MITOLOGI JOMBANG TERKAIT
DENGAN TUNGGORONO, CANDI NGRIMBI, DAN
RINGIN CONTONG
Tugas
ini disusun untuk memenuhi tugas Mata Kuliah Ethnolinguistics
Dosen
Pembina: Dr. Inyo Yos Fernandez
.
Oleh
:
CHALIMAH
NIM : T111608001
Program
Studi Linguistik (S3-Linguistik Deskriptif)
Universitas
Negeri Sebelas Maret
2017
DAFTAR ISI
A.
PENDAHULUAN
..................................................................................................
B.
PEMBAHASAN
....................................................................................................
1. Kabupaten
Jombang ...........................................................................................
2. Metodologi
Etnolinguistik ....................................................................................
3. Mitologi
Jombang ...............................................................................................
4. Relasi
antara Mitologi Jombang dengan Kebudayaan ...........................................
C.
KESIMPULAN
.....................................................................................................
DAFTAR
PUSTAKA ...................................................................................................
DAFTAR
GAMBAR
Gambar 1. Peta Kabupaten
Jombang .................................................................................... 3
Gambar 2. Candi Rimbi......................................................................................................... 9
Gambar 3. Ringin Contong ................................................................................................... 9
MITOLOGI JOMBANG
A. PENDAHULUAN
Masyarakat
Indonesia banyak sekali mengenal cerita-cerita mitos. Menurut Alfiansyah, (2011) Mitos atau mite (myth)
adalah cerita prosa rakyat yang ditokohi oleh para dewa atau makhluk
setengah dewa yang terjadi di dunia lain (kahyangan) pada masa lampau dan
dianggap benar-benar terjadi oleh yang empunya cerita atau penganutnya.
Mitos juga disebut Mitologi yaitu cerita
rakyat yang dianggap benar-benar terjadi dan bertalian dengan terjadinya
tempat, alam semesta, para dewa, adat istiadat, dan konsep dongeng suci. Jadi,
mitos adalah cerita tentang asal-usul alam semesta, manusia, atau bangsa yang
diungkapkan dengan cara-cara gaib dan mengandung arti yang dalam. Mitos
juga mengisahkan petualangan para dewa, kisah percintaan mereka, kisah
perang mereka dan sebagainya.
Pengertian mitos
yang ada didalam buku teori sastra tentang kajian teori dan praktik Rafiek,
2010 dalam unikom online yaitu: persamaan tentang kepercayaan hal ghaib terhadap suatu mitos di berbagai tempat bukan
disebabkan oleh difusi atau penyebaran melainkan disebabkan penemuan-penenuan
yang berdiri sendiri. Hal ini sejalan dengan mitologi Jombang yang sangat
diyakini oleh masyarakat Jombang sampai sekarang sejak ditemukannya banyak
penemuan seperti: 1) Ringin Contong (tempat
persinggahan Kebo Kicak saat mengejar Surontanu), 2) Desa Tunggorono Kecamatan
Jombang (gerbang barat atau ‘gapura barat’ kerajaan Majapahit), 3) Desa Ngrimbi
Kecamatan Bareng (gerbang timur atau ‘gapura timur’ kerajaan Majapahit).
Masyarakat
Jombang meyakini tentang mitologi Jombang tersebut karena masyarakat beranggapan mitos sangat
berpengaruh pada kehidupan masyarakat, khususnya masyarakat tradisional yang
masih sangat kental budaya kedaerahannya. Mereka kebanyakan mengabaikan logika
dan lebih mempercayai hal-hal yang sudah turun temurun dari nenek moyang. Pada
dasarnya, mitos orang zaman dahulu memiliki tujuan yang baik untuk kelangsungan
hidup keturunannya.
Berdasarkan
penjelasan diatas, saya akan menguraikan mitologi Jombang yaitu tentang
bagaimana asal usul Jombang beserta nilai moral yang dijadikan pedoman hidup
oleh masyarakat Jombang yang akan saya paparkan dalam pembahasan selanjutnya.
