara ‘hati bersih/senang’ ‘bersOirataak’
isa hanate ‘hati panas’ ‘sedih’
tana kupa huhume ‘tangan jari tiup’ ‘bersuit’
Selain itu, bentuk majemuk dapat
juga membentuk makna kias.
Bentuk
majemuk Makna
harfiah Maksudnya
na-ha (nale-hale) ‘ibu-bapak’ ‘tuhan’
ihar laware ‘anjing hitam’ ‘polisi’
ihar-asa ‘anjing-burung’ ‘pertanda’
hele kula ‘teman gula’ ‘karib’
u’ule ina ‘hijau wajah’ ‘tentara’
koholasa sau-saurana ‘peti menangis’ ‘radio’
sama yalu ‘sama laki-laki’ ‘mandul’
ira timini ‘air panas’ ‘teh’
C
Ciri Sintaksis
1) Kata ganti Orang
Kata ganti Orang dalam bahasa Oirata
direalisasikan dalam dua bentuk, yakni bentuk panjang dan bentuk singkat.
Berikut ini beberapa kata ganti Orang yang ditemukan dalam bahasa Oirata.
No
Kata Ganti Bentuk Singkat Menyatakan
Sebagai Orang ke-
1 Ante/anri A(n) ‘saya/aku’ I-tunggal
2 Inte I(n) ‘kami’ I-jamak eksklusif
3 Apte /apre Ap ‘kita’ I-jamak inklusif
4 Ere (Ate) E ‘kamu/kau’ II-tunggal
5 Iu I ‘kalian’ II-jamak
6 Uwe U ‘dia’ III-tunggal
7 Waiye Wa ‘mereka’ III-jamak
Bentuk singkat biasanya dipakai
sebagai kata ganti untuk menyatakan ‘milik’. Pemakaian bentuk singkat yang
menyatakan ‘milik’ itu dapat dijelaskan dalam contoh berikut. Kata hala bermakna ‘kebun’. Untuk menyatakan
bawa ‘kebun’ itu adalah milik Orang tertentu, maka akan direalisasikan dalam
bentuk singkat sebagai berikut.
Realisasi
Menyatakan
Ahala ‘kebun milik saya/ kebunku’
Inhala ‘kebun milik kami/kebun kami’
Aphala ‘kebun milik kita/kebun kita’
Ehala ‘kebun milik kau/kebunmu’
Ihala ‘kebun milik kalian/kebun kalian’
Uhala ‘kebun milik dia/kebun dia/kebunnya’
Wahala ‘kebun milik mereka/kebun mereka’
2 Kelompok kata dengan hukum MD
Kelompok kata merupakan salah satu
proses pembentukan kata untuk memperkaya ranah struktur suatu bahasa. Struktur
kelompok kata umumnya terdiri dari unsur yang diterangkan (D) dan unsur yang menerangkan (M). Dalam bahasa Oirata, unsur yang
menerangkan (M) diposisikan atau terletak sebelum unsur yang diterangkan (D).
Fenomena bahasa dengan hukum MD ini sangat dominan terjadi pada bahasa Oirata,
sekaligus hal ini merupakan ciri tersendiri bahasa tersebut. Berikut ini
disajikan beberapa contoh yang ditemukan.
Contoh:
a) hai ‘babi’, kođo ‘kandang’
hai kođo ‘babi-kandang’ (kandang babi)
b) nomOiratao ‘desa’, luturu ‘tugu batas’
nomOirata lutur ‘desa-batas’ (batas desa)
c) warata ‘barat’, he ‘musim’
warathe ‘barat musim’ (musim barat)
d) ira ‘air’, tara ‘cabang’
irataran ‘air cabangnya’ (aliran air yang
bercabang)
e) pepele ‘busur’, taru ‘tali’
pepeltaru ‘busur tali’ (tali busur).
Kelompok kata yang menyatakan
kepemilikan dan pemiliknya disebutkan, maka konstruksinya juga mengikuti hukum
MD.