B.
PEMBAHASAN
Pada pembahasan
ini akan diuraikan mengenai Kabupaten Jombang, Metodologi Etnolinguistik, Mitologi
Jombang (relasi antara Kerajaan Majapahit, Ringin Contong, Desa Tunggorono, dan
Desa Ngrimbi Kecamatan Bareng).
1.
Kabupaten
Jombang
Jombang terletak di bagian tengah propinsi Jawa
Timur. Luas wilayahnya adalah 1.159,50 km2 dengan 21 kecamatan.
Berikut ini adalah jumlah penduduk Kabupaten Jombang per kecamatan (Web Badan
Pusat Statistik Kabupaten Jombang, 2017) yaitu: Bandar Kedung Mulyo dengan jumlah
penduduk 55.448 orang, Perak dengan jumlah penduduk 62.662 orang, Gudo dengan
jumlah penduduk 63.223 orang, Diwek dengan jumlah penduduk 121.617 orang, Ngoro
dengan jumlah penduduk 88.009 orang, Mojowarno dengan jumlah penduduk 104.031
orang, Bareng dengan jumlah penduduk 61.440 orang, Wonosalam dengan jumlah
penduduk 37.890 orang, Mojoagung 89.068 orang, Sumobito dengan jumlah penduduk
94.488 orang, Jogoroto dengan jumlah penduduk 77.062 orang, Peterongan dengan
jumlah penduduk 72. 243 orang, Jombang dengan jumlah penduduk 158.840 orang,
Megaluh dengan jumlah penduduk 44.301 orang, Tembelang dengan jumlah penduduk
69.357 orang, Kesamben dengan jumlah penduduk 76.050 orang, Kudu dengan jumlah
penduduk 33.119 orang, Ngusikan dengan jumlah penduduk 23.769 orang, Ploso
dengan jumlah penduduk 45.754 orang, Kabuh dengan jumlah penduduk 45.148 orang,
Plandaan dengan jumlah penduduk 41.434 orang.
Pusat pemerintahan Kabupaten Jombang terletak di
tengah-tengah wilayah kabupaten, memiliki ketinggian 44 meter di atas permukaan
laut, dan berjarak 79 km dari barat daya Surabaya,
ibu kota Provinsi Jawa Timur. Kabupaten Jombang memiliki posisi yang sangat
strategis, karena berada di persimpangan jalur lintas utara, dan selatan Pulau Jawa
(Surabaya-Madiun-Solo-Yogyakarta),
jalur Surabaya-Tulungagung, serta jalur Malang-Tuban.
Banyak tokoh terkenal Indonesia yang dilahirkan di
Kabupaten Jombang, antara lain Presiden Republik Indonesia ke 4 KH. Abdurrahman
Wahid, Pahlawan Nasional K.H Wahid Hasyim, Tokoh Intelektual Islam Nurcholis
Madjid, Budayawan Emha Ainun Najib, dan Seniman Cucuk Espe.
Gambar 1. Peta Kabupaten Jombang
2.
Metodologi
Etnolinguistik
Didalam penelitian etnolinguistik, peneliti harus
melakukan pendekatan secara langsung dengan cara terlibat langsung dalam
kehidupan etnik atau masyarakat yang diteliti yang membutuhkan totalitas agar
mendapatkan hasil yang valid dan reliable. Karena tidak memungkinkan bagi saya
untuk langsung mengambil data dalam jangka waktu yang pendek, maka saya hanya
menggunakan studi pustaka melalui data-data on line sebagai data sekunder
tentang mitologi Jombang.
Berikut ini
saya paparkan nama-nama contoh peneliti mitologi yang berhasil memperoleh data
primer dengan cara langsung masuk dalam kehidupan masyarakat atau etnis
tertentu: De Josselin De Jong: 1937, James P. Spradley:1979; Robert K. Yin:
2011, Elizabeth Campbell and Luke Erc Lassiter: 2015; Sam Ladner: 2014; Teresa
L. McCarty: 2011; Tom Boellstorff, et.al: 2012; Julian M. Murchison: 2010;
David M. Fetterman: 2010; Paul Atkinson and Martyn Hammerssley: 2007; Paul
Atkinson, et.al.: 2007; Shirley Brice Heath and Brian V Street: 2008; Margaret
D Lecompte and Jean J Schensul: 2015). Semua peneliti diatas menggunakan metode
direct participation dengan
menggunakan in depth interview dan recording.
3.
Mitologi Jombang (Jombang, Tunggorono,
Candri Rimbi)
Menurut cerita yang beredar di kalangan masyarakat Jombang,
hal ini tak lepas dari sosok Kebo Kicak dan Surontanu. Dalam cerita itu
disebutkan, Kebo Kicak adalah seseorang yang dikutuk orangtuanya karena
kedurhakaannya, sehingga memiliki kepala kebo atau kerbau. Setelah berkepala
kerbau dengan tetap berbadan manusia, Kebo Kicak berguru kepada seorang kiai
sakti mandraguna. Bertahun-tahun belajar pada kiai tersebut, Kebo Kicak menjadi
orang soleh. Konon, di sebuah kadipaten Kerajaan Majapahit (sekarang menjadi Kabupaten Jombang),
terdapat seorang perampok sakti bernama Surontanu. Dia adalah penjahat nomor
satu dan paling ditakuti masyarakat sekitar Jombang. Tidak ada satu orang pun
yang mampu menangkap Surontanu. Alkisah, huru-hara di masyarakat didengar oleh
Kebo Kicak. Atas perintah sang guru, Kebo Kicak turun gunung untuk menghentikan
kejahatan Surontanu. Di dalam perjalanan mengejar Surontanu, Kebo Kicak singgah
dibawah pohon raksasa yang disebut ‘Ringin
Contong’ (sekarang menjadi ikon Jombang).
Setelah berpetualang beberapa hari, Kebo Kicak berhasil menemukan
Surontanu. Tanpa panjang lebar, keduanya beradu kesaktian. Setelah bertarung
beberapa lama, Surontanu terdesak. Dia melarikan diri hingga ke sebuah rawa
yang terdapat banyak tanaman tebu. Dengan kesaktiannya, Surontanu berhasil
masuk ke rawa tebu. Kebo Kicak menyusul masuk ke rawa yang sekarang terletak di
wilayah Jombang. Namun, Surontanu dan Kebo Kicak yang masuk ke dalam rawa tebu
tidak pernah kembali lagi. Entah apa yang terjadi dengan mereka. Hingga sekarang,
masyarakat tak menemukan jasad maupun makam mereka.
Ada versi lain
terkait Kebo Kicak. Salah satu versinya mengisahkan bahwa Kebo Kicak adalah
sosok kesatria. Dia mengobrak-abrik Kerajaan Majapahit untuk mencari ayah
kandungnya yang bernama Patih Pangulang Jagad. Setelah bertemu Patih Pangulang
Jagad, Kebo Kicak diminta menunjukkan bukti bahwa dia benar-benar anak sang
Patih. Cara membuktikannya tak mudah. Kebo Kicak diminta mengangkat batu hitam
di Sungai Brantas. Dalam upayanya itu, Kebo Kicak harus berkelahi dengan Bajul
Ijo. Usaha Kebo Kicak membuahkan hasil. Setelah berhasil membuktikan bahwa
dirinya anak kandung Patih Pangulang Jagad, Kebo Kicak diberi wewenang menjadi
penguasa wilayah barat. Ambisi kekuasaan yang tinggi membuat Kebo Kicak tak
pernah puas. Dia bertarung dengan saudara seperguruannya, Surontanu, demi
memperebutkan pusaka banteng milik Surontanu. Konon, pertempuran kedua orang
tersebut berlangsung amat dahsyat. Saat keduanya bertarung, muncul cahaya ijo
(hijau) dan abang (merah). Dari penggabungan kata ijo dan abang tersebut muncul
sebutan Jombang. Kini, warna hijau dan merah tua begitu mencolok dalam logo
Kabupaten Jombang. Warna dari perisai berarti perpaduan dua warna Jo dan Bang
(ijo dan abang) sama dengan Jombang. Warna hijau bermakna kesuburan,
ketenangan, dan kebaktian kepada Tuhan Yang Maha Esa. Sementara, warna merah
berarti keberanian, dinamis dan kritis. Tapi, ada pula yang menyebut ijo
mewakili kaum santri (agamis), sementara abang mewakili kaum abangan
(nasionalis/kejawen).