Contoh:
a)
Ilwali
‘nama
istri’, namrai
‘suami’
Ilwali namrai ‘Ilwali suami’(suami Ilwali)
b)
Ilwaru
‘nama
ibu’, mođo
‘anak’
Ilwaru mođOirataa ‘Ilwaru anak-anak’ (anak-anak
Ilwaru)
c)
HOiratawata
‘nama Orang’,
natara
‘rumah’
HOiratawata natara ‘HOiratawata rumah’ (rumah HOiratawata)
d)
Leweđalu
Ratu HunlOiratai ‘nama
suami keturunan Ratu’, tuhurai ‘istri’
Leweđalu Ratu HunlOiratai tuhurai ‘Leweđalu Ratu HunlOiratai istri’
(istri Leweđalu Ratu HunlOiratai)
e)
Wakulono
‘nama’, tauria ‘terompet kerang untuk memanggil
warga’
Walkulono tauria ‘Walkulono terompet kerang’ (terompet
kerang milik Walkulono)
6. Postposisi
Bahasa Indonesia atau bahasa-bahasa
Austronesia umumnya memiliki struktur preposisi atau kata depan. Sebaliknya,
bahasa-bahasa Papua (non- Austronesia) umumnya memiliki struktur postposisi. Bahasa Oirata sebagaimana bahasa-bahasa
non Austronesia memiliki struktur postposisi. Berikut beberapa contoh dalam bahasa
Oirata.
1) hala muđuna’a (hala muđu a’a).
‘kebun dalam di’(di dalam kebun).
2) ira inana’a (ira ina a’a). ‘sumur di’(di sumur).
3) Halana’a (hala a’a), ante ali
pasar marana’a (mara a’a) ‘Kebun dari, saya lagi pasar pergi ke’. (Dari kebun, saya
lagi pergi ke pasar.)
Catatan: na’a (a’a) sering
dihilangkan dalam konteks kalimat.
7. Tata urutan kalimat dasar Bahasa Oirata
Kalimat berita bahasa Oirata
memiliki struktur dasar dengan tata urutan S, O, K mendahului Verba. Dengan
demikian, struktur dasar kalimat berita bahasa Oirata dapat mengikuti pola: SV,
SOV, OSV, SKOV, atau KSKOV. Berikut ini disajikan beberapa pola urutan kalimat
bahasa Oirata.
Kalimat
Berita
1) Antaya.
(Ante taya.)
S V
‘Saya tidur’
2) Wama’u.
(Waiye ma’u).
S V
‘Mereka datang’.
3) Apnaye mutumOiratao.
107
(Apte nale iye matu umuro.)
S V
‘Kamu punya ibu itu sudah meninggal’
(Ibumu itu sudah meninggal.)
4) Ante mu tahule.
S O V
‘Saya pisang beli’.
‘Saya beli pisang’.
5) Enaye đale tahule.
(Ere nale iye đale tahule.)
S O V
‘Kamu punya ibu itu jagung beli’.
(Ibumu itu membeli jagung).
6) Sahurakite anteme.
(Sahuraki tie ante eme.)
O S V
‘Jeruk itu saya ambil’.
7) Đaute anwau.
(Đau tie ante wau.)
O S V
‘Piring itu saya cuci’.
8) An ira inana’a nesrau hale.
(Ante ira ina a’a nesrau hale.)
S K O V
‘Saya sumur di pakaian mencuci’.
(Saya mencuci pakaian di sumur.)
9) Anhala muđuna’a haya nawa.
(Ante hala muđu a’a haya nawa.)
S K O V
‘Saya kebun dalam di mangga makan’
(Saya makan mangga di dalam kebun.)
10. Woina’a nohe anaye pasarna’a
ahi tahule.
(Woina’a nohe ante nale iye
pasarna’a ahi tahule.)
K S K O V
‘Kemarin pagi saya ibu itu pasar di
ikan beli’.
(Kemarin pagi, ibu saya itu di pasar
beli ikan.)
Kalimat
Tanya
Siapa?
a)
Umanta
tua yamoina?
(Umantale tua yamoina?)
‘Siapa tuak memanjat?’
(Siapa yang memanjat tuak?)
b)
Umanta
meti marana?
(Uman tale meti marana?)
‘Siapa cari ikan pergi?’
(Siapa yang pergi cari ikan?)
c)
Umanta
imirena?