Masih
di wilayah Jombang, ada mitologi yang ditemukan yaitu mitologi desa Tunggorono.
Pada zaman dahulu ada
seorang lelaki bernama Subanjar sebagai anak sulung dari dua bersaudara.
Ayahnya bernama Cahyo Tunggal pemimpin Padepokan Tunggul Wulung yang disegani
masyarakat. Saudara perempuan atau adik Subanjar bernama Sekar Dinulih.
Subanjar terkenal bersifat brutal, suka berkelahi, menggoda wanita atau bahkan
memperkosa dan membunuh tanpa merasa berdosa. Keluarga Subanjar resah, hingga
akhirnya menyarankan Subanjar agar segera menikah. Namun, Subanjar menolak
menikah sebelum dia menjadi orang yang benar dan sakti. Maka Subanjar berangkat
bertapa di pesarean Asam Boreh. Sementara itu, di pesarean Asam Boreh tersebut
berdiam makhluk halus bernama Nyi Blorong dan Gendruwo Putih. Mengetahui ada
manusia yang sedang bertapa, Gendruwo Putih langsung merasuki raga Subanjar,
dengan maksud agar dapat memperistri Sekar Dinulih. Lantas Subanjar pulang
kembali ke rumah, ia mengutarakan keinginannya hendak menikah. Keluarganya
gembira,namun tentu saja keinginan itu kandas karena yang hendak dinikahi
adalah adik kandungnya sendiri. Subanjar tidak terima dan ia tega memukul
ayahnya. Sekar Dinulih melarikan diri karena dikejar oleh Subanjar. Ki Tunggo
bertemu dengan mereka dan mencoba menghalangi niat Subanjar namun ia gagal.
Subanjar juga sempat bertanding dengan Joko Piturun dan akhirnya ia bertemu
kembali dengan ayahnya yang telah mendapatkan selendang pusaka dari Nyi
Blorong. Dalam pertarungan kedua melawan Joko Piturun, Subanjar dikalahkan
dengan sabetan selendang pusaka Jalarente yang dipinjam dari Cahyo Tunggal.
Saat Subanjar jatuh, keluarlah Gendruwo Putih dari raganya yang seketika juga
dihajar dengan selendang Jalarente. Subanjar telah sadar, maka ayahnya pun sadar
jika ia juga telah bersalah karena memiliki sepasang anak laki-laki dan
perempuan namun belum pernah meruwatnya. Ternyata Tunggo itu nama orang (Ki
Tunggo) yang pekerjaannya membuat rono (semacam sketsel dalam rumah). Karena
dianggap telah menyembunyikan Sekar Dinulih di rumahnya, Ki Tunggo harus
berhadapan dengan Subanjar (yang telah kerasukan Gendruwo Putih) sehingga Ki
Tunggo tewas. “Suatu ketika nanti desa ini saya namakan Tunggorono,” ujar
Subanjar.
Mitologi yang lain yang tidak kalah menarik di wilayah
Jombang adalah Candi Rimbi. Candi Rimbi ditemukan oleh Alfred Wallace pada abad
19 saat mengoleksi beberapa spesimen tanaman di kaki Gunung Anjasmoro. Saat
ditemukan, di Candi Rimbi ditemukan pula beberapa arca bercorak Hindu seperti
arca Dewi Parwati. Arca-arca tersebut kini disimpan di Museum Nasional dan
Museum Trowulan. Keberadaan arca Dewi Parwati tersebut diduga merupakan
perwujudan dari Tribhuwana Wijaya Tunggadewi atau Tribhuwana Tunggadewi, Ratu
Majapahit yang memerintah pada 1328 – 1350 M. Tribhuwana adalah penguasa ketiga
Majapahit. Merupakan puteri dari Raden Wijaya (pendiri Majapahit) dengan
Gayatri. Dalam mitos setempat, keberadaan Candi Rimbi memang dipercaya memiliki
kaitan erat dengan kerajaan Majapahit. Dalam mitos dinyatakan bahwa wilayah
Jombang bagian selatan (sekitar Wonosalam) merupakan gapura sebelah selatan
ibukota/ Kutharaja Majapahit. Candi Rimbi secara administratif terletak di Desa
Pulosari, Kecamatan Bareng, Jombang. Lokasi candi ini berada di pinggir jalan
raya Bareng – Wonosalam, sehingga keberadaanya dapat dilihat secara jelas oleh
pengguna jalan.
Cikal bakal Kabupaten Jombang berawal dari runtuhnya
Majapahit, agama Islam mulai berkembang di kawasan, yang penyebarannya dari
pesisir pantai utara Jawa Timur. Jombang kemudian menjadi bagian dari Kerajaan
Mataram Islam. Seiring dengan melemahnya pengaruh Mataram, Belanda menjadikan
Jombang sebagai bagian dari wilayah VOC pada akhir abad ke-17, yang kemudian
sebagai bagian dari Hindia Belanda pada awal abad ke-18. Tahun 1811, didirikan
Kabupaten Mojokerto, meliputi pula wilayah yang kini adalah Kabupaten Jombang.
Trowulan (pusat Kerajaan Majapahit), masuk dalam kawedanan (onderdistrict afdeeling) Jombang.
Tahun 1910, Jombang memperoleh status kabupaten, memisahkan
diri dari Kabupaten Mojokerto. Raden Adipati Arya Soeroadiningrat menjadi
bupati pertama. Dia juga biasa disapa Kanjeng Sepuh atau Kanjeng Jimat.
Dia juga merupakan keturunan ke-15 dari Prabu Brawijaya V, Raja terakhir
Majapahit. Undang-undang Nomor 12 Tahun 1950 tentang Pembentukan Daerah
Kabupaten dalam Lingkungan Provinsi Jawa Timur mengukuhkan Jombang sebagai
salah satu kabupaten di Provinsi Jawa Timur.
4. Relasi
antara Mitologi Jombang dengan kebudayaan Masyarakat Jombang
Adanya mitologi tentang Jombang, Tunggorono, dan
Candi Rimbi memberikan beberapa nilai-nilai kebudayaan dan moral yang berguna
dalam kehidupan masyarakat Jombang. Adapun nilai-nilai kebudayaan dan moral
tersebut yaitu:
a. Nilai
sikap berbakti kepada orang tua
Kebo Kicak adalah manusia berkepala kerbau karena
kutukan dari orang tuanya yang sangat jengkel dengan kedurhakaan anaknya. Ini
memberikan contoh pendidikan kepada anak-anak untuk tidak durhaka.
b. Nilai
sikap untuk berubah menjadi orang yang lebih baik
Karena penyesalan setelah mendapatkan kutukan dari
orang tuanya, Kebo Kicak ingin menjadi orang yang lebih baik dengan cara
mendalami ajaran agama kepada Kyai yang sakti mandraguna yang dapat merubahnya
menjadi orang yang sholeh.