(Uman tale ina mirena?)
‘Siapa dekat duduk?’
(Siapa yang di sini duduk?)
d)
Umanta
mara hanatsurana?
(Uman tale mara hanate surana?)
‘Siapa pergi Orang sakit
mengunjungi?’
(Siapa yang pergi mengunjungi Orang
sakit?)
Mengapa?
a)
Ina
hai to atele una mirena?
‘Mengapa kamu jauh (di sana) duduk?’
(Mengapa kamu duduk di sana (jauh)?)
atau
Ate ina hai to una mirena?
‘Kamu mengapa jauh duduk?’
(Kamu mengapa duduk jauh?)
b)
Ina
hai to ate mara pe’ena?
‘Mengapa kamu pergi?’
atau
Ate ina hai to mara pe’ena?
‘Kamu mengapa pergi?’
c)
Ina
nai to ate saurena?
‘Mengapa kamu menangis?’
atau
Ate ina hai to saurena?
‘Kamu mengapa menangis?’
109
Bagaimana?
a)
Ino’onhai
to apte međe pe’ena?
(Ina o’onhai to apte međe
pe’ena?)
‘Bagaimana kita makan?’
b)
Ino’onhai
to uwe tipare pe’ena?
(Ina o’onhai to uwe tipare
pe’ena?)
‘Bagaimana dia lari?’
c) Ino’onhai to ante sirwisi asi
pe’ena?
(Ina o’onhai to ante sirwisi
asi pe’ena?)
‘Bagaimana saya dapat kerja?’
d) Ino’onhai to inte ihilele
penu pe’ena?
(Ina o’onhai to inte ihilele
penu pe’ena?)
‘Bagaimana kami terbang pulang?’
Apa?
a) Ina ta le kaurena?
(Ina ita le kaurena?)
‘Apa yang gonggong?’
b) Ina ta le una’a saurena?
Ina ita le una’a saurena?
‘Apa yang di sana (jauh) menangis?
c) Ina tahulena?
‘Apa beli?’
(Beli apa?)
atau
Ate ina tahulena?
‘Kamu apa beli?’
(Kamu beli apa?)
d) Ina ōyena?
‘Apa curi?’
(Curi apa?)
atau
Ume ina ōyena?
‘Dia apa curi?)
(Dia curi apa?)
Kapan?
110
a) Tartei uwe mara pe’ene?
‘Kapan dia pergi?’
b) Tartei na’a HOiratalewen te
umana?
‘Kapan HOiratalewen itu mati?’
c) Tertei una’a hala ta pai
saile pe’ena?
‘Kapan (jauh ) kebun itu kerja
selesai?’
(Kapan kebun itu selasai
dikerjakan?)
d) Tartei ira ina te kaure saile
pe’ena?
‘Kapan sumur itu gali selesai?’
(Kapan sumur itu selesai digali?)
e) Tartei una’a natara te pai
saile pe’ena?
‘Kapan (jauh) rumah itu kerja
selesai?
(Kapan rumah itu selesai
dikerjakan?)
Kalimat
Perintah
(tekanan pada akhir kalimat)
a) Una’a đele ti kono ma’u!
‘(jauh) Jagung itu bawa datang!
(Jagung itu bawa kemari!)
b) Pana ina’a đele ti kono ma’u!
(jauh) Jagung itu bawa datang!
(Jagung itu bawa kemari!)
c) Pana ina ira ina kaure!
‘(jauh) Sumur gali!’
(Gali sumur (di sana)!)
d) Nale, pasar marā!
(Nale, pasar marana’a!)
‘Ibu, pasar pergilah!
‘Ibu, pergi ke pasarlah!
Berdasarkan sejumlah data, kalimat
di ats mengindikasikan bahwa bahasa Oirata memiliki struktur kaliamat dasar
dengan pola unsur-unsur S, O, K mendahului Verba. Dengan demikian, Verba atau
kata kerja sebagai predikat kalimat bahasa Oirata umumnya berposisi di bagian
akhir kalimat, baik pada kalimat berita, kalimat tanya, maupun kalimat
perintah.