c. Nilai
sikap untuk mengakui kesalahan dan memperbaikinya
Cahyo
Tunggal menyadari bahwa kejahatan yang dilakukannya anaknya bukanlah kesalahan
semata-mata pada anaknya akan tetapi orang tua juga ikut bersalah karena orang
tua yang berkewajiban mendidiknya. Cahyo Tunggal memiliki seorang anak-laki
laki dan seorang anak perempuan yang seharusnya dilakukan ruwatan. Ruwatan
biasanya dilakukan untuk untang-anting (anak tunggal laki-laki), unting-unting
(anak tunggal perempuan), kedono-kedini (dua anak laki-laki dan perempuan),
kembang sepasang (2dua anak perempuan), uger-uger lawang (dua anak laki-laki),
pancuran keapit sendang ( tiga anak, perempuan, laki-laki, perempuan), sendang
keapit pancuran (tiga anak, laki-laki, perempuan, laki-laki), cukit dulit (tiga
anak laki-laki), sarombo (empat anak laki-laki), pandowo (lima anak laki-laki),
gotong mayit (tiga anak perempuan), sarimpi (empat anak erempuan), panca gati
(lima anak perempuan), kiblat papat (empat anak laki laki dan perempuan),
pipilan ( lima anak, empat perempuan dan satu laki-laki), padangan (lima anak,
satu perempuan, empat laki-laki), sepasar (lima anak laki-laki dan perempuan ),
pendowo ngedangno (tiga anak laki-laki dan satu perempuan). Untuk ruwatan ada 2
cara: 1) ruwatan kejawen: mengadakan pagelaran wayang dan membacakan
mantra-mantra kepada Bethoro Kolo; 2) ruwatan islam: mengadakan acara yasinan,
membaca doa, dan selamatan atau shodakohan.
d. Nilai-nilai
moral harus ditanamkan didalam masyarakat yang terpancar dari warna hijau ‘ijo’
dan warna merah ‘abang’ untuk hidup secara berdampingan. Warna hijau bermakna
kesuburan, ketenangan, dan kebaktian kepada Tuhan Yang Maha Esa; warna merah
bermakna keberanian, dinamis, dan kritis. Hijau mewakili kaum santri di Jombang
(pondok pesantren Denanyar, Tambak Beras, Tebu Ireng, Darul Ulum. Merah
mewakili kaum nasionalis/kejawen. Semua hidup berdampingan secara rukun.
d. Nilai
sikap untuk menyadari bahwa tidak ada yang abadi di dunia, semua mengalami
perubahan
Kerajaan Majapahit yang begitu besar kekuasaannya
bisa runtuh, yang salah satu buktinya berupa candi Rimbi di Bareng. Yang
kemudian menjadi bagian dari kerajaan Mataram Islam. Belanda membentuk wilayah
kabupaten Mojokerto, meliputi wilayah Jombang dan Trowulan. Namun kemudian
Jombang menjadi kapubaten sendiri terpisah dari Mojokerto
e. Warisan
Budaya
Adanya wisata Candi Rimbi, Ringin dan Ringin Contong
dijadikan objek wisata sebagai warisan budaya masyarakat Jombang. Nilai
pendidikan moral juga sebagai pelajaran untuk generasi penerus tentang sosok
Kebo Kicak dan Ki Tunggo.
Gambar
2. Candi Rimbi
Gambar
3. Ringin Contong
C. SIMPULAN
Berdasarkan pemaparan tentang mitologi Jombang
diatas, maka dapat disimpulkan bahwa mitologi Jombang merupakan kepercayaan
kepada cerita nenek moyang yang lokasi dan bukti peninggalannya dapat ditemukan
dengan mudah di Jombang sehingga masyarakat semakin yakin dengan mitos yang
mereka dengarkan. Penanaman nilai moral
seperti berbakti kepada orang tua, sikap untuk berubah menjadi orang
yang lebih baik, sikap untuk mengakui kesalahan dan memperbaikinya, untuk
menyadari bahwa tidak ada yang abadi di dunia, semua mengalami perubahan bisa didapatkan
dari mitologi Jombang. Pelaksanaan budaya lokal seperti ‘acara ruwatan’ adalah
bentuk tanggung jawab dan cinta orang tua kepada anaknya dengan cara berdoa dan
sedekah yang sering disebut masyarakat Jombang ‘slametan’.
Daftar
Pustaka
Atkinson, Paul
& Hammersley, Martin. 2007. Ethnography
Principles in Practice. London & New York: Routledge.
Atkinson, Paul,
et.al. 2007. Handbook of Ethnography.
London, California, New Delhi, Singapore: SAGE Publications.
Boellstorff,
Tom, et.al. 2012. Ethnography and Virtual
Words. Princeton and Oxford: Princeton University Press.
Campbell,
Elizabeth & Lassiter, Luke Erc. 2015. Doing
Ethnography Today. United Kingdom: Wiley Blackwell.
De Jong, J.P.B.
De Josselin. 1937. Studies in Indonesian
Culture, Oirata, A Timorese Settlement on Kisar. Amsterdam:
UITGEVERS-MAATSCHAPPIJ.
Fernandez, Inyo
Yos. 1998. Penyebab dan Penyembuh Sakit:
Sebuah Perubahan Pandangan Masyarakat Minahasa Kajian Etnolinguistik.
Yogyakarta: UGM Press.
Fetterman, David
M. 2010. Ethnography Step by Step.
Los Angeles, London, New Delhi, Singapore, Washington DC: SAGE Publications.
Heath, Shirley
Brice & Street, Brian V. On
Ethnography NCRLL (National
Conference on Research in Language and Literacy. Columbia University. New
York and London: Teachers College Press.
Keraf, Gorys.
1984. Linguistik Bandingan Historis.
Jakarta: PT Gramedia.
K Yin, Robert.
2011. Qualitative Research from Start to
Finish. New York: The Guilford Press.
Ladner, Sam.
2014. Practical Ethnography a Guide to
Doing Ethnography in the Private Sector. USA: Left Coast Press Wlnut Creek.
M. Ahearn,
Laura. 2012. Living Language ‘An
Introduction to Linguistic Anthropology’. Singapore: Wiley Blackwell.
Mc. Carty,
Teresa L. 2011. Ethnography and Language
Policy. New York and London: Routledge.
Murchison,
Julian M. 2010. Ethnography Essentials Designing, Conducting,
and Presenting your Research. San Francisco: Jofey Bass
Spradley, James
P. 1979. The Ethnographic Interview.
United States of America: Holt, Rinehart and Winston.
http://www.sentra-edukasi.com/2011/06/pengertian-dan-contoh-contoh-mitos-di.html#.WM14Nn_pjIU
diakses pada tanggal 19 Maret 2017 pukul 1.00 WIB
diakses pada tanggal 19 Maret 2017
pukul 1.20 WIB
https://id.wikipedia.org/wiki/Kabupaten_Jombang
diakses pada tanggal 19 Maret 2017 pukul 2.11 WIB
https://jombangkab.bps.go.id/linkTabelStatis/view/id/22 badan pusat statisti kabupaten jombang
diakses pada tanggal 19 Maret 2017 pukul 2.27
http://ahlussunah-wal-jamaah.blogspot.co.id/2011/08/tradisi-ruawatan.html.
diakses pada tanggal 19 Maret 2017 pukul 4.32
http://rieantie-egga.blogspot.co.id/2013/05/asal-mula-kota-jombang.html
http://www.kompasiana.com/lintangwetan/asal-usul-kota-jombang-sebuah-studi-toponimi_54f34526745513a42b6c6e3a
http://candi.perpusnas.go.id/temples/deskripsi-jawa_timur-candi_rimbi
http://budayapanji.com/informasi/?p=343
Tidak ada komentar:
Posting Komentar