PENUTUP
Mitologi orang oirata merupakan salah satu keunikan
dan kenaekaragaman suku dan bahasa di Indonesia. Etnis oirata ini mendiami
pulau kisar di wilayah maluku barat
daya. Etnis ini memiliki suatu tradisi dan bahasa yang unik. Bahasa Oirata
bukan termasuk kategori kekerabatan Austronesia. Bahasa oirata memiliki ciri
secara fonologis, morfologis dan sintaksis
Daftar Pustaka
Abdullah, Wakit. 2014. Etnolinguistik: Teori,
Metode, dan Aplikasinya. Surakarta: UNS Press.
Alwasilah, C. A. 1987. Linguistik Suatu:
Pengantar. Bandung: Angkasa Bandung.
Brubaker, R., Mara Loveman, dan Peter Stamatov.
2004. Ethnicity as Cognition. Netherlands: Kluwer Academic
Publishers.
Duranti, Alessandro. 1997. Linguistic
Anthropology. Cambridge: Cambridge University Press.
Fernandez, Inyo Yos. 2008. Kategori dan
Ekspresi Linguistik dalam Bahasa Jawa Sebagai Cermin Kearifan Lokal Penuturnya:
Kajian Etnolinguistik pada Masyarakat Petani dan Nelayan. Jogjakarta :
Fakultas Ilmu Budaya UGM.
Foley, William A. 2001. Anthropological
Linguistics : An Introduction. Massachusetts USA: Blackwell
Publishers.
Harimurti, Kridalaksana. 1983. Kamus
Linguistik. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
Ilic, Biljana Misic. 2004. Language and
Culture Studies – Wonderland Through the Lnguistic Looking Glass. Serbia :
English Department, Faculty of Philosophy, University of Nis.
Koentjaraningrat. 1994. Kebudayaan Jawa. Jakarta:
Balai Pustaka.
Marjono. tt. Pepak Basa Jawa. Surakarta:
BUDI.
Nurhasanah, Wahya, and Nani Sunarni. 2014. The
Name of Six Villages at Situraja District Sumedang Regency (Etholinguistics
Study). Bandung: Linguistic, Faculty of Science Culture Padjajaran
University.
Nurhayati. 2010. Pengaruh Teknologi Mesin terhadap
Perubahan Penggunaan Kosa Kata di Bidang Pertanian. Semarang: Fakultas Ilmu
Bidaya Universitas Diponegoro.
Padmosoekotjo, S. 1958. Ngengrengan
Kasusastran Djawa. Djogjakarta: Hien Hoo Sing.
Pateda, Mansoer. 1988. Linguistik (Sebuah
Pengantar). Bandung: Angkasa Bandung.
Putra, Shri Ahimsa. 1997. Etnolinguistik
Beberapa Bentuk Kajian. Makalah Disajikan dalam Temu Ilmiah Bahasa dan
Sastra tanggal 26 hingga 27 Maret. Yogyakarta.
Rahardi, Kunjana. 2009. Bahasa Prevoir Budaya.
Yogyakarta: Pinus Book Publisher.
Ramlan, M. 1987. Ilmu Bahasa Indonesia:
Sintaksis. Yogyakarta: Karyono.
Sudaryanto (Ed). 1991. Tata Bahasa Baku Bahasa
Jawa. Yogyakarta: Duta Wacana University Press.
Sudaryanto. 1990. Menguak Fungsi Hakiki
Bahasa. Yogyakarta: Duta Wacana University Press.
Sudaryanto. 1993. Metode dan Aneka Teknik
Analisis Bahasa. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.
Sukadaryanto. 2001. Ungkapan Tradisional
sebagai Salah Satu Sikap Masyarakat Jawa yang Merefleksikan Nilai Pendidikan. Yogyakarta:
Media Pressindo.
Verhaar, JWM. 1977. Linguistik. Yogyakarta:
Gadjah Mada University Press.
Verhaar, JWM. 2001. Asas-Asas Linguistik Umum.
Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.
Verhaar, JWM. 2010. Asas-asas Linguistik.
Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.
Zabotkina, V. I., dan Maria N. Konnova. 2012. Cognitive
Modelling of Sense Disambiguation in Polysemeus Words. Russian State
Universities for the Humanities.